HADIRIN tertawa gelak-gelak, ketika dari mimbar jang lantainja
sama rata dengan lantai kursi hadirin itu terdengar saran supaja
sebaiknja disekolah tidak dipakai guru-guru wanita. Mengapa?
Karena, kata Pro. IP Simandjuntak, dalam bahasa Inggeris jang
lantjarnja melebihi pegawai-pegawai Hl, biasanja guru wanita
jang kawin harus mengambil tjuti 3 bulan karena hamil. Sekalipun
tak ada fakta jang dikuatkan statistik, tapi bekas Dekan IKIP
Djakarta itu menundjukkan kenjataan banjaknja wanita-wanita jang
mendjadi guru SD. Malah Profesor Simandjuntak untak menaksir
dari 7 orang guru jang ada dalam sebuah SD -- termasuk Kepala
Sekolah hanja 4 dari mereka jang terus aktif, sementara 3 lagi
asjik dengan tjuti hamilnja.
Ini bukanlah pesan dalam rangka keluarga berentj ana, sekalipun
sebetulnja taksiran untuk selalu menganggap wanita itu hamil
pada saat-saat biasa kiranja dapat dibantah. Berdiri dipodium
Goethe Institut Dj. Matraman tanggal 27 Mei itu adalah seorang
Guru Besar Ilmu Mendidik, berumur lebih 60 tahun dan mendapat
gelar Master of Arts dari Teachers College, Columbia University.
Bertjeritalah ia dihadapan sekitar 50 orang hadirin --
diantara-nja wanita -- tentang bagaimana sebetulnja sekarang ini
dibutuh-kan perkembangan pendidikan. sebagai gedjala dari sebuah
negara merdeka -- jang kemudian ambtenar-ambtenaleks pendjadjah
ini segera meninggalkan pos-pos jang dulu dipegangnja -- maka
banjak posisi jang lowong. Dan waktu itu posisi sedemikian
biasanja mendapat pembajaran jang tjukup memuaskan. Segera pula
diketahui oleh orang pribumi bahwa kursi-kursi lowong itu hanja
bisa ditjapai dengan djalan pendidikan. Itulah sebabnja diatas
tahun 1950 -- setelah pengakuan kedaulatan -- keinginan akan
pendidikan makin meningkat setjara menjolok. Seperti djuga
banjaknja posisi keguruan jang dulullja dipegang
pengadjar-pengadjar Belanda jang sudah pulang kenegerinja
(tentang jang ini sang profesor bertjerita bahwa guru-guru SD
jang terlatih baik terpaksa dialihkan ke SMP ataupun SMA.
Sementara untuk SD hanja dibuat kursus-kursus singkat).
Semu. Sampai batas ini, profesor jang sekarang mendjabat sebagai
Ketua Lembaga Penelitian Keguruan & Pendidikan Nasional IKIP
Djakarta menggambarkan bagaimana masalah pendidikan tertekan
pada masalah kwalitatif. Dimana-mana orang lalu mengedjar
diploma. Dengan maksud untuk mempertahankan kwalitas, pemerintah
kemudian sadar perlunja keseragaman udjian-udjian sekolah. Akan
tetapi tetap mendjadi persoalan bagaimana menjediakan pendidikan
jang bisa diketjap oleh banjak orang jang lagi mabuk sekolah.
Kesulitan ini untuk sementara bisa teratasi berkat adanja swasta
dan pribadi jang mau berdagang dibidang sekolah, sekalipun
sebetulnja "sekolah-sekolah" itu sukar dikatakan sebagai sekolah
dalam pengertian "lembaga pendidikan jang baik". Maka sebagai
akibatnja inilah dikoran-koran terpetik berita mengenai
banjaknja penganggur dari segala matjam tamatan sekolah.
Karena mereka tak bisa menundjukkan keaktifan sebagaimana
lajaknja seorang pemegang idjazah.
Akan soal kwantitatif-kwantitatifan ini, profesor itu menurunkan
sedjumlah angka-angka jang efektif hingga tahun 1969 (lihat
tabel). Disana terlihat bagaimana adanja kemadjuan dalam urusan
bertambahnja sekolah beserta bertambahnja anak-anak jang dapat
mengetjap sekolah itu. Tapi sebetulnja kemadjuan semu karena
seperti dikatakan sang profesor, kita masih terus terdjauh dari
kemampuan jang diharapkan. Ia memberikan gambaran pada tingkatan
sekolah menengah, baik umum ataupun kedjuruan swasta ataupun
pemerintah: ada sedjumlah 4990 sekolah. Ini berhadapan dengan
djumlah SD jang mentjapai angka 51.747 pada tahun jang sama
(lihat label) jang berarti baru sepersepuluh kebutuhan
penjaluran SD, atau jang menurut profesor Simandjuntak inilah
"angka-angka jang menundjukkan kebutuhan akan pemadjuan
pendidikan dari segi kwantitatif".
Adapun mengenai apa jang dinamakan perkembangan pendidikan
setjara kwalitatif, profesor jang rambutnja sudah putih
keseluruhannja itu memaparkan hal jang berkenaan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi setelah perang dunia ke II.
Perkembangan antara keduanja: sekolah dan teknologi rupanja
tidak berdjalan seiring. Misalnja, ketika tjalon-tjalon guru
dilatih, mereka diperkenalkan pada buku-buku wadjib jang
diturunkan oleh sekelompok orang jang sudah djauh ketinggalan
dan perkembangan teknologi jang ada sekarang. Sementara sang
murid jang diadjar, dalam atjara keseharian berhadapan dengan
penemuan-penemuan baru, dengan nilai-nilai baru. Dari itu,
menurut profesor tak ada pilihan lain bahwa tugas pendidikan
sekarang adalah membawa para peladjar dari zaman ini kedalam
kantjah kehidupan pada zamannja pula.
Blut und Eisen. Tapipun soalnja tidaklah hanja itu sadja.
Betapapun terhadap sebuah buku wadjib dapat ditambahkan
keterangan-keterangan mengenai sesuatu perkembangan ilmu dan
teknologi mutachir, tapi kalau itu diniatkan hanja untuk dihafal
tok, maka menurut sang Profesor, itu bukanlah tjara pengadjaran
jang baik. Djadi metode mengadjar, itulah soalnja. Adakah
sesuatu materi jang diadjarkan itu terlihat hubungannja dengan
ketjenderungan socioekonomis dalam masjarakat? Adakah sekolah
memberi djaminan pekerdjaan bagi lulusannja atau memberi
kesempatan bagi mereka untuk suatu tanggung djawab dalam
masjarakat segera setelah usia mereka masak?
Tampaknja sang profesor agak kesal dalam mengemukakan bagaimana
anak-anak SMP beladjar tentang politik Blut und eisen Bismarck
(dalam rangka penjatuan Djerman) daripada sedjarah negara
tetangga sematjam Siam dan Filipina. Ataupun anak-anak SD jang
banjak tahu tentang industri di Inggeris dan AS atau daerah Ruhr
daripada mengenai produksi bahan-bahan tambang dinegara sendiri.
Itu baru pandangan bekas Direktur SGA Kristen Djakarta sekitar
kebutuhan untuk memadjukan pendidikan. Belum lagi bagaimana
hambatan-hambatan jang akan dialami kalau hadjat itu akan
dilaksanakan, jang -- sudah diduga -- lebih banjak tersangkut
dalam soal biaja. Mengutip Menteri P & K, untuk menjediakan
kelas jang tjukup untuk SD sadja dibutuhkan Rp 180 biljun --
belum lagi kebutuhan penambahan fasilitas pendidikan karena
menurut pendidik ini, pendidikan jang baik bukanlah hanja
menjuruh murid diam dibangku.
Achirnja diketahui djuga bahwa hadirin dalam ruang ber-AC itu
mendjadi lega djuga oleh kuliah itu. Buktinja banjak jang datang
menanja dan memberikan tanggapan atau menjatakan tidak setudju.
"Profesor", tanja seorang hadirin, djuga dalam bahasa Inggeris,
"kuliah profesor hanja mengemukakan sekian banjak masalah.
Menurut profesor djalan apakah jang harus diambil paling duluan
untuk mengatasi masalah-masalah itu?" Sang Profesor bangkit dari
duduknja, saling menggenggam djarinja dan kemudian sembari
senjum mendjawab: "Menaikkan gadji guru". Dan orangpun bubarlah,
setelah bersalam-salaman dengan pentjeramah dan Dr. Klaus
Ferkinghoff, Direktur Goethe Institut di Djakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini