Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memoles Wajah di Bali

Sejumlah organisasi memboikot Bali Democracy Forum. Pemilihan kepala daerah tak langsung dipertanyakan banyak negara.

13 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILIHAN kepala daerah lewat parlemen menjadi perbincangan serius dalam konferensi Civil Society Forum di Bali International Convention Center, Nusa Dua, pada Rabu dan Kamis pekan lalu. Delegasi 86 negara dan 37 lembaga swadaya masyarakat kompak menyebut keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tiga pekan lalu itu sebagai "kemunduran demokrasi".

Dalam diskusi di forum-forum kecil, para delegasi itu ramai mempertanyakan keputusan politik yang mengembalikan Indonesia ke situasi sebelum reformasi 1998 tersebut. "Umumnya mereka menyayangkan keputusan itu karena, selama lebih dari sepuluh tahun, demokrasi Indonesia menjadi contoh di Asia-Pasifik," kata Agung Djojosoekarto, Direktur Partnership for Governance Reform, Jumat pekan lalu.

Partnership menjadi salah satu peserta yang diundang Institute for Peace and Democracy, yang menyelenggarakan acara itu. Lembaga ini menjadi satu dari tiga organisasi non-pemerintah yang tak ikut memboikot acara tersebut. Sebelas lembaga lain menolak hadir karena forum itu serangkai dengan Bali Democracy Forum, yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Jumat pagi dan berakhir Sabtu pekan lalu.

Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Yudhoyono dianggap gagal mempertahankan aturan pemilihan kepala daerah secara langsung di parlemen akibat ulah anak buahnya di fraksi menolak ikut voting saat pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Akibatnya, jumlah suara politikus yang menginginkan pemilihan secara langsung kalah telak.

Dengan absennya 129 suara Demokrat, perbandingan suara voting menjadi 236 : 135 suara. Sejumlah politikus Demokrat mengatakan aksi walkout itu atas restu Yudhoyono, yang sedang berada di Washington, Amerika Serikat, menghadiri sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Boikot ini bentuk protes kami kepada Yudhoyono yang mempermainkan kedaulatan rakyat," kata Selly Martini dari Indonesia Corruption Watch.

Selain Indonesia Corruption Watch, yang menolak hadir di forum tersebut adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Transparency International Indonesia, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Jaringan Pendidikan untuk Pemilih Rakyat, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Migrant Care, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia, serta Yayasan Penguatan Partisipasi Indonesia.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan forum di Bali yang digelar tiap tahun sejak 2008 tersebut hanya "bentuk pencitraan Yudhoyono". Menurut dia, forum tersebut dipakai Yudhoyono untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa ia telah memperkuat demokrasi di Indonesia setelah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Apalagi, menurut Haris, pelaksanaan Bali Democracy Forum dipercepat dari yang biasanya digelar tiap awal Desember. Fakta ini, kata dia, kian menunjukkan Yudhoyono hendak menjadikan forum tersebut sebagai pesta perpisahannya dengan kepala negara lain.

Sebagai presiden, jabatan Yudhoyono berakhir pada 20 Oktober 2014. "Kami diundang dalam pesta yang dibungkus kerangka demokrasi itu," ujarnya.

Sofia Sudarma, Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, mengakui skenario mempercepat Bali Forum. Sementara Institute for Peace menjadi penyelenggara Bali Civil Society, Kementerian Luar Negeri menjadi tuan rumah Bali Democracy sebagai puncak rangkaian acara tersebut. Pemilihan bulan Oktober, kata Sofia, atas rekomendasi peserta di forum yang sama pada 2013. "Yang jelas disesuaikan dengan agenda pemerintah," ucapnya.

Dalam pidato pembukaan Bali Democracy Forum, Yudhoyono mengatakan ia juga kecewa terhadap keputusan DPR menghapus pemilu langsung kepala daerah. Apalagi ia menjadi sasaran kemarahan sebagian besar rakyat Indonesia, yang menudingnya menjadi penyebab perubahan pemilihan langsung. Di Twitter, tanda #ShameOnYouSBY dan #ShamedByYou menjadi trending topic dunia. "Seharusnya kemarahan itu dibagi dua dengan mereka yang mengusulkan perubahan," ujarnya. "Tapi, sudahlah, mungkin mereka menganggap presiden bisa melakukan segalanya."

Untuk menebusnya, kata Yudhoyono, ia menerbitkan perpu setiba dari luar negeri dua pekan lalu. Dalam peraturan tersebut, ia memasukkan sepuluh rekomendasi perbaikan pemilihan kepala daerah secara langsung yang diusung Fraksi Demokrat di DPR. Masalahnya, peraturan pengganti itu tak otomatis berlaku karena harus disetujui parlemen yang baru bersidang setelah 20 Oktober.

Meski hanya tiga lembaga dari Indonesia yang hadir, Bali Civil Society tetap berjalan. Ada 45 orang utusan 37 lembaga swadaya dari seluruh dunia yang diundang plus para duta besar. Menurut I Ketut Erawan, Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy, forum diskusi dua hari itu berjalan lancar. "Karena setiap peserta dituntut aktif dalam diskusi," tuturnya.

Menurut Ketut, Civil Forum baru diadakan tahun ini sebagai bagian dari Bali Democracy Forum. Sebelumnya, ada Bali Media Forum, yang pesertanya dari kalangan media massa. Meski serangkai dengan Bali Democracy, kata Ketut, penyelenggara dari luar pemerintah. Institute for Peace and Democracy sendiri didirikan mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, dengan Yudhoyono sebagai pelindungnya.

Partnership, bersama Working Group of Human Rights dan Yayasan Wisnu, memilih tetap hadir dalam forum itu karena, menurut Agung Djojosoekarto, aksi boikot terlalu berlebihan. "Kami juga kecewa terhadap situasi politik, tapi Bali Democracy Forum terlalu besar jika hanya dibandingkan dengan Yudhoyono," ucapnya.

Menurut Agung, di luar pertanyaan dan kekecewaan lembaga dan negara luar atas keputusan DPR itu, ada diskusi dan kesepakatan penting dalam forum untuk menyiasati tidak reformisnya sebagian besar partai politik. "Caranya dengan mengorganisasikan masyarakat menjadi pelobi ke parlemen seperti di Inggris dan Belanda," ujarnya.

Di dua negara Eropa itu, kata Agung, pemilihan kepala daerahnya juga ditentukan kesepakatan partai politik di parlemen. Namun penentuan gubernur dan wali kota di sana tetap transparan dan pemimpin yang dihasilkan diterima publik karena organisasi kemasyarakatan aktif melobi dengan menyodorkan tokoh-tokoh reformis. "Apa boleh buat karena kita menghadapi realitas politik seperti itu," katanya.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa juga mengatakan Bali Democracy Forum tetap penting untuk mempromosikan dan bertukar pengalaman demokrasi pelbagai negara. Bagi pemerintah, ajang ini juga menjadi lobi untuk meluaskan hubungan diplomatik. "Setelah forum ini, misalnya, segera dibuka Kedutaan Republik Vanuatu di Jakarta," ucapnya. Vanuatu, negara kecil di Samudra Pasifik, menentang Indonesia di banyak forum internasional akibat konflik di Papua dan Aceh.

Bagja Hidayat, Reza Aditya (Jakarta), Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus