Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seolah baru terjadi kemarin-, musibah itu masih tergambar jelas dalam ingatan Ismiyati yang kini berusia 35 tahun. Pada 11 November 1994, janur kuning menghiasi rumahnya yang berada di Dusun Turgo. Inilah dusun tertinggi di Desa Hargobinangun, Kecamatan Turi, Kabu-paten Sleman, Yogyakarta. Hari itu, ke-luarganya sedang menggelar resepsi pernikahan kakak Ismiyati. Para tamu sudah berdatangan, perhelatan berlangsung meriah.
Tapi, pesta mesti berakhir sebelum wak-tunya. Tiba-tiba, Gunung Merapi- menyemburkan wedhus gembel alias awan panas. Orang-orang di Dusun Tur-go segera berlarian menyelamatkan diri. Toh, sebagian besar tak mampu menghindari bencana. Tubuh mereka meleleh- diterjang debu gunung yang bersuhu mencapai 600 derajat Celsius. Ismiyati sendiri selamat karena saat itu ber-ada cukup jauh dari rumahnya, sementara ayah, ibu, kakaknya tewas secara me-nge-naskan.
Kenangan buruk itu sering menghing-gapi Ismiyati setelah mendengar kabar Me-rapi akan meletus lagi. Dia mengkha-watirkan keselamatan dirinya, suami-nya-, Muhdiyantoro, 37 tahun, dan dua anak-nya, Novita Nugrahaini, 9 tahun, dan Tifa Agustina, 2,5 tahun.
Kini setiap malam, penduduk Dusun Tur-go selalu mengawasi puncak Merapi, agar mereka bisa menghindari terjang-an lahar atau awan panas jika tiba-tiba menyergap gunung itu meletus.
Harjo Sumadi, 65 tahun, seorang warga dusun itu pernah merasakan panasnya semburan Merapi pada 1994. Kala itu, sehabis memandikan sapi, ia masuk ke rumah dan minum teh. ”Saya belum sempat menyalakan rokok, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi,” ujar Harjo.
Ketika sadar ia sudah terbaring di ru-mah sakit Dr Sarjito, Yogyakarta, de-ngan luka bakar di sekujur tubuh. Harjo selamat setelah dirawat selama tiga bulan, tapi istrinya, Mujiyem, tewas saat menghadiri perhelatan di rumah Ismiyati. Total warga Turgo yang meninggal sebanyak 43 orang. Empat ekor sapi yang baru di-mandikan Harjo juga ikut meleleh di-terjang awan panas.
Bagi orang Turgo, Merapi adalah sumber bencana sekaligus sumber penghidup-an. Letusan gunung membuat tanah di sana subur. Aneka macam rumput seper-ti kolonjono, gajah, dan teki tumbuh le-bat di lerengnya. Rumput itu cocok untuk pakan sapi perah, sumber pencarian sebagian besar penduduk Turgo.
Kedekatan penduduk dengan Merapi membuat mereka tak mau segera meng-ungsi kendati petugas vulkanologi telah memperingatkan gunung ini sewaktu-waktu bisa meletus. ”Kondisi sekarang ini masih seperti biasa,” ujar Muhdiyantoro, suami Ismiyati. Ia yakin bencana belum datang sepanjang lava pijar yang diikuti awan panas belum muncul.
Nasib mereka sangat tergantung pada pengamatan warga Turgo di lima tempat pengintaian untuk melihat puncak Merapi. ”Kami hanya mengandalkan kentongan untuk komunikasi antarpos,” kata Muhdiyantoro.
Begitu pula sikap warga Dusun Kinah-rejo, Kecamatan Cangkringan. Dusun ini dihuni oleh 32 kepala keluarga. Belum ada satu pun yang mengungsi. Me-re-ka lebih percaya pada ”fatwa” Mbah Ma-ri-djan, 79 tahun, seorang juru kunci Merapi yang telah bertugas selama 23 tahun. ”Bukannya kami tak percaya pada pe-tu-gas vulkanologi, tapi Eyang Merapi belum- memberi tan-da akan membuang hajat,” kilah Su-dar-to, 42 tahun, salah seorang warga Ki-nah-re-jo.
Ketika terjadi letusan pada 10 Febru-ari 2001, Kinahrejo hanya tertutup debu setebal lima sentimeter. Tak ada korban. ”Saat itu sesepuh di sini (Mbah Ma-ridjan) mendapat pertanda lewat pa-nepen (mimpi) Eyang Merapi bakal punya hajat,” kata Sudarto.
Maridjan sebenarnya mempercayai pen-dapat petugas vulkanologi bahwa sudah saatnya Merapi membuang hajat. ”Ibarat manusia, dia justru akan sakit perut kalau tidak kentut,” kata Maridjan kepada Tempo di rumahnya, Rabu pekan lalu. Sebagai konsekuensinya, warga harus mengungsi. Menurut dia, yang penting dilakukan adalah berdoa agar selamat. ”Dan doa yang paling baik dilakukan, ya di Merapi, di rumah kita masing-masing,” kata Maridjan.
Lain halnya dengan warga Desa Kepoharjo, Kecamatan Cangkringan hanya- dipisahkan Sungai Gendol dengan Dusun Kinahrejo. Sikap mereka terbelah. Sebagian penduduk menanti tanda-tanda alam, sebagian lainnya siap meng-ungsi. Saat letusan pada 2001, desa ini hanya diguyur hujan abu.
Mereka juga telah mengge-lar la-tih-an mengung-si pa-da Rabu pa-gi pekan lalu. Mula-mu-la ter-de-ngar bu-nyi ken-tongan, la-lu mobil polisi berkeliling desa. Pe-tu-gas meminta mere-ka segera naik ke mobil bak ter-buka yang telah di-siapkan untuk diangkut ke barak pengungsian di SMPN 2 Cangkri-ngan. Di sana telah tersedia dua tenda besar dan ruang kelas yang mampu menampung sekitar dua ribu orang.
”Saya dengar ancam-an Merapi kali ini le-bih besar. Kalau arah-nya ke sini, kami ha-rus siap menyelamatkan diri,” ka-ta Sutini, warga Kepohar-jo, sambil menggendong bayinya. Wanita 29 tahun ini pantas khawatir. Desa Kepoharjo masih dalam jangkauan aliran lahar karena letaknya hanya tujuh kilometer dari puncak Merapi.
Toh, Maryono, 38 tahun, hanya menonton saat penduduk tergopoh-gopoh ikut latihan mengungsi. Penambang pasir ini sudah empat hari tak bekerja, sebab pemerintah melarang penambang-an pasir dalam radius 10 kilometer di aliran sungai yang berhulu di puncak Merapi. ”Saya lebih percaya firasat dan tanda-tanda alam daripada catatan vulkanologi,” katanya.
Menurut Maryono, setiap kali Merapi akan meletus pasti didahului perubahan alam dan tanda aneh di lereng Merapi. Beberapa hari sebelum gunung ini meletus pada 1994, badannya terasa gerah. Keringatnya pun terasa lebih lengket.
Warga di sisi lain punggung Merapi yang telah masuk wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, juga belum yakin betul Merapi akan segera meletus. Rabu pekan lalu, masih tampak iring-iringan truk pasir di sepanjang Kali Apu. Padahal, lima kilometer di atas mereka lahar panas bisa setiap saat dimuntahkan dari perut Merapi. ”Kami memang sudah dilarang mencari pasir, tapi Kali Apu ini satu-satunya sawah ladang saya,” kata Rapinem, janda berusia 43 tahun.
Di Dusun Stabelan, Desa Tlogolele, yang merupakan permukiman terdekat dengan puncak Merapi di wilayah Kabupaten Boyolali, penduduk juga tetap mencari rumput ke tengah hutan Merapi. Belakangan ini mereka memang sering berkumpul di pos ronda memelototi puncak Merapi sembari berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sirene tanda bahaya meraung di masjid dan balai desa.
Orang Stabelan lebih mempercayai wisik (bisikan gaib) Mbah Petruk, makhluk halus yang dipercaya seba-gai penunggu Merapi. Mereka menyebut letusan gunung ini sebagai prosesi- perjalanan Mbah Petruk membuang wuh (sampah). Penduduk menyambutnya de-ngan menyiapkan ritual Obor Galar dan Sega Gunung. ”Kami hanya melestarikan tradisi nenek moyang,” kata Kirman, tetua Dusun Stabelan.
Sega Gunung digelar malam Jumat Pon pekan lalu. Sega Gunung adalah ambengan (hidangan) berupa nasi jagung-, hasil tanaman palawija, dan kluban (urap) daun krokot. Menu yang diyakini- kesukaan Mbah Petruk ini dihidangkan dalam kenduri kampung. Adapun Obor Galar merupakan ritual untuk menyong-song kedatangan sampah Mbah Petruk. ”Sampah kan dibakar agar tak mengotori,” kata Kirman.
Ritual Obor Galar belum dilakukan karena belum ada wisik yang mengabarkan kedatangan Mbah Petruk. Isyarat seperti ini sudah pernah mereka alami. Ketika terjadi longsor lahar dingin beberapa waktu lalu, salah seorang warga Stabelan bermimpi Mbah Petruk akan lewat dan dia disuruh minggir. ”Kami segera mengungsi sehingga tak ada kor-ban,” kata Tasmo.
Warga Stabelan memang sudah meng-ikuti latihan mengungsi yang diadakan dua pekan lalu. Mereka warga berkum-pul di gedung Sekolah Dasar Tlogolele II, kemudian diangkut ke Desa Sepi, Ke-camatan Sawangan, Kabupaten Ma-gelang. Wilayah ini terbilang aman mes-kipun cukup dekat dengan Merapi. Keti-ka begitu, tak ada jaminan mereka se-ge-ra mau mengungsi selama wisik belum datang. Sebagian besar warga Stabelan tetap menanti bisikan Mbah Petruk.
Kecemasan bukannya tak ada. Bagai-mana jika Merapi meletus pada malam hari saat sebagian besar penduduk terlelap? Inilah yang dikhawatirkan sebagian penduduk Dusun Turgo. Karena itu, saat gelap telah menyelimuti punggung Merapi, Ismiyati dan keluarganya bersama warga lainnya memilih meng-ungsi ke desa lain yang lebih aman. Di sana mereka menggelar tirakatan sembari membaca surat Yasin. Setelah fajar menyingsing, mereka baru kembali lagi ke rumah.
Syaiful Amin (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo), RFX
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo