BILA Anda menonton siaran final turnamen tenis Wimbledon, Sabtu dan Minggu yang lalu, berarti Anda turut menikmati manfaat KSOB. Memang itulah salah satu dampak positif KSOB, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sumarlin, "Kita bisa mengikuti siaran sepak bola secara langsung, meski yang bisa menikmati yang punya televisi saja." Untuk pertandingan final putri dan putra Wimbledon itu, Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), pemegang izin KSOB, mengeluarkan dana US$ 58.500 (Rp 93 juta lebih). Itu cuma sebagian dari berbagal rencana siaran langsung peristiwa olah raga yang akan ditayangkan TVRI untuk tahun ini, yang semuanya akan menghabiskan biaya US$ 980.625 (sekitar Rp 1,5 milyar). YDBKS memang kaya-raya sekaligus gampang menyumbangkan uang. Selain KSOB, yayasan yang dipimpin pejabat-pejabat departemen sosial ini masih memiliki TSSB. Maka, ia bukan cuma menyumbang TVRI, tapi juga berbagai kegiatan lainnya. Untuk KONI dan berbagai organisasi induk olah raga di bawahnya. Menteri Sosial Haryati Soebadio, misalnya, Selasa pekan lalu, di Kupang (NTT) menyerahkan bantuan Rp 54 juta untuk pembangunan gedung BKKKS (Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial). Uang itu berasal dari KSOB. Acara yang berlangsung di saat menghangatnya sorotan terhadap KSOB dan TSSB itu seakan unuk menjawab bahwa dana yang dikumpulkan YDBKS tak seluruhnya mengendon di "pusat", tapi mengalir juga ke daerah. Tapi itulah, dengan pengumpulan dana nonbudgeter seperti ini, pengawasan terasa lemah. Semua berjalan di balik pintu tertutup. Berapa omset TSSB dan KSOB ? Berapa yang "disumbangkan" kembali ke masyarakat? Masyarakat tak tahu. Yang diketahui luas cuma dampak, kebanyakan negatif, akibat kecanduan KSOB dan TSSB. Maka, banyak yang terbelalak ketika Indra Bambang Oetoyo, anggota komisi APBN dari F-KP, mengungkapkan dalam rapat kerja komisi itu dengan Menteri Keuangan Sumarlin, 22 Juni yang lalu, bahwa KSOB dan TSSB menyedot duit setiap tahun sampai Rp 1,2 trilyun. Bukan main. Padahal, jumlah APBN kita pada 1988/1989 "cuma" Rp 29 trilyun. Suatu jumlah yang memang menyentak, kalau angka itu benar. Dana bantuan untuk TVRI yang Rp 1,5 milyar, ataupun sumbangan untuk KONI sekitar Rp 5 milyar/tahun, dengan begitu "baru seujung kuku". Apalagi dibandingkan dengan sumbangan Rp 54 juta untuk gedung di Kupang tadi. Dari pemantauan yang dilakukan F-KP, diketahui uang yang terkumpul dari penjualan kupon KSOB di Jawa Timur Rp 16 milyar/bulan, sedangkan Jawa Tengah/DIY dan Jawa Barat masing-masing sekitar Rp 11 milyar. Ditambah dengan penerimaan DKI sekitar Rp 9 milyar, maka setiap bulan penjualan KSOB untuk Pulau Jawa mencapai Rp 46 milyar. Ditambah penjualan di luar Jawa yang ditaksir Rp 10 milyar, maka jumlah itu menjadi Rp 56 milyar/bulan. Tapi dalam perhitungan F-KP yang diungkapkan Indra Bambang Oetoyo kepada TEMPO, jumlah itu dibulatkan saja menjadi Rp 50 milyar/bulan atau Rp 600 milyar/tahun. Penjualan TSSB diperkirakan sama. maka dengan demikian munculah angka Rp1,2 trilyun/tahun tadi. Karena hadiah yang diberikan kepada para pemenang cukup kecil (15% untuk KSOB dan 30% untuk TSSB), maka disinyalir begitu banyak dana yang tersedot dari daerah. Memang agak sulit mengkonfirmasikan data ini. Sebab, sejak F-KP melemparkan masalah ini ke permukaan, berbagai sumber yang layak mengetahui menolak berbicara. Menteri Sosial Haryati Soebadio setiap ditemui selalu berkata, "No comment." Begitu pula para stafnya yang berkecimpung dalam urusan TSSB dan KSOB, seperti Dirjen Binbansos, Jusuf Talib, atau staf ahli Mensos, Abraham Toding. "Jangan sekarang," ujar Abraham, Sekretaris YDBKS. PT Sahabat Sukses, agen tunggal KSOB yang ditunjuk YDBKS, juga tertutup. Andi Oddek, dirut perusahaan ini, yang biasanya mau buka suara, kali ini mengunci mulut, sekalipun cuma untuk sebuah konfirmasi data yang diperoleh TEMPO dari sumber lain. Gerakan tutup mulut memang ada dimana-mana. Banyak yang bilang, soal TSSB dan KSOB ini "soal peka". Mungkin karena itulah maka hampir semua pihak mengelak. Tapi sebuah sumber TEMPO di PT Sahabat Sukses membantah angka-angka yang disodorkan F-KP itu. "Sesuai dengan izin dari Depsos, PT Sahabat Sukses diperbolehkan mencetak 10 juta kupon setiap minggu. Kalaupun laku semua, baru berapa?" kata sumber itu. Dari 10 juta kupon itu yang terjual setiap minggu berkisar 60% atau senilai Rp 3,6 milyar, alias Rp 14,4 milyar/bulan. Setelah berganti nama dengan KSOB, Januari lalu, memang ada kecenderungan penjualan meningkat terus dua sampai tiga persen/bulan. Itu tampaknya ( karena Porkas model baru ini menyediakan tebakan angka (seperti hwa-hwe) selain tebakan huruf yang memang sudah ada. "Siaran langung pertandingan olah raga di TVRI juga berperan meningkatkan omset," katanya. Dari jumlah tadi tak semua lantas disedot ke Jakarta. Sumber itu merinci: 40% dibayarkan kepada para pemenang, 5% diberikan pada pemda, 15% untuk komisi para distributor dan pengecer, dan 10% untuk dana operasional di lapangan. Yang tersisa sebanyak 30% ditarik ke kantor PT Sahabat Sukses di Jakarta. Bila omset tadi akurat, maka yang disedot dari daerah -- menurut sumber ini -- cuma sekitar Rp 4,32 milyar/bulan, atau Rp 51 milyar lebih/tahun. Uang ini kemudian dibagi lagi: 4,4% menjadi milik PT Sahabat Sukses sebagai keuntungan murni, sedangkan 25,6% untuk dana olah raga, setelah dipotong pembayaran pajak dan dana operasional di kantor pusat. Sumber itu tak menjelaskan berapa persisnya besar pajak yang mesti dibayarkan dan berapa pula biaya operasional kantor pusat. Menurut SK Menteri Sosial 28 Desember 1987 tentang izin KSOB, kupon KSOB dijual Rp 600/lembar, menjanjikan 17 jenis hadiah dari Rp 2.400 sampai Rp 8 juta. Hadiah itu belum dipotong pajak 10% untuk hadiah Rp 5.000 ke bawah dan 20% untuk hadiah di atas Rp 5.000. Dana yang tersisa untuk olah raga tak dipakai habis setiap tahun. Sebesar 40% ditabungkan di bank untuk mempersiapkan dana abadi olah raga. "Selama tiga tahun adanya undian itu, jumlahnya sudah puluhan milyar rupiah," kata sebuah sumber yang lain. Suatu saat dana abadi itu diharapkan mampu membiayai kegiatanolah raga itu semacam pengganti KSOB itu. Sisa sebesar 60% itulah yang digunakan untuk berbagai kegiatan yang bersifat meningkatkan prestasi olah raga. Untuk tahun ini, misalnya, KSOB menyediakan Rp 1 milyar lebih untuk biaya pemusatan latihan dan pengiriman atlet ke Olimpiade Seoul, September mendatang. Sebesar sekitar Rp 1 milyar untuk membiayai pengiriman para atlet dari berbagai cabang olah raga yang tahun ini bertanding ke luar negeri. Ditambah berbagai pengeluaran lain, berarti tahun ini dana KSOB yang dipakai untuk olah raga tak seberapa (sekitar Rp 3 milyar). Memang belum tentu data yang diungkapkan sumber-sumber ini dan berbeda jauh dengan data F-KP -- akurat. Sekretaris dan juru bicara F-KP Rachmat Witoelar saja mengakui bahwa mereka memang tak mempunyai angka-angka yang persis karena yang dilakukan adalah perhitungan dan perhltungan secara perasaan. "Misalnya, kita hitung bila satu orang membeli sekian kupon tiap minggu maka satu bulan atau satu tahun ia akan menghabiskan uang sekian, dan itu untuk kegiatan yang tidak produktif," ujar Rachmat kepada TEMPO. Untuk penelitian ini -- lebih tepat semacam pemantauan -- F-KP menerjunkan 200-an anggotanya ke daerah sepanjang reses April -- Mei 1988. Mereka mencari data di kantor-kantor Dinas Sosial setempat, agen dan distributor KSOB dan TSSB, menghubungi DPD Golkar setempat, serta berbagai sumber lain yang layak tahu. Tidak semua daerah memang mereka sisir secara cermat untuk mengumpulkan data, tapi lebih pada mengadakan perhitungan berdasarkan sampel. Di Subang, Karawang, Purwakarta, dan Bekasi, misalnya, diketahui omset KSOB Rp 2,4 milyar/bulan. Lalu untuk mencari data Jawa Barat, tinggal mengalikan angka tadi dengan jumlah kabupaten yang di provinsi itu, hingga diperoleh angka Rp 12 milyar. Memang masih dilakukan koreksian-koreksian karena memang produktivitas daerah menyerap kupon-kupon itu tidak selalu sama. Karena itu, Krissantono, Wakil Sekretaris F-KP, mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan F-KP jangan disamakan dengan lembaga riset semacam LIPI. "Kami lebih banyak mengamati gejala yang terjadi di masyarakat, mencari keterangan dari masyarakat dan kebenaran yang lebih jauh harus dibuktikan oleh pemerintah yang punya aparat untuk itu," katanya. Sinyalemen yang dilemparkan F-KP bahwa TSSB dan KSOB banyak menyedot dana dari daerah mungkin juga tak sedramatis yang digambarkan. Dr. Dibyo Prabowo, antara lain, merasa ragu apakah benar dana yang diserap undian itu lebih banyak dari desa dibandingkan kota. Dekan Fakultas Ekonomi UGM itu mengemukakan, peredaran uang di kota jauh lebih besar daripada di pedesaan. Maka, menurut Dibyo, yang lebih banyak menjadi sasaran bisnis tebak-tebakan ini adalah lapisan bawah kaum urban seperti buruh kasar, pedagang kecil, tukang becak, atau pegawai rendahan. "Sifat gambling orang kota lebih tinggi dibandingkan masyarakat desa," katanya memberi alasan. Lagi pula, orang-orang dari apisan ini pulalah yang mudah tertarik membeli mimpi (tiba-tiba mendadak kaya dengan uang KSOB). Sekalipun demikian, dampak undian itu tetap berat menimpa orang desa (lihat Desa-Desa Mati karena Angan-Angan). Sayangnya, sekalipun KSOB kini sudah berumur tiga tahun, tak banyak penelitian serius dilakukan. Sekelompok mahasiswa fakultas ilmu sosial Universitas Airlangga yang tergabung dalam kelompok studi PGSS (Peminat Gejala Sosial Surabaya), sekitar Juli tahun lalu, memang pernah meneliti Porkas. Mereka mewawancarai 150 responden yang dipilih secara acak dan tinggal di tiga wilayah terpisah di Surabaya. Dari penelitian yang memakan waktu satu setengah bulan ini, mereka memperoleh beberapa hal yang menarik. Misalnya, 63,3% responden ternyata peminat Porkas yang baru. Artinya, mereka mengenal permainan tebak-tebakan ini setelah ada Porkas. Sisanya adalah orang yang sudah pernah berjudi atau biasa membeli lotere. Jumlah terbesar responden terlibat Porkas karena motif ingin cepat kaya (42,7%), karena iseng saja (36%), untuk hiburan (17,3%), sisanya karena alasan sudah biasa berjudi. Penelitian ini menemukan pula bagian tcrbesar respondennya menebak Porkas dengan cara meramal (46,7%), dengan cara untung-untungan saja (32%), dengan minta bantuan dukun (16%). Artinya, jika Porkas diharapkan sebagai permainan tebakan yang rasional, sudah terbantah dengan penelitian ini. Penelitian ini memperkuat asumsi yang mcnyatakan bahwa pembeli Porkas adalah masyarakat bawah. Jumlah terbesar responden (44%) berpenghasilan Rp 60.000/bulan ke bawah, Rp 60.000 sampai Rp 120.000 (29,3%), sisanya pembeli dengan penghasilan Rp 120.000 ke atas. Poll (pengumpulan pendapat) yang disebarkan TEMPO pertengahan tahun lalu membuktikan pula bahwa pelanggan Porkas berasal dari lapisan bawah. Sebagian besar responden (41,35%) adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 50.000/bulan. Yang menerima gaji Rp 50.000 sampai Rp 100.000/bulan tercatat 23,61%. Sedang yang bernafkah bersih Rp 150.000 sampai Rp 200.000/bulan ada 15,62%. Semakin tinggi perolehan seseorang, tampaknya, makin besar pula kecenderungannya untuk tidak terlibat Porkas. Tercatat cuma 11% responden yang menerima gaji Rp 300.000 sampai Rp 400.000/bulan yang biasa membeli Porkas. Pengumpulan pendapat ini melibatkan responden yang lebih besar. Ada 1.139 responden yang tersebar di pusat-pusat penjualan Porkas di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Pelanggan Porkas ternyata datang dari berbagai profesi. Antara lain petani/nelayan (2,45%), buruh kasar (14,13%), pegawai negeri/ABRI (12,29%), pelajar (7,19%), mahasiswa (12,73%), dan pengangguran (8,09%). Peringkat teratas penebak Porkas itU ternyata dipegang karyawan swasta (21,51%), dan wiraswasta/pedagang (20,28%). Porkas rupanya digemari segala lapisan masyarakat. Tentang adanya kecemasan bahwa Porkas berpengaruh pada pcmbelian bahan-bahan kebutuhan sehari-hari karena menurunnya daya beli masyarakat yang jadi lebih suka menelan impian daripada makan, poll ini menunjukkan bahwa responden tak segan-segan membelanjakan pendapatannya satu sampai tiga lembar kupon (61,28%), 4 - 6 (21,51%), 7 - 9 (14,13%). Tak jauh berbeda dengan penelitian mahasiswa Unair tadi, ternyata 50,21 % responden selama ini bukanlah petaruh. Hanya 22,56% yang sebelumnya sudah mengenal judi. Dan mereka menganggap dengan bermain Porkas berarti mereka main judi. Sebab, jumlah terbesar responden (60,75%) menyatakan Porkas itu adalah judi. Maka, agak aneh kalau penelitian yang dikoordinasikan Departemen Sosial tahun lalu menyimpulkan bahwa dampak negatif Porkas hanyalah bersifat kasuistis. Memang, menurut sumber TEMPO di Depsos, penelitian yang dilakukan dulu itu akurasinya diragukan. Apalagi sekarang ternyata hasil penelitian Depsos itu bertolak belakang dengan hasil pemantauan anggota F-KP ke daerah-daerah. Sekretaris F-KP Rachmat Witoelar tak menyalahkan hasil penelitian Depsos itu. "Timnya berbeda, melihat masalah juga dari sudut pandang yang berbeda, maka kesimpulannya juga berbeda," kata bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB itu. Memang tampaknya perlu ada penelitian kembali yang lebih serius. Keterbukaan pihak pengelola dana juga diperlukan. "Peta" peredaran.TSSB dan KSOB di Indonesia, serta omsetnya, juga layak diketahui semua orang, agar kadar merasuknya kedua jenis undian itu serta akibatnya bisa jelas diketahui. Mungkin ada benarnya ucapan Wakil Ketua DPR Saiful Sulun. Ia berpendapat bahwa tujuan pemerintah mengadakan undian itu cukup baik, tapi nyatanya di lapangan banyak suara yang menghendaki agar TSSB dan KSOB itu ditinjau kembali. "Mari kita cari jalan keluarnya sehingga ide semula tetap jalan, tapi dampak dihilangkan," kata bekas Pangdam Brawijaya itu. Dampak itu memang menjadi sorotan keras. Apalagi karena kegiatan ini bergelimang uang. Maka, muncullah, misalnya, gunjingan bagaimana salah seorang pengurus undian itu beberapa bulan lalu sempat menanamkan modal sampai ke Australia. Pejabat lain baru saja menempati rumah pribadi megah berlantai dua di pinggiran Jakarta. Namun, itu 'kan cuma omongan orang. Kalau mau menebak benar tidaknya, angan-jangan perlu juga kode dan ramalan. A.N., Rustam F. Mandayun, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini