Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Meletup di aceh pidie

Sejumlah siswa kelas I jurusan IPS dari SMA negeri meureulu (Aceh), protes, mereka ingin masuk IPA. dari penelitian dosen IKIP Medan, ada beberapa siswa yang dirugikan dalam penentuan jurusan. (pdk)

12 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu mereka tidak masuk kelas. Sejumlah siswa kelas I SMA Negeri Meureudu itu bikin ulah: teriak-teriak, lantas membunyikan lonceng sekolah. Ribut. Dewan guru di SMA yang terletak di Kabupaten Aceh Pidie dan berjarak sekitar 150 km dari Banda Aceh lantas rapat. Sekolah pun ditutup pada 27, 28 dan 29 Januari lalu. Ternyata berhasil meredakan sekitar 100 anak yang bikin ulah. Pada upacara bendera Senin, 31 Januari, sekolah biasa kembali. Tapi persoalan yang dimunculkan anak-anak itu tidaklah rampung begitu saja. Sejumlah siswa kelas I jurusan IPS itu protes. Mereka ingin masuk IPA. Januari lalu bagi siswa kelas I SMA di seluruh Indonesia memang bulan kelas baru. Waktu itulah, sesuai dengan ketentuan kurikulum 1975, mereka dijuruskan. Ada yang masuk IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), ada yang masuk IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dan ada yang masuk jurusan Bahasa. Tapi pembagian jurusan yang sudah berlangsung mulai 1976 itu agaknya belum mantap juga. Di sana-sini masih menimbulkan persoalan, tak hanya di Meureudu. Di harian Suara Karya, Jakarta, 3 Februari muncul surat pembaca dari tiga siswa sebuah SMA di Banjarnegara, Jawa Tengah. Mereka antara lain menyampaikan keluhan temari-teman mereka yang merasa tak cocok dengan jurusannya. "Kenapa penjurusan tidak cocok dengan hasil psikotes?" tulis tiga siswa itu. Padahal soal penjurusan di SMA bukan barang baru. Dulu, sampai dengan 1963 dikenal SMA A (sastra), B (ilmu pasti), dan C (ekonomi). Lalu jurusan itu diubah menjadi tiap SMA mempunyai 4 jurusan: Pas (ilmu pasti), Pal (ilmu alam), Sos (sosial), dan Bud (budaya). Pada 1968 terjadi perubahan sedikit: yang jurusan ilmu eksakta itu digabung menjadi Paspal, dua yang lain tetap. Dan lahirnya kurikulum 1975 -- yang mulai dilaksanakan pada 1976 -- memperkenalkan penjurusan seperti sekarang ini. Dulu persoalannya, sebagaimana yang terjadi di SMA Meureudu, siswa IPS yang ingin masuk IPA. Kini persoalan itu semakin kompleks. Contohnya bulan lalu terjadi di SMA Perguruan Husni Thamrin, Medan. Seorang siswa kelas I di SMA swasta itu tak mau masuk sekolah. Sebabnya ia ingin ke IPS, tapi oleh sekolah dicemplungkan ke IPA. Kompromi tidak tercapai, dan akhirnya siswa itu pindah sekolah. Tercatat hingga pertengahan Januari lalu sudah 10 siswa di SMA tersebut pindah sekolah gara-gara mencari jurusan yang cocok. Soal penjurusan tentulah bukan main-main. Direktur Pendidikan Menengah Umum, Dr. Benny Soeprapto, mengatakan: "Tiap orang itu bakatnya berlainan. Adanya pembagian jurusan untuk memberi kesempatan siswa mengikuti pelajaran sesuai bakatnya agar mencapai hasil optimal." Dan "sebetulnya ribut-ribut penjurusan tidak perlu terjadi," tambahnya. Sebab, dua hal pokok yang dijadikan landasan penjurusan sudah memperhitungkan segalanya. Pertama, keinginan siswa dan kedua prestasi belajarnya. Selain itu, kurikulum 1975 pun memungkinkan siswa pindah jurusan. Tentu, ada syaratnya. Misalkan siswa dari jurusan IPA mau pindah ke IPS, angka untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPS minimal harus berjumlah 18, dan untuk IPS tidak boleh kurang dari enam. Di beberapa sekolah penjurusan masih ditambah lagi dengan tes psikologi. Dari tes itu kemudian diketahui kecenderungan terkuat dari siswa. Tapi mengapa muncul pula ketidakpuasan itu? Untuk sementara agaknya suatu penelitian oleh 8 dosen IKIP Medan pada enam SMA (3 negeri dan 3 swasta) di Medan pula bisa dijadikan pegangan. Di balik aturan yang resmi itu ternyata ada hal lain yang tak kurang menentukannya dalam menjuruskan siswa. Penelitian ini, dilakukan Desember lalu, mengambil sampel 50 siswa kelas I dari masing-masing SMA tersebut. Selain daftar pertanyaan untuk para siswa, juga ada wawancara dengan masing-masing kepala sekolah. Dari hasil penelitian yang dipimpin salah seorang dosen itu, Iryanto, 37 tahun, bisa disimpulkan bahwa responden dalam memilih jurusan telah melihat jauh ke depan. Dengan sadar 41% responden menyatakan memilih jurusan tertentu karena mereka tahu masa depannya lebih menguntungkan daripada dua jurusan yang lain. Dan hebatnya lagi, 10% responden dengan tegas mengatakan bila mereka tak bisa masuk ke jurusan pilihannya, mereka akan pindah sekolah -- agar bisa masuk ke jurusan yang diinginkannya. Pandangan dan tekad seperti itulah yang agaknya bisa menjadi bibit keresahan. Sementara itu dari wawancara dengan keenam kepala sekolah SMA tersebut, diperoleh kebijaksanaan lain dalam soal penjurusan ini. Ialah soal efisiensi dan kemampuan sekolah. Menurut Iryanto jumlah guru untuk IPA, IPS dan Bahasa menentukan pula dalam menjuruskan siswa. Misalkan sebuah SMA kekurangan guru untuk IPA, kemungkinan besar jumlah kelas IPA akan dibatasi. "Wah, mana bisa membuat kelas sesuka hati kalau gurunya tak ada," kata Iryanto menirukan Abdul Hamid Gani, Kepala SMAN II. Dan, yang lebih memprihatinkan, memang ada perhitungan agar tiap kelas memiliki perbandingan murid rata-rata 48. Akibatnya, misalkan ternyata ada 113 siswa kelas I berhak masuk IPA, 17 siswa akan menjadi masalah. Sebab dengan dua kelas hanya bisa menampung 96 siswa, sementara bila dibikin tiga kelas (per kelas 38 siswa) diarggap tidak menggunakan kelas dengan efisien. Masalah begini, menurut Iryanto yang juga menjadi Koordinator SMA Perguruan Husni Thamrin itu, oleh para kepala sekolah biasanya dipecahkan begini: 17 siswa ranking terbawah dimasukkan ke IPS. Yang lebih drastis lagi juga diketemukan lewat penelitian yang hasilnya dibagikan kepada sejumlah aparat pendidikan di Sumatera Utara, pertengahan bulan lalu. Ternyata jurusan Bahasa di SMA yang dijadikan sampel, tak dibuka. Memang ada juga siswa yang prestasi belajarnya menjurus ke jurusan itu. Namun jumlah selalu di bawah perbandingan rata-rata yang 48 per kelas itu. Dari 300 responden hanya sekitar 9% yang berminat memilih jurusan Bahasa. Maka, ya, siswa peminat Bahasa terpaksa diintegrasikan saja ke kelas IPS. Untungnya, antara IPS dan Bahasa tak begitu jauh berbeda pe]ajarannya. Bahkan menurut buku Panduan Masuk Proyek Perintis, semua fakultas yang bisa didaftari lulusan IPS pun bisa dimasuki jurusan Bahasa. Benny Soeprapto, Direktur Pendidikan Menengah Umum itu, menyayangkan bila benar terjadi penjurusan yang didasari pertimbangan efisiensi. "Ketentuan jumlah siswa minimal tak ada," katanya. Tapi ini memang merupakan masalah yang berakar pada peledakan jumlah siswa, sementara metode pendidikan di Indonesia masih mengkotakkan siswa per kelas. Buktinya, di PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan yang ada di 8 IKIP, penjurusan tidak menjadi masalah benar. Di PPSP hanya ada dua jurusan: Palma (pengetahuan alam dan matematika) dan Sosbud (sosial budaya). Tapi di sekolah eksperimen ini di kelas 10 (sama dengan kelas II SMA), ketika siswa mulai dijuruskan, pembagian secara fisik tak ada. Tetap saja satu kelas dihuni siswa Palma dan Sosbud. Sebab untuk beberapa mata pelajaran materi yang diberikan untuk kedua jurusan itu sama. Misalkan untuk Pendidikan Moral Pancasila, Olahraga, Kesenian. Tapi untuk Tata Buku yang hanya wajib diketahui siswa Sosbud pelajaran memang diberikan terpisah. "Itu semua untuk menghilangkan kesan bahwa jurusan yang satu lebih tinggi dari yang lain," kata Hamzah Busroh, Kepala SMA PPSP IKIP Jakarta. Dan yang penting dari sistem PPSP itu, ialah siswa tidak dirugikan. Entah atas nama efisiensi, entah atas nama yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus