Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bunker untuk Wedhus Gembel

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian penduduk Dusun Turgo masih berlindung dalam bunker buatan sendiri untuk menghindari bencana awan panas.

Sejak Gunung Merapi dinyatakan dalam status Awas, Ahad, 14 Mei lalu, Dusun Turgo, Desa Purbobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, menjadi lengang. Maklum, sebagian besar penduduk sudah mengungsi. Dusun yang terletak enam kilometer dari puncak Merapi itu kini menjadi kawasan tertutup.

Sejumlah pemuda bersama polisi tampak berjaga di per-empatan Dusun Ngepring, sekitar dua kilometer dari Turgo. Tidak semua warga Dusun Turgo berada di pengungsian sepanjang hari. Pemuda dan laki-laki dewasa yang masih kuat tetap tinggal di rumahnya. ”Kalau semua mengungsi, siapa yang akan mengurus ternak kami?” kata F.X. Suwaji, Kepala Dusun Turgo. Sebagian besar penduduk Turgo adalah peternak sapi perah.

Bahkan seorang ibu beranak dua, Tukirah, masih sibuk menjemur pakaian di halaman rumahnya. Sehabis menjemur pakaian, Tukirah bergegas ke halaman belakang untuk menyapu sampah yang berserakan di dekat kandang sapi miliknya. Ia juga menyempatkan diri membersihkan sebuah bangunan beton di belakang rumahnya. Di bunker milik pribadi itulah, Tukirah, Suwaji, dan beberapa warga yang masih bertahan, berlindung. Bunker ini dibangun setelah letusan Merapi 11 tahun lalu.

Syahdan, siang itu, sekitar pukul 11.30, Selasa Kliwon, 22 November 1994, langit di atas Dusun Turgo berubah gelap. Butiran p-asir panas dan debu menyesakkan paru-paru. Tiba-tiba, asap hitam dengan p-anas 600 derajat Celsius ber-gulung bergerak cepat dari puncak Merapi. Awan panas yang oleh penduduk setempat disebut wedhus gembel itu membakar apa saja. Hewan ternak, manusia, rumah, dan pepohonan go-song mengenaskan.

Penduduk yang sedang ber-kum-pul pada acara pernikahan di ru-mah Sudirjo terpanggang awan panas. Tercatat 43 orang tewas di dusun itu. ”Sa-ngat mengerikan,” tutur Suwaji. Pengalaman mengerikan itu-lah yang mendorong bebera-pa warga membangun ruang perlindungan darurat. Di dalam ruang perlindungan berdinding beton itu penduduk Turgo berharap tak lagi mengalami peristiwa mengerikan akibat serbuan awan panas.

Suwaji, 43 tahun, yang juga guru sekolah dasar, memba-ngun bunker di samping rumahnya pada 1997. Tidak sebagaimana bunker lainnya yang diba-ngun di dalam tanah, bangunan bunker berbentuk empat persegi milik Suwaji hanya separuh terbenam dalam tanah. Bunker dengan dinding beton setebal 30 sentimeter itu dalam posisi memunggungi Merapi de-ngan pintu kayu setebal 10 sentimeter menghadap ke selatan. Jika kini Merapi kembali menyemburkan awan panas ke Turgo, sekitar 20 penduduk yang berlindung di dalam bunker seluas 15 meter persegi itu selamat.

Selama dua pekan terakhir, bunker milik Suwaji berfungsi pada malam hari. Selain anak dan istrinya, bunker Suwaji diisi oleh anak-anak tetang-ganya dan perempuan lanjut usia. Di dalam bunker, Su-waji menyiapkan bekal makanan, obat-obatan, air minum, dan tabung oksigen. Sedangkan pria dewasa biasanya cukup di teras rumah Su-waji yang memang dijadikan pos pemantauan. ”Kami berjaga-jaga sambil memantau Merapi,” kata ayah tiga anak ini. Pada siang hari penghuni bunker keluar untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Bunker pribadi buatan warga Turgo tentu tidak sekukuh milik Balai Penyelidikan dan Pengembang-an Teknologi Kegunungapian (BPPTK) dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Penduduk membangunnya kala itu dengan biaya sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta dari bahan beton. Pengetahuan membangun bunker pun mere-ka peroleh dari petugas BPPTK yang khusus melakukan penyuluhan teknis pembuatan bunker.

Penduduk Turgo juga secara gotongroyong mem-bangun bunker milik bersama dengan ka-pasitas 30 orang. Cuma tiga bunker yang ada tak mampu menampung 140 orang penduduk du-sun itu, sehingga sebagian penduduk meng-ung-si ke Dusun Tritis, dua kilometer dari Turgo.

Syaiful Amin, Heru CN, RFX (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus