Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, berpendapat bahwa ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak merintangi rencana Ridwan Kamil-Suswono untuk menggugat hasil pilkada Jakarta ke Mahkamah Konstitusi. Titi mengatakan selisih perolahan suara antara Ridwan-Suswono dan Pramono Anung-Rano Karno dapat disimpangi asalkan pemohon dapat membuktikan suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum dihasilkan dari suatu proses yang bermasalah dan gugatan itu mempengaruhi hasil perolehan suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalil formulir C bisa digunakan, terutama apabila berkaitan dengan perolehan suara mayoritas lebih dari 50 persen bagi pasangan Pramono-Rano," kata Titi saat dihubungi oleh Tempo, Rabu, 11 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 158 Undang-Undang Pilkada yang dimaksud Titi mengatur tentang ambang batas syarat formil pasangan calon dapat mengajukan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 158 butir c Undang-Undang itu mengatur bahwa peserta pemilihan gubernur pada provinsi dengan jumlah penduduk 6 sampai 12 juta dapat mengajukan gugatan jika perbedaan total suara sah hasil penghitungan KPU provinsi maksimal satu persen. Aturan ini sejalan dengan Jakarta yang berpenduduk 10 juta lebih.
Adapun hasil rekapitulasi KPU Jakarta menunjukkan Pramono Anung-Rano Karno memenangi pilkada Jakarta. Jagoan PDI Perjuangan ini meraih 2.183.239 atau 50,07 persen suara. Lalu Ridwan-Suswono memperoleh 1.718.160 atau 39,40 persen suara dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana sebesar 459.230 atau 10 persen suara. Selisih suara antara Pramono-Rano dan Ridwan-Suswono mencapai 10,67 persen.
Tapi selisih ini dapat diabaikan. Pertimbangannya, Pasal 156 Undang-Undang Pilkada mengatur bahwa perselisihan penetapan hasil suara adalah perselisihan penetapan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih. Khusus di pilkada Jakarta, pemenang pilkada tidak hanya merujuk kepada pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak di pemilihan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta, pemenang pilkada Jakarta adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen. Jika tidak ada pasangan calon yang memperolah suara di atas 50 persen, maka digelar pemilihan putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua.
Menurut Titi Anggraini, Ridwan Kamil-Suswono dapat mengajukan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konsituti dengan tujuan untuk membatalkan pilkada Jakarta berlangsung satu putaran. Apalagi perolehan suara Pramono-Rano hanya lebih 0,07 persen dari 50 persen, atau setara 2.925 suara.
"Spesifiknya terkait dengan pembuktian apa ada yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, khususnya suara Pramono-Rano yang terpaut sedikit dengan ambang batas 50 persen plus satu itu," ujar Titi.
Pengajar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona berpendapat, peluang Ridwan-Suswono untuk mengajukan gugatan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah masih terbuka lebar. Meski selisih suara Ridwan-Suswono tidak memenuhi ambang batas syarat formil pengajuan sengketa pilkada, tapi mereka dapat mendalilkan bahwa minimnya partisipasi pemilih dan persoalan distribusi formulir C kepada pemilih mempengaruhi hasil pilkada.
Yance mengatakan Ridwan-Suswono dapat menggunakan dalil tersebut sebagai alasan bahwa perolehan suara Pramono-Rano seharusnya di bawah 50 persen ketika partisipasi pemilih tinggi dan formulir C terdistribusi dengan baik dan merata. Lalu mereka meminta Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan persoalan tersebut agar pilkada Jakarta putaran kedua.
"Persoalannya, apakah pembuktian yang diargumentasikan kubu RIDO itu cukup kuat?" kata Yance.
Menurut Yance, kubu Ridwan-Suswono harus mampu membuktikan bahwa distribusi formulir C tidak maksimal dan dapat memastikan jika pemilih yang tidak memperoleh undangan memilih itu merupakan pendukung mereka. "Jika ternyata pemilih yang tak menerima formulir C itu bukan pemilih RIDO, ya, gugatan tentu akan ditolak," ujar Yance.
Ketua Tim Hukum Ridwan-Suswono, Arif Wibowo dan Ketua Tim Pemenangan RIDO, Ramdan Alamsyah, belum menjawab konfirmasi Tempo soal ini. Sebelumnya, Ramdan mengklaim, terjadi banyak kecurangan di pilkada Jakarta yang merugikan kubunya. Ia mengatakan sekitar 800 ribu pemilih yang tidak mendapat formulir C. Mayoritas pemilih tersebut merupakan pendukung Ridwan-Suswono.
“Kalau KPU Jakarta bilang sudah 90 persen lebih surat C6 itu terdistribusi, tunjukkan kepada kami klaim 90 persen itu. Mana buktinya jika sudah didistribusikan?” kata Ramdan.
Ia juga menyoal angka golongan putih (golput) di pilkada Jakarta yang mencapai 42 persen atau tiga juta lebih pemilih. Kubu Ridwan-Suswono berencana mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, Rabu malam ini.
Pilihan Editor : Cawe-cawe Jokowi dan Prabowo di Pilkada 2024