Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Angka kekerasan terhadap buruh perempuan masih cukup tinggi. Ada 62 aduan kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan yang sampai ke Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan sepanjang 2019. Penyebab utama kekerasan ini adalah kondisi reproduksi perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pelanggaran hak reproduksi buruh perempuan yang masih terjadi menunjukkan bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dilaksanakan dengan baik," kata komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mencontohkan, ada seorang buruh yang tengah hamil di suatu pabrik pengemasan plastik dipecat. Sesuai dengan laporan yang sampai ke lembaganya, perusahaan memecat buruh perempuan itu karena merusak alat kerja. Namun, ketika dinas tenaga kerja setempat memeriksanya, perusahaan tak bisa membuktikan tuduhannya.
Contoh lain, kata Siti, seorang buruh perempuan di pabrik garmen di Bekasi, Jawa Barat, mengalami diskriminasi saat hendak memohon cuti melahirkan ketika usia kandungannya delapan bulan. Namun perusahaan malah memecatnya dengan alasan tak jelas. Kasus lainnya, ada 18 buruh perempuan mengalami keguguran karena dibebani pekerjaan yang terlalu berat di pabrik pembuatan es krim.
Selain mengalami diskriminasi, pekerja perempuan rentan mendapat pelecehan seksual. Siti mengatakan pelecehan yang diterima buruh perempuan datang dari berbagai kalangan. "Baik yang dilakukan oleh atasan atau sesama rekan kerja," ujarnya.
Karena kasus ini, Komnas Perempuan mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Harapannya, undang-undang itu akan mampu menindak tegas pelaku kekerasan terhadap perempuan serta menurunkan angka kekerasan.
Namun harapan ini sulit terlaksana karena saat ini DPR justru mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Isi RUU ini dianggap akan membatasi hak-hak perempuan. Belum lagi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang juga berpotensi menghilangkan hak-hak buruh perempuan.
Berbagai kasus diskriminasi terhadap perempuan itu kembali disuarakan dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, kemarin. Ribuan buruh perempuan di berbagai daerah, termasuk di Jakarta, menyerukan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja dan RUU Ketahanan Keluarga.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia, Nining Elitos, mengatakan RUU Cipta Kerja akan menyusahkan rakyat. "Yang dirugikan RUU Cipta Kerja ini tidak hanya buruh, masyarakat adat, pesisir, dan masyarakat miskin kota, tapi juga kaum pemuda," kata Nining dalam orasinya saat memperingati Hari Perempuan Internasional di Jakarta, kemarin.
Nining dan sejumlah aktivis perempuan juga menuntut pemerintah mengusut tuntas semua kasus kekerasan terhadap perempuan, membangun sistem perlindungan komprehensif bagi perempuan, mencabut kebijakan diskriminatif gender, serta segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik, Jumisih, merasa miris karena sejumlah peraturan yang berpotensi mengebiri hak perempuan justru lahir saat kekerasan seksual makin meluas. Ia menganggap pemerintah seolah-olah mengabaikan fakta itu dengan menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pemerintah justru menyusun RUU Ketahanan Keluarga yang mengembalikan perempuan ke ranah domestik.
"Kerja di luar rumah dengan standar upah layak tanpa diskriminasi adalah bagian dari upaya mengaktualisasikan diri, yang semestinya didukung oleh negara," kata Jumisih. BUDIARTI UTAMI PUTRI | MAYA AYU PUSPITASARI
Mayoritas Kekerasan terhadap Buruh Perempuan Dipicu Kondisi Reproduksi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo