Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Membaca Imajinasi dengan Kamera

Rekayasa imajinasinya, bukan fotonya.

21 Mei 2015 | 00.00 WIB

Membaca Imajinasi dengan Kamera
Perbesar
Membaca Imajinasi dengan Kamera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dalam sebuah frame hitam-putih, Puti menatap buah hatinya yang sedang terlelap. Tak hanya satu, tapi ada 13 frame yang lebih kecil, yang bercerita tentang proses sesaat setelah dia melahirkan. Seperti saat Yamdia, dukun kampung, menggendong sang bayi. Ada juga ritual sesudah persalinan yang biasa dilakukan Suku Bajo, di Desa Topa, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

Lahirnya Pelaut Tangguh. Begitu judul foto cerita karya La Ode Mz Sakti Qudratullah. Pelaut yang dia maksudkan bukanlah orang dewasa yang siap mengarungi lautan, melainkan seorang bayi mungil, si calon pelaut.

Sakti-sapaan La Ode Mz-adalah satu di antara 15 peserta Workshop Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Makassar #1. Para peserta menggelar pameran foto bertajuk "Begin" di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar, 14-23 Mei ini.

Berbeda dengan Sakti, Ismail Amin dengan karya Oase Panggilan Alam membidik toilet-toilet umum yang tampak kumuh. "Masalah tidak selesai sampai pada ketersediaan toilet saja," ujar Ismail, menjelaskan lima fotonya. Namun layak atau tidaknya toilet pun menjadi catatan yang harus diperhatikan.

Sedangkan sepuluh peserta yang mengambil Kelas Dasar memajang foto-foto tunggal-satu foto setiap judul. Ada foto pertunjukan, potret kegiatan sehari-hari, upacara adat, demonstrasi di jalan, orang-orang terpinggirkan, dan bangunan ikonik di Makassar. Dari hasil-hasil foto yang dipamerkan, para fotografer memperkuat sudut pengambilan gambar yang indah dilihat.

Koordinator GFJA Makassar, Yusran Uccang, mengatakan materi yang dipelajari peserta kelas dasar memang merupakan teknik dasar fotografi yang mengacu pada foto jurnalistik. Di kelas foto jurnalistik sendiri, peserta juga belajar tentang penulisan berita, penulisan keterangan gambar, etika jurnalistik, dan foto cerita.

Kepala Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar Motuleh, mengatakan seorang jurnalis foto harus punya dasar wartawan lebih dulu. Apalagi tidak selalu puncak kejadian (momentum) secara jurnalistik gambarnya menarik. Momentum hanya cara untuk memotret di media.

Menurut Oscar, selalu ada kesempatan untuk memotret. Unsur kemanusiaan menjadi penting untuk diingat. "Foto, pada waktu disiarkan, menjadi foto jurnalistik," ujar Oscar, dalam acara "Bincang Fotografi" di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, Jumat malam pekan lalu.

Namun aliran foto jurnalistik memiliki rambu-rambu bagi fotografernya.

Wartawan foto juga perlu berhati-hati memakai lensa. Pemakaian lensa yang salah bisa menyebabkan obyek tidak sesuai dengan aslinya. Komposisi memang perlu, tapi fotografer pers harus lebih dulu belajar jurnalistik. "Gunakanlah kamera dengan bahasa. Dia juga harus bisa mengungkapkan."

Menurut Oscar, fotografi juga merupakan alat membaca. Filosofi fotografi adalah bagian dari kita. "Fotografi sepenuhnya adalah alat yang digunakan untuk meniru cara manusia melihat." Apa yang kita lihat, apabila dipotret dengan kamera, akan memainkan imajinasi kita. "Bangun imajinasi. Bagaimana imajinasi bisa diolah dan direkayasa. Namun bukan fotonya yang direkayasa."

Workshop dan pameran ini, kata Uccang, hanyalah pembekalan awal bagi para fotografer muda untuk mengenal foto jurnalistik. Sesuai dengan tema pameran, "Begin" atau memulai. Tema ini dipilih, kata Uccang, dengan harapan menjadi permulaan yang mewakili pengetahuan, inspirasi, semangat, dan kebersamaan dalam menciptakan karya-karya visual berbobot jurnalistik.

Salah satu pengunjung pameran, Muh. Faisal, menilai, dari segi visual, karya foto yang dipamerkan menampilkan bentuk visualisasi etnografi mikro, yakni merekam peristiwa-peristiwa keseharian masyarakat. Menurut dia, pameran ini adalah salah satu bentuk kritik sosial yang sangat menunjang untuk menggambarkan Kota Makassar yang sebenarnya. Namun, kata dia, penting memperhatikan kekuatan estetik dan makna sebuah foto. "Harus ada keseimbangan antara keduanya," kata pengajar seni rupa di Universitas Muhammadiyah Makassar ini. REZKI ALVIONITASARI


Etika Foto Jurnalistik
-Tidak boleh menampilkan foto-foto sadistis.
-Foto korban atau tersangka sebaiknya disamarkan, terutama anak-anak di bawah umur.
-Menghargai privasi narasumber, apalagi ketika menolak gambarnya diambil.
-Pengeditan foto dianjurkan hanya minor editing, yakni cropping, kontras, dan pencahayaan. Untuk cropping atau pemotongan tidak boleh mencapai 30 persen.
-Wartawan foto dilarang merekayasa foto atau menghilangkan dan menambah suatu obyek. REZKI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus