Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Praktik eksploitasi terhadap anak buah kapal masih terus terjadi.
Banyak perusahaan perekrut ABK di Indonesia tak berizin.
Peraturan pemerintah dibutuhkan untuk melindungi ABK yang bekerja di kapal asing.
JAKARTA – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengatakan eksploitasi terhadap anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia masih terus terjadi. Negara belum bisa memberikan pelindungan kepada para pekerja bahari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak ada pengawasan dan data valid ihwal jumlah ABK yang bekerja untuk kapal asing,” kata Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar Maarif, kemarin, 8 Juni. Kekosongan hukum membuat perusahaan perekrut ABK bisa leluasa beroperasi. “Padahal ada beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi perusahaan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang tengah menyiapkan peraturan pemerintah tentang penempatan dan pelindungan awak kapal. Namun, hingga saat ini, rancangan aturan itu belum juga disahkan.
Bobi menyebutkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengeluarkan 11 indikator kerja paksa, yaitu penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, isolasi, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi, penahanan dokumen identitas pribadi, pemotongan upah, jeratan utang, pekerjaan dan tempat tinggal yang tidak layak, serta jam kerja berlebih.
“Dari indikator itu, ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing mengalami hampir semuanya,” kata dia. Kerja paksa yang dialami ABK, kata Bobi, termasuk bentuk eksploitasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Bobi menambahkan, banyak perusahaan perekrut ABK beroperasi secara bebas meski tidak memenuhi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. “Di Jawa Tengah saja ada sekitar 70 perusahaan yang tanpa izin,” kata dia.
Sistem pembayaran gaji ABK juga perlu disorot. Sebab, perusahaan pemilik kapal menyetorkan gaji pekerja di kapal kepada agen perekrut ABK. Padahal pola ini rawan penggelapan. “Ada gaji yang tidak dibayar penuh, bahkan tidak dibayar sama sekali,” kata Bobi.
Berdasarkan catatan SBMI, pada 2021, sebanyak 188 kasus yang terkait dengan ABK dilaporkan dan sebagian besar adalah masalah gaji yang tidak dibayarkan. Sementara itu, dalam rentang 2015-2021, tercatat 45 ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing meninggal di laut. Dari jumlah itu, sebagian besar keluarga ABK tidak mendapat kompensasi. “Bahkan lima orang yang meninggal lalu dibuang ke laut tanpa sepengetahuan keluarga,” ujar Bobi.
Aktivis melakukan aksi terkait kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal-kapal ikan berbendera Cina di depan Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina, Jakarta, 17 Desember 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Fakta-fakta ini membuat pemberlakuan peraturan pemerintah tentang pelindungan ABK sangat penting. Aturan tersebut bisa mencegah ABK bergabung dengan perusahaan perekrut abal-abal. "Perusahaan perekrut ABK baru bisa beroperasi setelah memiliki izin dari Kementerian Ketenagakerjaan,” kata Bobi. “Kalau sekarang kan tidak. Dengan izin dari Dinas saja, perusahaan sudah bisa mengirim orang ke luar negeri.”
Bobi yakin PP tentang pelindungan ABK dapat menertibkan penempatan pekerja ABK di kapal asing. Sebab, pemerintah harus memiliki perjanjian bilateral dengan negara asal perusahaan yang memperkerjakan ABK. Dengan adanya perjanjian itu, agen perekrut tidak akan bisa mengirim ABK ke luar negeri selama tak memenuhi persyaratan.
Praktik eksploitasi terhadap ABK pernah dialami Pukaldi Sassuanto pada 2018. Pria asal Bengkulu ini direkrut oleh PT Jangkar Jaya Samudra yang berlokasi di Pemalang, Jawa Tengah. Kemudian ia dipekerjakan pada kapal asing dan ditempatkan di Republik Kepulauan Fiji selama 2 tahun 6 bulan. “Setiap hari kerja dari pukul 2 siang sampai pukul 4 subuh,” kata dia. Makan dan minum yang ia dapatkan pun sering kali tidak layak dikonsumsi.
Selama bekerja di kapal itu, Pukaldi belum pernah menginjak daratan. “Sempat pindah kapal, tapi itu juga dilakukan di tengah laut,” kata dia. Ia tidak pernah bisa berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia. Akibat tekanan itu, tak sedikit kawannya yang mengalami gangguan psikologis karena terlalu lama berada di tengah laut. “Ada yang meracau sendiri, ngobrol sendiri.”
Padahal kontrak kerja Pukaldi dengan PT Jangkar Jaya Samudra hanya berlaku dua tahun. Namun dia harus berada di tengah laut setengah tahun lebih lama karena permintaan perusahaan. “Katanya karena Covid,” ujar Pukaldi.
Penderitaan Pukaldi belum berakhir ketika akhirnya dia kembali ke Tanah Air. Saat mengecek saldo rekeningnya, yang terpampang hanya angka 0. Dia kemudian menghubungi agen yang merekrutnya. Namun hingga saat ini tak ada jawaban.
Pengalaman itulah yang mendorong Pukaldi memperjuangkan hak ABK Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing. Bersama dua temannya, mereka menggugat presiden untuk segera mengesahkan PP tentang pelindungan ABK. Gugatan itu diajukan pada 31 Mei 2022 ke pengadilan tata usaha negara. Kemarin sidang perdana digelar.
Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan, meski belum sepenuhnya melindungi ABK, peraturan pemerintah bisa memperjelas sistem perekrutan. “Perlu ada diplomasi antara Indonesia dan negara asing agar tercipta standar kerja yang sama,” kata dia. Saat ini, kata Afdillah, hubungan bilateral Indonesia dengan negara lain perihal ABK masih sangat rendah.
Afdillah berharap Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional Nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. “Konvensi itu mengatur standar kerja ABK, sehingga pekerja Indonesia di kapal asing bisa tetap terlindungi,” kata dia. “Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi itu.”
IMA DINI SHAFIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo