Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari forum yang lebih netral

Penyelesaian perbedaan paham dalam JIM II belum ada hasilnya. hun sen kini dapat menerima kehadiran komisi pengawas internasional. dengan berlangsungnya jim ii tugas indonesia selesaikan kemelut kamboja usai.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kedua kalinya para seteru di Kamboja bertemu di Indonesia. Tentu saja mereka tak membawa bedil dan gumpalan kemarahan. Berpakaian rapi dengan jas dan dasi, delegasi dari negeri seberang itu bertemu untuk mencari perdamaian. Mereka, keempat kelompok Kamboja itu,bertemu di Hotel Indonesia, Jakarta. Dan dalam acara yang disebut sebagai Pertemuan Informal Jakarta Informal Meeting -- JIM) kedua itu mereka ditemani delegasi dari negara lain. Yakni Vietnam, Laos, dan negara anggota ASEAN dengan Indonesia bertindak sebagai tuan rumah. JIM II ini resminya dimulai Minggu petang lalu. Namun, pejabat senior peserta pertemuan ini sudah mulai berunding sejak Kamis pekan lalu. Dalam Senior Officials Meeting (SOM) yang dipimpin langsung oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas itu, agenda pertemuan disusun dengan rinci. Dan SOM yang berakhir Sabtu lalu itu sempat menjelmakan optimisme. Bayangkan, sebuah dokumen telah disepakati untuk dijadikan dasar pembicaraan dalam pertemuan tingkat menteri keesokan harinya. Wajar jika dalam pembukaan JIM II itu Menteri Alatas tampak cerah. "Perkembangannya memuaskan," katanya kepada para wartawan. Tentu, sekitar 300 wartawan nasional dan luar negeri yang meliput acara ini tak percaya begitu saja. Anggota delegasi negara lain segera diminta komentarnya. Ternyata, Menteri Luar Negeri Vietnam Nguyen Co Thach malah lebih optimistis lagi. "Mungkin 99% JIM II akan berhasil," katanya dengan senyum lebar. Pernyataan Co Thach ini didukung oleh Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja yang berkedudukan di Phnom Penh (People Republic of Kampuchea -- PRK). Namun, kelompok CGDK (Coalition Governments for Democratic Kampuchea) tampaknya punya pendapat lain. "Penyelesaian politik masalah Kamboja hanya dapat diselesaikan berdasarkan usulan lima pasal Pangeran Sihanouk," kata Pangeran Ranariddh ketika tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pernyataan putra Sihanouk yang mengepalai kelompok Funcipec ini ternyata didukung penuh oleh anggota CGDK yang lain. Kompaknya pernyataan para anggota CGDK ini ada sebabnya. Yakni berdasarkan kesepakatan yang mereka hasilkan dalam pertemuan di Beijing, awal bulan ini. Pertemuan ini dilakukan untuk memenuhi permintaan Khieu Samphan, pimpinan Khmer Merah, yang merasa perlu adanya kesamaan langkah anggota CGDK menghadapi Vietnam dan PRK. Khieu Samphan agaknya tak mau pengalamannya mengikuti JIM I di Bogor, Juli lalu, terulang. Yakm ketika delegasl Vletnam dan PRK berhasil membuat pernyataan-pernyataan yang memojokkan kedudukan Khmer Merah. Adalah perasaan terpojok ini, konon yang menyebabkan Khmer Merah tak mengirimkan delegasinya dalam pertemuan kelompok kerja (Pokja) hasil JIM 1, Oktober lalu. Khieu Samphan sendiri memberi alasan ketidakhadiran delegasinya itu "karena tak memiliki pejabat senior yang sesuai". Perkembangan yang membahayakan ke mungkinan terlaksananya JIM II ini segera ditangani Alatas. Serangkaian kunjungan ke Paris, Bangkok, dan Muangthai segera dilakukan Menteri Luar Negeri RI ini. Hasilnya ternyata tak mengecewakan. Semua pihak, termasuk Khmer Merah, dengan berhasil dapat dibujuk untuk hadir dalam JIM II di Jakarta. Namun, jalan menuju JIM II ini ternyata tak ditakdirkan mulus. Tiba-tiba Muangthai melakukan serangkaian tindakan diplomatik yang mengejutkan. Perdana Menteri Chatichai Choonhavan, yang baru dilantik 4 Desember lalu, mengundang Hun Sen ke Bangkok dan mengirim pesawat khusus untuk menjemput, 26 Januari lalu. Muangthai, seperti kata seorang pengamat senior ASEAN di Jakarta, nampaknya sudah siap untuk menyongsong tampilnya suatu Indocina yang baru. "Dari suatu medan perang menjadi suatu pasaran yang semarak bagi ekonomi Muangthai," katanya. Prakarsa Chatichai ini segera menerbitkan kemarahan Sihanouk. Sebab, tindakan ini dianggap sebagai legitimasi pemerintahan Hun Sen, jadi akan memperlemah kedudukan tawar-menawar CGDK dalam JIM II. Maka, Sihanouk menyatakan tak akan hadir dalam JIM II itu karena, "Tak akan ada manfaatnya sama sekali," katanya. Belum jelas benar apa maksud Chatichai di balik jurus diplomatiknya itu. Dr. Juwono Sudarsono, pakar ilmu politik Universitas Indonesia, menduga motif ekonomi yang mendasari gerakan Chatichai itu. Ini dikaitkan dengan beberapa pernyataan Chatichai sebelumnya, yang mengungkapkan potensi Kamboja sebagai mitra dagang Muangthai. Selain faktor ekonomi, perkembangan hubungan antara Uni Soviet, AS, dan RRC juga menjadi pertimbangan. Membaiknya hubungan antara ketiga negara superkuat itu ternyata membuat berbagai ketegangan di dunia mengendur. Walhasil, persaingan dagang akan segera menggantikan persaingan kekuatan politik yang mulai surut itu. Kendati demikian, bukan berarti hanya Vietnam yang akan memetik keuntungan dari perkembangan ini. Kebilaksanaan glasnost dan perestroika yang dikembangkan Gorbachev juga mempunyai akibat pada Vietnam. Dana bantuan Soviet yang digunakan untuk membiayai ekspedisi Vietnam di Kamboja semakin seret jalannya. Ini jelas memberatkan perekonomian Vietnam yang sudah morat-marit itu Wajar kalau pimpinan Vietnam, yang semakin pragmatis itu, memutuskan untuk menarik seluruh pasnkannya paling lambat pada akhir 1990 nanti. Bahkan ada kemungkinan penarikan ini dilakukan lebih awal. "Jika penyelesaian politik seperti yang kami usulkan dapat diterima, Vietnam akan menarik pasukannya mulai 30 September nanti," kata Perdana Menteri Hun Sen. Justru kesepakatan tentang "penyelesaian politik" ini yang jadi persoalan. Yakni bagaimana pembagian kekuasaan antara keempat faksi setelah pasukan Vietnam ditarik mundur. Sebetulnya garis besar negara Kamboja yang dapat diterima keempat faksi sudah sama. Yakni negara Nonblok yang pemimpinnya dipilih dalam pemilihan umum dan menampung unsur dari keempat faksi yang ada. Yang jadi masalah adalah tata cara mencapai terbentuknya negara idaman tersebut. Ternyata, kelompok Hun Sen yang didukung Vietnam berbeda pendapat dengankelompok CGDK. Usul Hun Sen adalah bahwa penarikan mundur pasukan Vietnam itu diimbangi dengan penghentian bantuan militer bagi CGDK dan diberlakukannya gencatan senjata. Dan proses ini diawasi oleh komisi internasional yang terdiri atas 6 negara, masing-masing dua dari negara sosialis, negara Barat, dan Nonblok. Setelah itu, akan dibentuk Dewan Rekonsiliasi Nasional (DRN) yang beranggotakan keempat faksi yang bersengketa itu. Ketuanya diusulkan Sihanouk, dengan pimpinan faksi lainnya menjadi wakil ketua. Tugas DRN ini adalah untuk mempersiapkan pemilihan umum yang akan diadakan tiga bulan setelah penarikan pasukan selesai. Dalam pemilihan umum ini semua faksi akan berfungsi seperti partai. Selain itu DRN juga bertugas merancang konstitusi. Sedangkan kekuatan militer setiap faksi menguasai wilayahnya masing masing. Keberatan CGDK atas usul ini ada beberapa. Status quo posisi militer jelas tak bisa diterima karena sangat merugikan CGDK. Selain itu, usulan Sihanouk menginginkan pemerintahan-PRK dibubarkan sebelum pemilihan umum dilaksanakan. CGDK agaknya beranggapan bila pemerintahan PRK yang mengadakan pemilihan umum, kelompok CGDK akan dirugikan. Sementara itu, Hun Sen tentu berkeberatan bahwa pemerintahannya yang mulai berfungsi itu dibubarkan. Alasannya, hal itu akan memungkinkan kembalinya pemerintahan genocide ala Polpot. CGDK sudah memberi jaminan bahwa rezim Polpot tak akan bangkit kembali. Walhasil, Khmer Merah yang muncul adalah tanpa Polpot dan sejumlah pimpinan terasnya yang dianggap bertanggung jawab atas perlakuan kejam sepuluh tahun silam. Belakangan Sihanouk juga melunakkan tuntutannya dari "pembubaran" menjadi "pelarutan". Di butir lain justru Hun Sen yang melunakkan tuntutannya. PRK semula berkeberatan dengan kehadiran militer internasional sebagai pengawas perdamaian (International Peace Keeping Forces -- IPKF), sedangkan pada JIM II ini sudah dapat menerima kehadiran komisi pengawas internasional yang bersenjata ringan untuk bela diri. Yang sangat alot untuk dipecahkan adalah mekanisme pengawasan penarikan mundur pasukan Vietnam yang diimbangi penghentian bantuan senjata oleh pihak asing kepada semua kekuatan faksi. Artinya penghentian bantuan Uni Soviet dan Vietnam pada PRK serta RRC pada Khmer Merah. "Bagaimana kita dapat mengatasnamakan RRC, dan Uni Soviet untuk menghentikan pengiriman senjata?" kata Pangeran Ranariddh. Masalah penting itu. menurut sang pangeran, masih harus dibicarakan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh wakil-wakil dari negara besar ltu. Itulah juga sebabnya CGDK menganggap masalah eksternal dan internal Kamboja tak dapat diselesaikan secara terpisah. Sementara itu, PRK dan Vietnam beranggapan bahwa masalah eksternal ini dapat diselesaikan dalam JIM II. Sedangkan masalah internal, dapat diselesaikan dalam pertemuan lanjutan. Rumitnya penyelesaian perbedaan paham ini menyebabkan Alatas menempuh strategi khusus. Usai menghadap Presiden Soeharto, Senin lalu, delegasi langsung makan siang. Setelah itu, sidang tidak dilanjutkan di ruang pertemuan di lantai 8 Hotel Indonesia melainkan diadakan serangkaian "konsultasi" di ruang Menteri Alatas di lantai 7. "Konsultasi ini akan kita teruskan besok pagi sampai pertengahan hari," kata Alatas ketika dijumpai TEMPO usai menutup konsultasi sekitar pukul 19.30 Senin lalu. Alatas beranggapan, pertemuan konsultasi yang cuma melibatkan dua pihak dalam satu waktu itu lebih berdayaguna daripada mengadakan sidang pleno. Sampai tulisan ini naik cetak, belum diketahui bagaimana hasil akhir JIM II ini. Yang jelas, berbagai pihak menegaskan bahwa JIM II adalah pertemuan informal yang terakhir. Indonesia sendiri agaknya sudah merasa berhasil jika pertemuan informal ini dapat mencapai kesepakatan di bidang eksternal dari masalah Kamboja. Sedangkan untuk kelanjutannya terdapat berbagai alternatif. Muangthai kabarnya sudah mengisyaratkan keinginannya untuk memprakarsai pertemuan lanjutan tentang penyelesalan masalah Kamboja. Bentuknya dapat berupa Konperensi Internasional Kamboja II, yang dapat melibatkan negara superkuat. Bukan berarti keikutsertaan negara superkuat adalah jaminan sukses. Terbukti Konperensi Internasional Kamboja yang pertama, 1981, berakhir dengan kegagalan. Upaya yang diadakan di New York dan diprakarsai oleh PBB itu macet karena Uni Soviet dan Vietnam tak mau hadir. Adapun pada JIM, semua delegasi yang diundang kecuali Sihanouk sebagai pribadi -- ternyata hadir. Namun, berhasil atau tidaknya JIM II mengantar Kamboja ke gerbang perdamaian akan segera terbukti di hari Selasa atau Rabu pekan ini. Indonesia sejak awal berusaha keras, agar setelah berakhirnya JIM II, proses dari pertemuan yang bersejarah ini akan berlangsung terus. Itu berarti kesepakatan di antara kekuatan-kekuatan yang eksternal perlu diresmikan dahulu, dan pertentangan diantara kekuatan di dalam negeri Kamboja perlu diinventarisasikan. Boleh jadi, setelah JIM II ini akan dicarikan suatu forum yang dianggap lebih netral untuk melanjutkan upaya penyelesaian konflik Kamboja. Misalnya berupa konperensi internasional tentang Kamboja. Di Paris ? Sementara pengamat beranggapan, ibu kota Prancis itulah sebagai tempat yang tepat bila mau melibatkan negara besar seperti AS, Uni Soviet, dan RRC. Maka, peran Indonesia yang, seperti kata Menlu Ali Alatas, tanpa pamrih sebagai tuan rumah dan moderator JIM pun usai sudah.Bambang Harymurti, Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum