Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Memandang Haji dari Kacamata Barat

Dengan 2,5 juta orang berkumpul di Mekah, haji menjadi ritual keagamaan terbesar. Juga butuh biaya besar.

30 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jemaah Muslim melakukan Tawaf di sekitar Ka'bah di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, 28 Juni 2023. Saudi Press Agency/Handout via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dengan 2,5 juta orang berkumpul di Mekah, haji menjadi ritual keagamaan terbesar.

  • Haji bukan semata ibadah, tapi juga memperkuat kekerabatan.

  • Muslim di negara Barat membutuhkan minimal Rp 105 juta untuk berhaji.

Jutaan laki-laki, perempuan, dan anak-anak berkumpul di Mekah pada minggu ini untuk menunaikan ibadah haji. Pemerintah Arab Saudi mengatakan ini akan menjadi kerumunan terbesar yang pernah ada untuk ziarah massal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibadah haji pada intinya adalah ziarah menuju Tuhan. Ini kemudian menjadi paradoks. Jika Tuhan melampaui ruang dan waktu, lalu apa tujuan bepergian ke tempat tertentu? Apakah Tuhan tidak hadir sekarang di mana-mana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis sufisme dan diplomat Inggris terkenal, Gai Eaton, menawarkan tanggapan yang elegan:

"Indra kehadiran ilahi kita tumpul. Kita perlu menemukannya dengan mendatangi tempat tertentu dan, bagi seorang muslim, tempat itu adalah Ka'bah di Makkah—arah ke mana mereka menghadap setiap kali salat dan sekarang dia melakukan perjalanan haji."

Sebuah Pengalaman Transformatif

Dalam pandangan dunia Islam, Ka'bah berfungsi sebagai lokus hati. Saya menggunakan jamak “hati” di sini karena haji bukan hanya kewajiban agama individu. Ini merupakan tindakan komunal yang memperkuat ikatan kekerabatan antara muslim dan cara yang tidak ada duanya.

Jamaah haji melempar jumroh aqobah di Jamarat, Mekah, Arab Saudi, 28 Juni 2023. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany

Ketika jemaah bersiap mengenakan pakaian haji (pakaian ihram), mereka melepas lebih banyak dari pakaian mereka. Kebangsaan, ras, dan status sosial-ekonomi terlempar ke pinggir jalan—pangeran dan orang miskin bersatu sebagai peziarah. Semua perbedaan ditinggalkan. Pengalaman tersebut dapat bersifat transformatif, terutama bagi mereka yang baru pertama kali melakukan ziarah.

Aktivis hak-hak sipil dan penceramah terkenal muslim Amerika, Malcolm X, terpaksa mengevaluasi kembali pandangannya tentang ras setelah pengalaman hajinya pada 1964. Dalam Surat dari Makkah, dia menulis:

"Ada puluhan ribu peziarah, dari seluruh dunia. Mereka dari semua warna kulit, dari pirang bermata biru hingga Afrika berkulit hitam. Tetapi kami semua berpartisipasi dalam ritual yang sama, menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan yang, menurut pengalaman saya di Amerika Serikat (AS), membuat saya percaya tidak akan pernah ada perbedaan antara kulit putih dan non-kulit putih."

Ditambah dengan refleksi sosialnya yang merupakan sebuah revolusi internal, yang menggerakkan hati, dalam otobiografinya, dia menulis:

"Selama 39 tahun saya di bumi, Kota Suci Makkah adalah tempat pertama kalinya saya berdiri di hadapan Pencipta Segalanya dan merasa menjadi manusia seutuhnya."

Jalan Menuju Mekah Penuh dengan Tantangan

Bagi umat Islam, kembalinya jumlah anggota jemaah haji ke jumlah pra-pandemi tahun ini (atau bahkan melampaui itu) merupakan kesempatan lain untuk reorientasi kepada Tuhan.

Memang, globalisasi telah mendekatkan dunia, mengurangi dampak buruk pertemuan orang-orang dari lapisan masyarakat yang sama sekali berbeda. Meski demikian, ibadah haji tetap tak tertandingi dalam kemampuannya membolak-balikkan hati, baik secara individu maupun kolektif. Semua pengalaman bukanlah hal yang selalu mudah dan nyaman.

Jika sejarah ziarah haji telah menunjukkan sesuatu, perjalanan menuju Mekah sendiri sering kali penuh tantangan. Tantangan yang dihadapi calon haji kerap tidak terduga dan terjadi secara drastis serta menentukan pengalaman haji mereka masing-masing.

Pandemi Covid-19 menyebabkan kegiatan ziarah ke tempat-tempat suci dihentikan selama dua tahun. Hanya sejumlah kecil penduduk Saudi masih diizinkan menunaikan ibadah haji.

Saat pandemi perlahan mereda, banyak muslim di negara lain yang telah menunggu dengan penuh harap dan memesan rencana perjalanan mereka. Tapi mereka dihadapkan pada tantangan baru.

Jemaah haji berkumpul di Bukit Rahmat di dataran Arafah di luar kota suci Mekkah, Arab Saudi, 27 Juni 2023. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany

Perjuangan untuk Mendapatkan Tempat

Pada 2022, pemerintah Saudi mengumumkan bahwa semua orang yang ingin menunaikan ibadah haji dari beberapa negara Barat, termasuk Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Uni Eropa, harus mendaftar melalui situs web Motawif. Bagi yang sudah melakukan booking, disarankan untuk segera membatalkan dan melakukan registrasi melalui Motawif. Sistem ini akan menempatkan pendaftar ke dalam sebuah sistem tipe lotre, menggantikan agen tur perjalanan haji yang telah beroperasi secara lokal di negara-negara tersebut selama bertahun-tahun.

Pemerintah Saudi mengklaim sedang berusaha menghilangkan perantara (agen tur) dan membuat proses paket perjalanan haji lebih lancar dan terjangkau. Namun, menurut banyak kesaksian, yang terjadi justru sebaliknya.

Para pendaftar mengkritik kegagalan teknis Motawif yang terjadi terus-menerus. Mereka yang cukup beruntung untuk sampai ke Mekah mengeluhkan kekacauan yang tidak terorganisasi ihwal penyambutan kedatangan mereka.

Klaim Saudi tentang peningkatan keterjangkauan juga ditentang. Harga paket haji bervariasi, bergantung pada tingkat kemewahan yang diinginkan jemaah selama berada di Kota Suci. Namun, ketika memperhitungkan semua biaya, total harga untuk paket penerbangan sebesar US$ 7.000-13.500—sekitar Rp 105-202 juta per orang.

Bagi banyak muslim di Barat, paket haji yang lebih terjangkau dipandang sebagai hal yang diinginkan. Namun kenyataannya, harga tetap tinggi—satu-satunya perbedaan adalah pemerintah Saudi mengumpulkan keuntungan.

Tahun ini, otoritas Saudi telah membuang sistem Motawif yang berumur pendek. Alih-alih beroperasi berdasarkan undian, sekarang telah diganti dengan sistem baru siapa cepat dia dapat (first-come, first-serve). Hanya waktu yang akan menentukan apakah sistem baru ini layak atau apakah akan berjalan sesuai dengan keinginan Motawif.

Terlepas dari tantangan ini, umat Islam dari seluruh dunia terus berduyun-duyun melakukan ibadah haji. Melalui ritual ini, mereka mengarahkan hati secara individu dan kolektif menuju Ka'bah. Dengan melakukan itu, mereka melangkah melampaui waktu, menghubungkan masa lalu dan masa kini dalam perjanjian yang tak terputus dengan Tuhan.

---

Artikel ini ditulis oleh Ali Hammoud, kandidat doktor sejarah keilmuan Islam di Western Sydney University, Australia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus