Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mempertahankan predikat swasembada

Departemen pertanian as (usda) melaporkan laju produksi beras indonesia terhambat. produksi beras menurun hingga harus mengimpor. para pejabat indonesia bersikeras swasembada beras masih aman.

14 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ULAH birokrat Amerika ternyata bisa memusingkan birokrat Indonesia. Paling tidak, itulah yang terjadi awal bulan ini, ketika departemen pertanian AS (USDA) melaporkan bahwa laju produksi beras Indonesia terhambat. Bahkan tahun ini, karena besarnya serangan hama, diramalkan produksi menurun hingga harus mengimpor. Ini berarti predikat swasembada beras yang disandang Indonesia, sejak 1984, terancam. Padahal, keberhasilan inilah salah satu alasan mengapa badan pangan sedunia (FAO) memberikan penghargaan khusus kepada Presiden Soeharto di Roma dua tahun silam. Para pejabat Indonesia pun terkejut dan membantah. "Kenaikan produksi memang menurun dibanding tahun lalu, tapi produksi tetap naik," kata Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Ir. Wardoyo. Ia memang punya data yang berbeda dengan departemen pertanian AS. Produksi tahun 1986, misalnya, menurut Wardoyo, adalah 26,7 juta ton sedangkan menurut USDA cuma 26,6 juta ton. Perbedaan ini semakin melebar dalam ramalan produksi tahun ini. USDA memperkirakan 26,3 juta ton sedangkan pemerintah 27,3 juta ton. Sumber perbedaan, agaknya, muncul akibat penafsiran yang berbeda tentang dampak hama wereng yang sedang mewabah. Wardoyo memperkirakan wereng dapat terkendali seperti sekarang, hanya mengurangi produksi sekitar 0,3% saja. Sedangkan USDA menganggap dampak wabah ini serius, hingga memaksa pemerintah melarang penggunaan 57 insektisida serta penanaman jenis padi yang kurang unggul. Para pejabat Indonesia, dengan sendirinya, solider dengan Wardoyo. "Produksi beras kita aman, aman sekali. No problem," kata Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Bustanil Arifin. Ia juga membantah perkiraan USDA yang meramalkan stok Bulog tahun ini cuma 900 ribu ton. "Sekarang kita punya 1,85 juta ton dan sebentar lagi bertambah karena ada panen raya," katanya. Bustanil sama sekali tak khawatir pada ramalan USDA. "Dulu juga ada profesor Amerika yang meramalkan Indonesia akan impor beras lima juta ton pada 1985. Nyatanya, tahun itu kita swasembada," katanya enteng. Ia mengakui tahun ini ada impor beras sekitar 150 ribu ton dari Filipina. "Tapi bukan karena kita kekurangan, melainkan itu pembayaran pinjaman beras mereka sebelumnya," ujarnya. Bahkan Indonesia berniat mengekspor 100 ribu ton ke Vietnam tahun ini. Pelacakan wartawan TEMPO di berbagai daerah cenderung memperkuat pendapat Menteri Wardoyo. "Produksi beras di Jawa Timur meningkat terus," kata Ir. S. Kadiono, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur. Hal senada juga diutarakan rekannya di Jawa Barat. "Tak akan terjadi penurunan produksi beras di Karawang," kata Male Rusmana M., Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, penghasil beras nomor dua Indonesia ini. Laporan dari wilayah Jawa Tengah pun serupa. Hama wereng ternyata tak seganas seperti dikhawatirkan semula dan produksi tetap baik. Lantas bagaimana USA dapat menarik kesimpulan yang berbeda? Sebuah sumber yang terlibat dengan pengumpulan data USDA ini mengatakan, ramalan itu didasarkan pada data Biro Pusat Statistik (BPS) dan kumpulan pernyataan pejabat Indonesia. Jadi, bukan memanfaatkan teknologi canggih seperti satelit mata-mata misalnya. Alhasil, boleh jadi ramalan pesimistis itu lahir karena banyak pejabat Indonesia sempat melontarkan kecemasan terhadap serbuan wereng cokelat belakangan ini. Bisa jadi ini juga merupakan cerminan keraguan USDA terhadap program peningkatan pangan Indonesia melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi. Yang jelas, laporan itu memang tak dimaksudkan untuk mengkritik kebijaksanaan pemerintah Indonesia, karena ramalan itu dibuat dan disiapkan untuk pemerintah AS sendiri. Lepas dari ramalan siapa yang akan terbukti benar, persoalan swasembada atau tidak sebenarnya tak punya banyak pengaruh atas nasib petani. Terbukti nasib petani di Muangthai -- yang sudah lebih dari seabad berswasembada beras -- ternyata tak lebih baik dari rekan seprofesinya di Indonesia. Petani kita sendiri semakin realistis. Untuk memperbaiki nasibnya, misalnya, makin banyak petani yang mengganti usaha bersawah dengan menanam jenis tanaman lain seperti jeruk (lihat Pilih Jeruk ...). Masalah swasembada ini sebenarnya memang lebih terkait pada masalah citra bangsa. Ia dianggap indikator atas suksesnya program pembangunan sebuah negara berkembang. Hingga upaya mempertahankan swasembada beras im terkadang terasa agak dipaksakan. "Malu kita, dong, dengan FAO nanti. 'Kan kita sudah mendapat medali IAC karena dari negara pengimpor beras menjadi swasembada," komentar Bustanil Arifin tentang hal ini. Bahwa nilai ekonomi persawahan memang tidak terlalu tinggi terbukti dengan lajunya konversi persawahan menjadi lahan lain di Pulau Jawa. Dalam tahun 1971--1980 saja diperkirakan 141.000 ha sawah berubah fungsi menjadi permukiman, industri, dan lahan tanaman nonberas. "Berarti rata-rata per tahun kehilangan 14.000 ha sawah," kata Menteri Pertanian Ir. Achmad Affandi. Untuk menjaga agar produktivitas beras tidak menurun, pemerintah menempuh dua cara: membuat lahan sawah baru di luar Jawa dan meningkatkan produktivitas sawah yang ada, antara lain dengan sistem supra-insus. Karena lahan di luar Jawa biasanya tak sesubur di Pulau Jawa, diperkirakan diperlukan 2,5 ha sawah baru untuk setiap ha sawah di Pulau Jawa yang hilang. Peningkatan produktivitas ditempuh melalui terobosan teknologi. Hanya saja, penggunaan teknologi mutakhir umumnya lebih menguntungkan bila persawahannya dikelola sebagai industri dan bukan kepemilikan lahan yang sempit seperti di Indonesia. Di AS, misalnya, tak sampai 5% petani dibutuhkan untuk memproduksi 140% dari kebutuhan pangan negara itu. Padahal, di Indonesia, untuk sekadar berswasembada saja, sekitar 55% penduduk harus berkutat sebagai petani. Wajarlah kalau nasib mereka menjadi acuan pembangunan negeri ini. Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus