"ADA citra, negara-negara Islam itu dipimpin oleh pembunuh," kata Profesor Husein Alatas. Sebulan lalu, guru besar dari Universitas Malaysia yang banyak mengarang buku tentang korupsi ini mengucapkan kata-katanya itu dalam pengajian Kelompok Dirasat Empati. Kenapa itu terjadi? Untuk mencari jawabannya, diskusi yang bertema kekuasaan dalam Islam itu meneruskannya Kamis pekan lalu di tempat yang sama, di Jakarta Selatan. Kemudian, ditemukanlah penyebabnya. Antara lain, semua ini gara-gara beredarnya "hadis-hadis politik" tapi bertentangan dengan jiwa dan semangat Islam. Di banyak ayat, Quran menyuruh kita agar membela kebenaran. Dan bunyi sebuah hadis dalam kitab Shahih Muslim, Nabi menyuruh umat agar mendengar dan mematuhi pemimpin politik "yang berhati setan, sekalipun ia menyiksamu dan merampas harta bendamu". Padahal, menurut Abdurrahman Wahid, Ketua PB Nahdatul Ulama, yang hadir dalam diskusi tadi, Islam mempunyai tiga prinsip ideal untuk kekuasaan: keadilan, persamaan, dan musyawarah. Ini ditegaskan oleh Quran maupun Nabi, seperti disampaikan para sahabat generasi pertama. Adanya hadis seperti di atas mengesankan Islam tak tegas. Lalu M. Thahir Badrie dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) memastikan, "Hadis memang bisa dimanipulasi, antara lain untuk memelihara kekuasaan." Dan itu juga bisa terjadi sekarang. Contohnya, ada hadis dari Imam al-Bukhari, yang menyebutkan bahwa di tubuh manusia ada segumpal darah, yang menentukan baik-buruknya seluruh badan. Yaitu hati. Entah hasil tangan jail siapa, kini hadis itu beredar lewat mimbar dengan tambahan kata-kata: "Ulama dan umara' alias penguasa turut menentukan kebaikan itu." Ini jelas sudah hadis palsu. Dan munculnya hadis-hadis palsu kemudian diuraikan pula oleh Dr. M. Syuhudi Ismail dalam pidato ilmiahnya (34 halaman) pada Dies Natalis ke-23 IAIN Alauddin Ujungpandang, ketika menutup tahun lalu. Menurut ahli hadis kelahiran Lumajang 45 tahun lalu itu, munculnya hadis-hadis palsu dimulai ketika pemerintahan Ali ibn Abi Thalib dan Mu'awiyah. Itulah masa periode gemuruh politik. Bahkan ketika itu muncul pula hadis yang mengatakan Khalifah Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan Usman ibn Affan itu telah merampas hak Sayidina Ali untuk jabatan khalifah -- pengganti Nabi. Padahal, Ali sendiri tidak berkata demikian. Begitulah, namanya pun hadis palsu. Kata Syuhudi, hadis-hadis palsu itu berdampak negatif, karena Islam "digambarkan" tidak sebenarnya. Dalam soal kekuasaan, misalnya, seperti tergambar dalam hadis di atas, Islam seakan mentolerir adanya pemimpin tirani. Atau dalam hal kehidupan sehari-hari, Islam seolah memang menganut sikap fatalis (lihat Dari Akik ke Kosmetik). "Bahkan kalau hadis yang kita pakai itu palsu, Islam kita menjadi Islam palsu," kata Jalaluddin Rakhmat kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Sebab, tambah dosen ilmu komunikasi dari Universitas Padjadjaran Bandung itu, hadis adalah dasar sunah -- fondasi dari bangunan Islam. Lagi pula, hadis palsu merusakkan citra Nabi Muhammad. Karena dari hadis itu tergambarkan seolah Rasulullah jadi pelupa, kekanak-kanakan, dan bicara bodoh. Hadis palsu juga menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Para ulama bersepakat menolak hadis palsu. Cuma, mengapa hadis palsu terus beredar di tengah umat? Menurut Ustad Umar Thalib, 70 tahun, karena di samping politis, ada motif ekonomis, sosiologis, dan keuntungan pribadi. Yang ekonomis contohnya hadis: "Siapa salat dengan memakai serban, maka pahalanya 40 kali salat tanpa serban." Setelah diteliti, kata anggota MUI Ja-Tim itu pada Herry Mohammad dari TEMPO, hadis itu diedarkan oleh pedagang agar serbannya laku. Jadi, palsu. Musthalah al-hadis adalah ilmu yang menetapkan kriteria hadis palsu dan sahih Hadis palsu biasanya disebut mawdhu', pernyataan yang sebenarnya tidak berasal dari Nabi, tetapi dari sejumlah orang menyebut begitu -- sekadar omongan orang lalu diklaim seperti berasal dari Nabi. Bisa jadi, awalnya memang sesuai dengan sebagian hadis sahih, kemudian diselewengkan. Lalu kebanyakan di antaranya menjadi bertentangan, meskipun itu terkandung dalam kitab seperti Shahih karya Imam al-Bukhari. Misalnya hadis yang menyebutkan Nabi Muhammad pernah dibedah dadanya oleh malaikat, 5 kali, untuk membersihkan hatinya dari kotoran. Suatu hari, ini didiskusikan dalam mata kuliah Studi Kritis Terhadap Sejarah Nabi Muhammad, di Pesantren Pembinaan Ilmu-Ilmu Islam, Bandung, yang diasuh oleh Jalaluddin Rakhmat yang tadi. Di antara 60 santri, ada yang tanya kenapa Nabi mesti dibedah 5 kali? Mengapa untuk membersihkan hati perlu pembedahan jasmani? Ya, mengapa? Jika pertanyaan kritis ini lebih sering muncul, agaknya kian banyak hadis palsu yang ketahuan belangnya. Lalu siapa sang jail itu? Ahmadie Thaha (Jakarta) dan Syahrir Makkuradde (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini