Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANITIA Khusus Dewan Perwakilan Rakyat yang mem-bahas Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh menerima amplop masing-masing Rp 5 juta dari De-partemen Dalam Negeri pekan lalu. Ini bukan pertama kali. Tapi tetap saja ada yang berusaha mencari pembenaran untuk menerimanya, dengan dalih anggaran DPR untuk kepentingan ini kurang.
Mereka yang menerima amplop yakin dana itu halal. Alas-annya, seperti diucapkan Ketua Panitia Khusus, Ferry Mursyidan Baldan dari Partai Golkar, uang yang diterima merupakan pengganti uang transpor bagi anggota Panitia Khusus yang di masa reses harus bolak-balik dari Jakarta ke daerah asalnya selama masa pembahasan. Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf menyatakan dana itu sudah dianggarkan departemennya. Dengan kata lain, tak ada yang aneh di mata Menteri dengan dana ini.
Kelompok anti-amplop diwakili Permadi, anggota Panitia Khusus dari PDI Perjuangan. Dia menilai amplop mencede-rai proses pembahasan rancangan itu. Permadi merupakan satu dari 50 anggota panitia yang diketahui mengembalikan amplop itu. Ketua Badan Kehormatan DPR, Slamet Effendi Yusuf dari Partai Golkar, menyatakan kode etik melarang anggota Dewan menerima amplop dari mitra kerja, apalagi dalam penyusunan rancangan undang-undang.
Kita tahu, Dewan Perwakilan Rakyat dan mitra kerja-nya, pemerintah, bersama-sama menyusun undang-u-ndang. Ke-dudukan kedua lembaga negara itu setara, tapi mewakili ke-pentingan yang berbeda dan bahkan berlawanan. Pemerin-tah mewakili pihak yang menjalankan aturan hukum itu, se-dangkan Dewan mewakili kepentingan rakyat yang akan menjadi obyek aturan. Agar Dewan dan pemerintah bekerja maksimal mewakili kepentingannya, independensi mutlak perlu dimiliki, terutama dalam hal anggaran pembuat-an rancangan undang-undang.
Honorarium, pengganti transpor, atau apa pun sebutannya, mengancam independensi dan langsung mendudukkan anggota Dewan sebagai ”tangan di bawah” yang posisinya lebih rendah daripada ”tangan di atas”. Kesetaraan posisi antara Dewan dan pemerintah, yang sudah diciptakan oleh konstitusi, akan hilang karena pemberian amplop itu.
Bukan soal independensi saja yang perlu dijaga. P-rinsip pokok dalam pemakaian anggaran negara juga perlu diper-hatikan. Prinsip itu dengan tepat dikemukakan Jimly As-shiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi—lembaga yang tentu saja tak ada kaitannya dengan kasus ini. Dalam membahas rancangan undang-undang, satu departemen tidak boleh mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan institusi atau pihak lain. Anggaran departemen hanya boleh dipakai untuk kepentingan internal departemen itu dalam membahas rancangan undang-undang. Tentu yang ingin dihindari prinsip itu adalah terciptanya peluang bagi satu pihak untuk ”membeli” dukungan pihak yang lain.
Akuntabilitas merupakan kata kunci untuk menghindari praktek jual-beli dukungan. Akuntabilitas bisa ditegakkan bila tiga asas yang membangunnya dipenuhi. Dalam kasus ini, Menteri Dalam Negeri jelas tidak melanggar asas wewe-nang dan asas prosedur dalam pengeluaran amplop untuk anggota Dewan. Menteri punya kewenangan jelas untuk mengeluarkan dana dan ia sudah melewati prosedur yang benar. Tapi ia keliru bila dilihat dari asas manfaat atau tujuan pemakaian anggaran. Kesan memperlancar pembahas-an rancangan undang-undang, agar sesuai dengan kepen-ting-an dan jalannya pemerintahan, tak terelakkan dalam pemberian amplop tadi.
Itu sebabnya pemberian amplop salah, dan kepada para pelakunya patut dipikirkan sanksi yang memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo