Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih pagi dan hawa di-ngin Gunung Merapi yang menggigit tak mengusik se-orang laki-laki tua yang duduk di atas watu dampit (dua batu ber-dempet) di pelataran Srimanganti. Pelataran ini hanya berjarak 2,5 kilometer dari puncak Merapi. Laki-laki itu kondang dengan sapaan Mbah Maridjan, 79 tahun. Ia duduk bersila dengan tubuh mengarah ke barat. Kedua telapak tangannya menyatu di mu-ka wajahnya dalam gerakan me-nyembah.
Tak mudah untuk naik hingga ke pelataran Srimanganti yang biasa dijadikan tempat upacara labuhan Keraton Yogyakarta. Bagi para pendaki Gunung Merapi, kawasan itu biasa disebut Pos I. Pagi itu, Selasa pekan lalu, dengan sisa-sisa tenaga tuanya Mbah Maridjan berjalan dari rumahnya di Dusun Kinahrejo menelusuri jalan setapak menembus hutan.
Saat mendekati pelataran, jalan setapak melebar. Tak ada lagi pepohon-an. Hanya ada batu-batuan di dinding Merapi. Orang harus menapaki tujuh anak tangga menuju gapura Srimanganti selebar lima meter. Butuh waktu 1,5 jam berjalan kaki ke pelataran Srimanganti. Pelataran itu hanya satu dataran di punggung Merapi seluas 6 x 5 meter. Di pelataran itulah terdapat dua batu besar yang biasanya digunakan untuk meletakkan sesajen saat upacara labuhan yang dipimpin Ma-ridjan.
Hari itu Merapi menyemburkan awan panas sebanyak 21 kali, sejak dini hari hingga pukul 12 tengah hari, dengan jarak luncur maksimal dua kilometer. Awan panas yang dikenal de-ngan sebutan wedhus gembel itu meluncur ke Kali Krasak di barat daya, Kali Boyong di selatan, dan Kali Gendol di tenggara.
Anehnya, sudah dua hari Maridjan berada di pelataran Srimanganti yang berlokasi di punggung selatan Merapi, sedikit pun ia tak tersentuh awan panas. ”Saya hanya berdoa di situ,” kata juru kunci Merapi ini setelah kembali dari pelataran Srimanganti. Ia seolah ingin mematahkan peringatan bahaya Merapi yang rajin dihembuskan aparat pemerintah, termasuk penguasa Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X.
Bagi Maridjan, Sultan Hamen-gku Buwono X adalah pejabat pemerintah yang ucapannya sama dengan pejabat lainnya: meminta penduduk agar segera mengungsi. Karena itu, meski ia seorang abdi dalem, ia tak ha-rus patuh pada Sultan yang kini men-jabat Gubernur DIY. Maridjan meng-aku hanya mengindahkan ucapan almarhum Sultan Hamengku Buwono IX, ayah Sultan Hamengku Buwono X, yang mengangkatnya sebagai juru kunci Merapi dengan gelar Raden Nga-behi Suraksohargo 24 tahun lalu.
Itu artinya, saat ini Maridjan adalah tokoh pembangkang yang menolak seruan agar masyarakat di sekitar Merapi mengungsi karena gunung ini sudah ditetapkan berstatus Awas. De-ngan status ini, setiap saat Merapi bisa meledak, yang kali ini diduga ledakan ter-besar. Celakanya, arah ledakan belum bisa ditentukan. Dusun Kinahrejo yang terletak di sisi selatan adalah salah satu tempat yang diduga terkena sasaran amuk Merapi.
Ketika Maridjan secara diam-diam pergi ke pelataran Srimanganti, sempat muncul desas-desus ia dipaksa mengungsi keluar dari Dusun Kinahrejo. Ternyata penduduk tahu kalau Maridjan justru naik ke Gunung Merapi. Akibatnya, dari 19 kepala keluarga atau 84 jiwa warga di Dusun Kinahrejo, tak ada seorang pun yang mengungsi. Anak-anak balita hingga orang tua yang sudah renta memilih bertahan di rumah mereka sembari berdoa mohon perlindungan Tuhan se-bagaimana diserukan Maridjan.
Tak terlihat buntalan kain berisi per-lengkapan yang siap dibawa meng-ungsi. Setiap pagi, warga pun m-asih mencari rumput untuk pakan sapi pe-rah. Siang harinya, mereka masih memerah sapi untuk diambil susunya. Tak ada kekhawatiran apa pun pada warga dukuh ini.
Jika desa-desa lain di sekitar Merapi kini telah sepi ditinggal penduduk yang mengungsi, kehidupan di Dusun Kinahrejo hingga Jumat pekan lalu berjalan normal. Bahkan beberapa hari ini terlihat lebih ramai oleh banyaknya pendatang, terutama wartawan dan petugas yang hilir-mudik ke Kinahrejo. Warung Bu Panut, 40 tahun, yang berada persis di samping rumah Ma-ridjan, tetap buka seperti biasa. Menu makanan andalannya, mi rebus, tetap laris manis seolah mengalahkan ke-takutan penduduk terhadap serbuan awan panas.
Tengoklah Suparno, 43 tahun. Ayah dua anak warga Dusun Kinahrejo ini berta-han bu-kan lantaran dia sok berani menghadapi ancam-an Merapi. Suparno mengaku sudah mengenal karakter Merapi. Setiap kali Merapi menyemburkan awan panas, tidak pernah mengarah ke Kinahrejo. Ia mengalami enam letusan. ””Sejak lahir sampai sekarang saya tinggal di desa, dan tidak pernah awan panas Merapi sampai sini,” katanya.
Suparno punya alasan. Pertama, ge-ger boyo (punggung buaya) yang ada di bagian atas Merapi hingga saat ini masih kukuh menahan gerak lahar Merapi. Geger boyo itulah yang selama ini menjadi benteng kuat bagi warga Kinahrejo dan sekitarnya dari ancaman Merapi. ”Kalau geger boyo runtuh, bisa saja awan panas mengarah ke sini,” ujar Suparno.
Kedua, katanya, berbau mistis. Da-lam kosmologi Jawa, Gunung Me-ra-pi ada-lah salah satu keraton selain Keraton Kidul di Laut Selatan dan Ke-ra-ton Kesultanan Yogyakarta. Saat ini Merapi dianggap sedang bersihbersih membuang hajat (sampah). Sebagaimana lazimnya, sampah dibuang di bagian belakang atau samping ru-mah. Tak ada sampah dibuang ke pelataran. ”Halaman keraton ada di Sri-manganti. Kalau ditarik turun, sampai ke sini. Jadi, tidak mungkin kotoran Merapi akan dibuang ke halaman,” kata Suparno. Kalau Merapi akan membuang hajat pasti ke sam-ping atau ke belakang.
Toh, Suparno tak merasa sebagai peng-ikut Maridjan. Ia dan penduduk Kinah-rejo punya keyakinan sendiri yang kebetulan sama dengan pendapat Mbah Maridjan. ”Selama ini, Mbah Maridjan juga tidak pernah meminta ka-mi untuk tetap tinggal di sini,” kata Suparno.
Bagi Sunardi, 45 tahun, penduduk Du-sun Pelemsari, sikapnya ogah meng-ungsi bukan pembangkangan terhadap perintah Sultan Hamengku Buwono X atau perintah bupati. ”Ini cuma soal perbedaan dalam melihat Merapi,” kata-nya. Menurut Sunardi, Merapi tak akan membuang kotoran ke dusunnya yang merupakan tetangga Dusun Kinahrejo. Kalaupun ada, Merapi hanya akan membuang abu. ”Abu Merapi justru anugerah karena akan menyuburkan tanah,” katanya.
Dusun Kinahrejo dan Dusun Pelemsari termasuk daerah rawan bencana III, yang merupakan daerah pemukim-an paling berbahaya terhadap gejolak Merapi. Dua dusun ini hanya berjarak 4,5 kilometer dari puncak Merapi. Namun, Kepala Dusun Palemsari, Puji, ti-dak mengungsi. Meski ia tidak meng-ungsi, selaku pemimpin formal di du-sunnya, Puji meminta warganya meng-ungsi dan ia mengaku wajib me-nye-lamatkan warganya. Setiap hari ia mengunjungi tempat pengungsian war-ganya untuk sekadar memeriksa ataupun mengantarkan warga yang meng-ungsi. ”Itu kewajiban saya,” kata-nya.
Syaiful Amin, RFX (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo