Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menaikkan Gaji Guru

Ip Simanjuntak ketua lembaga dan pendidikan nasional IKIP Jakarta, menggambarkan masalah pendidikan tertekan masalah kwalitatif, dengan menaikkan gaji guru untuk mengatasi masalah tersebut.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HADIRIN tertawa gelak-gelak, ketika dari mimbar jang lantainja sama rata dengan lantai kursi hadirin itu terdengar saran supaja sebaiknja disekolah tidak dipakai guru-guru wanita. Mengapa? Karena, kata Pro. IP Simandjuntak, dalam bahasa Inggeris jang lantjarnja melebihi pegawai-pegawai Hl, biasanja guru wanita jang kawin harus mengambil tjuti 3 bulan karena hamil. Sekalipun tak ada fakta jang dikuatkan statistik, tapi bekas Dekan IKIP Djakarta itu menundjukkan kenjataan banjaknja wanita-wanita jang mendjadi guru SD. Malah Profesor Simandjuntak untak menaksir dari 7 orang guru jang ada dalam sebuah SD -- termasuk Kepala Sekolah hanja 4 dari mereka jang terus aktif, sementara 3 lagi asjik dengan tjuti hamilnja. Ini bukanlah pesan dalam rangka keluarga berentj ana, sekalipun sebetulnja taksiran untuk selalu menganggap wanita itu hamil pada saat-saat biasa kiranja dapat dibantah. Berdiri dipodium Goethe Institut Dj. Matraman tanggal 27 Mei itu adalah seorang Guru Besar Ilmu Mendidik, berumur lebih 60 tahun dan mendapat gelar Master of Arts dari Teachers College, Columbia University. Bertjeritalah ia dihadapan sekitar 50 orang hadirin -- diantara-nja wanita -- tentang bagaimana sebetulnja sekarang ini dibutuh-kan perkembangan pendidikan. sebagai gedjala dari sebuah negara merdeka -- jang kemudian ambtenar-ambtenaleks pendjadjah ini segera meninggalkan pos-pos jang dulu dipegangnja -- maka banjak posisi jang lowong. Dan waktu itu posisi sedemikian biasanja mendapat pembajaran jang tjukup memuaskan. Segera pula diketahui oleh orang pribumi bahwa kursi-kursi lowong itu hanja bisa ditjapai dengan djalan pendidikan. Itulah sebabnja diatas tahun 1950 -- setelah pengakuan kedaulatan -- keinginan akan pendidikan makin meningkat setjara menjolok. Seperti djuga banjaknja posisi keguruan jang dulullja dipegang pengadjar-pengadjar Belanda jang sudah pulang kenegerinja (tentang jang ini sang profesor bertjerita bahwa guru-guru SD jang terlatih baik terpaksa dialihkan ke SMP ataupun SMA. Sementara untuk SD hanja dibuat kursus-kursus singkat). Semu. Sampai batas ini, profesor jang sekarang mendjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian Keguruan & Pendidikan Nasional IKIP Djakarta menggambarkan bagaimana masalah pendidikan tertekan pada masalah kwalitatif. Dimana-mana orang lalu mengedjar diploma. Dengan maksud untuk mempertahankan kwalitas, pemerintah kemudian sadar perlunja keseragaman udjian-udjian sekolah. Akan tetapi tetap mendjadi persoalan bagaimana menjediakan pendidikan jang bisa diketjap oleh banjak orang jang lagi mabuk sekolah. Kesulitan ini untuk sementara bisa teratasi berkat adanja swasta dan pribadi jang mau berdagang dibidang sekolah, sekalipun sebetulnja "sekolah-sekolah" itu sukar dikatakan sebagai sekolah dalam pengertian "lembaga pendidikan jang baik". Maka sebagai akibatnja inilah dikoran-koran terpetik berita mengenai banjaknja penganggur dari segala matjam tamatan sekolah. Karena mereka tak bisa menundjukkan keaktifan sebagaimana lajaknja seorang pemegang idjazah. Akan soal kwantitatif-kwantitatifan ini, profesor itu menurunkan sedjumlah angka-angka jang efektif hingga tahun 1969 (lihat tabel). Disana terlihat bagaimana adanja kemadjuan dalam urusan bertambahnja sekolah beserta bertambahnja anak-anak jang dapat mengetjap sekolah itu. Tapi sebetulnja kemadjuan semu karena seperti dikatakan sang profesor, kita masih terus terdjauh dari kemampuan jang diharapkan. Ia memberikan gambaran pada tingkatan sekolah menengah, baik umum ataupun kedjuruan swasta ataupun pemerintah: ada sedjumlah 4990 sekolah. Ini berhadapan dengan djumlah SD jang mentjapai angka 51.747 pada tahun jang sama (lihat label) jang berarti baru sepersepuluh kebutuhan penjaluran SD, atau jang menurut profesor Simandjuntak inilah "angka-angka jang menundjukkan kebutuhan akan pemadjuan pendidikan dari segi kwantitatif". Adapun mengenai apa jang dinamakan perkembangan pendidikan setjara kwalitatif, profesor jang rambutnja sudah putih keseluruhannja itu memaparkan hal jang berkenaan dengan perkembangan ilmu dan teknologi setelah perang dunia ke II. Perkembangan antara keduanja: sekolah dan teknologi rupanja tidak berdjalan seiring. Misalnja, ketika tjalon-tjalon guru dilatih, mereka diperkenalkan pada buku-buku wadjib jang diturunkan oleh sekelompok orang jang sudah djauh ketinggalan dan perkembangan teknologi jang ada sekarang. Sementara sang murid jang diadjar, dalam atjara keseharian berhadapan dengan penemuan-penemuan baru, dengan nilai-nilai baru. Dari itu, menurut profesor tak ada pilihan lain bahwa tugas pendidikan sekarang adalah membawa para peladjar dari zaman ini kedalam kantjah kehidupan pada zamannja pula. Blut und Eisen. Tapipun soalnja tidaklah hanja itu sadja. Betapapun terhadap sebuah buku wadjib dapat ditambahkan keterangan-keterangan mengenai sesuatu perkembangan ilmu dan teknologi mutachir, tapi kalau itu diniatkan hanja untuk dihafal tok, maka menurut sang Profesor, itu bukanlah tjara pengadjaran jang baik. Djadi metode mengadjar, itulah soalnja. Adakah sesuatu materi jang diadjarkan itu terlihat hubungannja dengan ketjenderungan socioekonomis dalam masjarakat? Adakah sekolah memberi djaminan pekerdjaan bagi lulusannja atau memberi kesempatan bagi mereka untuk suatu tanggung djawab dalam masjarakat segera setelah usia mereka masak? Tampaknja sang profesor agak kesal dalam mengemukakan bagaimana anak-anak SMP beladjar tentang politik Blut und eisen Bismarck (dalam rangka penjatuan Djerman) daripada sedjarah negara tetangga sematjam Siam dan Filipina. Ataupun anak-anak SD jang banjak tahu tentang industri di Inggeris dan AS atau daerah Ruhr daripada mengenai produksi bahan-bahan tambang dinegara sendiri. Itu baru pandangan bekas Direktur SGA Kristen Djakarta sekitar kebutuhan untuk memadjukan pendidikan. Belum lagi bagaimana hambatan-hambatan jang akan dialami kalau hadjat itu akan dilaksanakan, jang -- sudah diduga -- lebih banjak tersangkut dalam soal biaja. Mengutip Menteri P & K, untuk menjediakan kelas jang tjukup untuk SD sadja dibutuhkan Rp 180 biljun -- belum lagi kebutuhan penambahan fasilitas pendidikan karena menurut pendidik ini, pendidikan jang baik bukanlah hanja menjuruh murid diam dibangku. Achirnja diketahui djuga bahwa hadirin dalam ruang ber-AC itu mendjadi lega djuga oleh kuliah itu. Buktinja banjak jang datang menanja dan memberikan tanggapan atau menjatakan tidak setudju. "Profesor", tanja seorang hadirin, djuga dalam bahasa Inggeris, "kuliah profesor hanja mengemukakan sekian banjak masalah. Menurut profesor djalan apakah jang harus diambil paling duluan untuk mengatasi masalah-masalah itu?" Sang Profesor bangkit dari duduknja, saling menggenggam djarinja dan kemudian sembari senjum mendjawab: "Menaikkan gadji guru". Dan orangpun bubarlah, setelah bersalam-salaman dengan pentjeramah dan Dr. Klaus Ferkinghoff, Direktur Goethe Institut di Djakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus