SEJAK berdiri di tahun 1969 sampai bubar dengan sendirinya,
Badan Urusan Cess Daerah (BUCD) Sumatera Utara tak pernah
diributkan. Tidak juga soal dana yang berhasil dikantonginya
sebanyak Rp 1,2 milyar. Atau tentang proyek-proyek yang langsung
ditanganinya.
Tapi ketika dalam dua tahun anggaran belakangan ini, APBD
Sumatera Utara mulai menyisihkan dana untuk meneruskan
proyek-proyek BUCD, para anggota DPRD propinsi ini mulai angkat
suara. Sebelumnya semua bungkam. Bukan karena biaya
proyek-proyek badan ini terlepas dari APBD, tapi juga banyak
disebut semua sepak terjangnya merupakan kebijaksanaan langsung
dari Gubernur Marah Halim.
Tak lama setelah beberapa anggota DPRD Sumatera Utara melakukan
penelitian terhadap BUCD, pertengahan bulan lalu dibentuklah
sebuah tim. Tugasnva meneliti proyek-proyek BUCD selama ini.
"Ternyata proyek-proyek itu tidak selesai," tutur Marzuki Lubis,
salah seorang anggota tim. Buktinya APBD daerah itu tahun
1977/1978 harus disisihkan sebanyak Rp 1,2 milyar untuk
meneruskan proyek-proyek itu.
Selain itu, menurut Marzuki, BUCD selama ini telah mengada-ada.
Misalnya, dengan alasan membuat kebun induk dan kebun
percontohan, badan itu telah membangun perkebunan yang cukup
luas. Misalnya, kehun kelapa sawit selua 125 hektal di
Kabupaten Langkat, kebun karet 130 hektar di Bukit Sintang,
kebun induk kelapa 50 hektar di Tapanuli Tengah Dan banyak lagi.
"Itu bukan kebun percontohan, tapi sudah estate, tambah Marzuki
lagi.
Lebih Tinggi
Menurut Marzuki, selama ini badan itu secara langsung telah
menangani sendiri proyek-proyeknya. Baik di bidang perkebunan
dan peternakan maupun prasarana (jalan). Tak sedikitpun
menyangkut-pautkan dinas-dinas yang membawahi bidang-bidang itu.
Karenanya anggota tim itu menyarankan agar "proyek-proyek itu
dikembalikan kepada dinas-dinas yang telah ada." Maksudnya,
proyek perkebunan diserahkan kepada Dinas Perkebunan, proyek
peternakan diberikan kepada Dinas Peternakan dan proyek jalan
diserahkan kepada PU.
Ada lagi yang menarik perhatian tim ini. Yaitu harga-harga yang
dipasang BUCD selama ini ternyata lebih tinggi dari yang lazim
terjadi. Misalnya untuk perkebunan karet, BUCD mengeluarkan
biaya penggarapan Rp 600.000 untuk tiap hektar. Padahal P3RSU
(Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara) untuk hal
itu hanya mengeluarkan Rp 500.000 per-hektar. Lain lagi kebun
cengkeh penduduk di sepanjang jalan Padang Sidempuan jurusan
Sibolga, sekarang sudah pada mati. Padahal baru 2 atau 3 kali
panen saja. Menurut penduduk mereka mendapat bibitnya dari Pemda
Sumatera Utara. Artinya, kalau tak dari Dinas Perkebunan tentu
berasal dari BUCD. Tapi baik Dinas Perkebunan maupun BUCD
menolak jika dikatakan bibit-bibit itu berasal dari mereka.
Bagaimana nian kerja BUCD selama ini, agaknya masih menunggu
laporan tim peneliti yang tak lama lagi akan memaparkannya di
hadapan sidang paripurna DPRD Sumatera Utara. BUCD sendiri
melalui SK Menteri Keuangan April 1976 telah menghentikan
pungutannya terhadap berbagai jenis hasil bumi. Dan sejak itu
pula badan tadi praktis bubar, meskipun sisa-sisa pekerjaannya
masih harus dibenahi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini