Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABUT pekat di Pegunungan Bosagong, Sulawesi Tengah, menutup pandangan awak pesawat pencari selepas pukul 07.00. Ketika itu awal April, 1977. Tim Pusat Search and Rescue (SAR) Nasional kesulitan menemukan tubuh pesawat DHC 6 - Twin Otter milik Merpati Nusantara Airlines yang hilang pada 29 Maret.
Ketika jalan udara terhambat, tinggal jalan darat satu-satunya. Dan tanpa usaha tiga korban berjalan kaki ke desa terdekat, bisa jadi pesawat itu hilang selamanya. Enam hari diperlukan untuk mencapai Kampung Ongka, di Kecamatan Tinombo. Baru delapan hari kemudian lokasi pesawat bisa ditembus dengan berjalan kaki dan bantuan helikopter.
Dari 23 penumpang dan awak pesawat, 16 ditemukan tewas, termasuk koresponden Tempo Husni Alatas, 37 tahun. Penumpang pertama yang selamat, Ham Sek Lae, baru mencapai Kabupaten Toli-toli beberapa hari kemudian. Musibah pesawat Twin Otter itu menjadi ”kisah sukses” sebuah operasi pencarian, bahkan mengilhami pembuatan film Operasi Tinombala. Nama itu diambil dari lokasi pesawat yang hanya sekitar 50 meter dari puncak Gunung Tinombala—dengan ketinggian 2.185 meter.
Menurut pengamat penerbangan K. Martono, tim SAR mesti bersekutu dengan alam. Sudah biasa kabut tebal dan lebat hutan menghalangi usaha pencarian. Apalagi di laut lepas. ”Di darat kadang masih ada cerita selamat, tapi di laut kemungkinannya kecil,” kata mantan operator radio di Bandara Kemayoran itu kepada Tempo.
Pada 26 Mei 1974, sebuah pesawat Grumman Albatros milik TNI Angkat-an Udara diperkirakan jatuh. Reruntuhan pesawat sudah terlihat dari udara hanya dua hari setelah kejadian. Tepatnya di tebing Gunung Sidole, Palu, Sulawesi Tengah. Titik lokasi harus ditembus melalui rangkaian tebing curam, 15 kilometer dari desa terdekat. Lebih dari sepekan kemudian tim SAR berhasil mencapai lokasi. Semua penumpang pesawat, sebelas anggota TNI-AU, ditemukan tewas.
Pada September 1970, sebuah pesawat dengan enam penumpang hilang setelah meninggalkan Polonia, Medan, menuju Meulaboh, Aceh Barat. Reruntuhannya baru ditemukan sembilan tahun kemudian oleh pencari rotan di perbatasan provinsi. Seluruh jenazah ditemukan lengkap di lokasi.
Ada pula cerita pesawat yang baru muncul setelah lebih dari satu dekade. Ini terjadi pada pesawat yang ditumpangi empat pejabat Perseroan Terbatas Perkebunan III Sumatera Utara, pada akhir November 1982. Mereka adalah Direktur PTP Onggong Baringin Siahaan, Direktur Produksi Ir Masduki, Inspektorat Ir Maruli Tua Gultom, Staf Ahli Pengembangan Ir Suyasto, serta pilot Imam Supadio. Operasi pencarian pesawat yang dalam perjalanan dari kawasan perkebunan Aek Nabara, Labuhan Batu, ke Kota Medan, itu digelar besar-besaran di darat, laut, dan udara. Dua kapal laut menyelidik di Selat Malaka. Masyarakat di empat kabupaten—Langkat, Simalungun, Karo, Deli Serdang—dilibatkan.
”Diperkirakan masih diperlukan beberapa hari lagi untuk mengetahui nasib pesawat Piper Aztec yang hilang,” sebuah koran nasional menulis saat itu. Bak ditelan langit, kapal berbaling-baling dua ini lenyap di antara kabut tebal dan pekatnya hutan di jajaran pegunungan Bukit Barisan. Dua ahli search and rescue (SAR) dari Jepang didatangkan, tapi hasilnya tetap nihil.
Genap 14 tahun kemudian, pesawat itu ditemukan empat pencari kayu ulin. Moncongnya menghunjam lereng bukit di hutan kawasan Desa Tenggulun, Kejuruan Muda, Aceh Timur, 135 kilometer dari Kota Medan. Lima kerangka jenazah ditemukan lengkap dengan identitas yang masih terbaca.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo