Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tsunami di Jati Waringin

Puluhan anak Aceh korban tsunami lari dari penampungan. Dianggap tak bisa hidup sederhana ala pesantren.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari setahun lalu, ratusan anak-anak muda itu datang ke Pe-santren As-Syafi’iyah di daerah Jati Waringin, Pondok Gede, Bekasi. Mereka lelah diguncang tiga hari tiga malam dalam bus dari tanah kelahir-an-nya di Aceh, tapi kelihatan gembira se-telah melihat riuhnya penyambutan. Di pesantren inilah mereka akan tinggal dan melanjutkan studi setelah Aceh dilanda tsunami, Desember 2004.

Nyatanya, hidup tak seperti yang me-re-ka harapkan. Hubungan anak-anak muda itu dengan pimpinan yayasan ru-panya- tak mulus dan tersiar luas ketika akhir bulan lalu beredar pesan pen-dek untuk wartawan, ”126 anak kor-ban tsunami Aceh diusir oleh pimpinan Yayasan- As-Syafi’iyah Pondok Gede.” Pesan itu di-kirim oleh Ushuluddin, mahasiswa se-mester VIII Jurusan Komunikasi Penyiar-an Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah.

Tutty Alawiyah, pimpinan yayasan, mem-balas dengan membuat surat pemberhentian Ushuluddin dari universitasnya. Alasannya, pencemaran nama baik lembaga. Upaya teman-teman Ushulud-din- agar ia tak dipecat tidak berhasil. Maka, Jumat tiga pekan lalu, 78 anak Aceh—69 berstatus mahasiswa, sisanya SMA—minggat dari pesantren. Mereka tak peduli peringatan pimpinan yaya-san- yang akan menghentikan beasiswa dan biaya hidup.

Kasus ini menunjukkan bahwa niat baik untuk menolong korban tsunami tak selamanya berujung baik. Niat Tutty Ala-wiyah, mantan Menteri Negara Urus-an Peranan Wanita, untuk menampung anak-anak Aceh di pesantrennya tak di-imbangi dengan persiapan yang memadai. Semula ia akan menampung 100 anak berusia di bawah 15 tahun, ternyata yang datang 255 anak muda yang u-mumnya sudah kuliah. ”Kami kewalahan,” katanya.

Di lain pihak, pemuda-pemudi yang baru mengalami guncangan jiwa itu juga kewalahan untuk mengubah hidupnya. Jam kegiatan diatur dan makan de-ngan lauk alakadarnya sungguh tak n-yaman untuk mereka. Urusan makin rumit ketika menyangkut masalah uang. Februa-ri 2005, sebulan setelah tinggal di po-ndok, anak-anak itu dibawa meng-hadap Presiden Yudhoyono. Menurut ce-rita mereka, saat itu mereka mendapat uang san-tunan, tapi pimpinan yayasan me-min-tanya. Karena tak mau memberi, sebagian anak dipulangkan ke Aceh. Da-lam waktu singkat, hanya tersisa 117 anak Aceh di sana.

Urusan uang ini makin kisruh ketika para mahasiswa merasa jatah uang saku mereka yang Rp 150 ribu/bulan, disunat menjadi setengahnya. Akibatnya, kata Ushuluddin, mereka tidak punya dana untuk fotokopi bahan kuliah, menyewa komputer untuk membuat makalah dan tidak mampu membeli buku wajib.

Di lain pihak, yayasan As-Syafi’iyah ba-nyak mendapat keuntungan dengan- hadirnya anak-anak Aceh tersebut. Me-nurut Junaidi, salah satu anak Aceh, da-ri sumbangan donatur untuk korban tsu-nami, As-Syafi’iyah bisa membangun as-rama putri dan putra.

Mereka pun berusaha mencari tam-bahan penghasilan dengan menerima sum-bangan dari masyarakat. ”Kami me-ngum-pulkan dana sendiri lewat ja-ring-an bawah tanah,” kata satu di a-ntara santri asal Aceh yang ikut pergi. Ke-tika pengurus yayasan tahu, mereka melarangnya.

Masih cerita mereka, kurangnya uang saku membuat nilai mata kuliah mereka melorot. Padahal, pihak yayasan tak akan meneruskan beasiswa bila nilai mahasiswa di bawah dua dari skala empat. Mereka takut di-drop out. ”Kami jadi bingung janjinya dulu mengkuliahkan sampai selesai,” ujar Usluhuddin, mahasiswa yang pernah kuliah di IAIN Ar-Raniri Darussalam Nanggroe Aceh.

Soal nilai ini dibenarkan oleh Tutty. Mereka yang nilainya di bawah dua, tidak bisa melanjutkan studi ke yang le-bih tinggi. Tapi, menurut Tutty, khusus untuk mahasiswa asal Aceh, yayasan memberi kemudahan, yaitu nilai rata-ra-tanya cu-kup 1,5. Nyatanya, setelah ujian- susulan 13 dari 126 mahasiswa itu tak lolos, termasuk Usluhuddin. Yayasan- me-nawarkan mereka ikut program diploma satu, kursus komputer, kursus bahasa Inggris, dan kursus bahasa Arab, atau ikut tes masuk Fakultas Multi Media bulan September. ”Jadi, tidak di-DO,” ujarnya.

Problem komunikasi ini akhirnya ja-di konsumsi umum. Mahasiswa minggat- dan tak ingin kembali ke pesantren. Per-wakilan Aceh di Dewan Perwakilan Dae-rah, Departemen Sosial, dan Gubernur Aceh malah menyarankan mereka pulang ke Aceh. Selama menunggu pemulangan, mereka ditampung di Yayasan Al Aziziyyah, Bekasi, Jawa Barat.

Purwanto Siswanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus