MENELITI dampak Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ternyata sama sulitnya dengan menebak angka jitunya. Dalam dengar pendapat Biro Pusat Statistik dengan DPR, awal bulan ini, terungkap bahwa SDSB rupanya membuat jeri para peneliti. ''Kami sudah mencoba meneliti SDSB, tapi kami tak sanggup, takut dipukul,'' ujar Kepala BPS Azwar Rasyid. Memang banyak cerita tentang ''orang kuat'' di belakang kupon yang beredar sejak awal Januari 1989 itu. Maka, banyak yang bertanya-tanya ketika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di DPR, Selasa pekan lalu, menyatakan sanggup meneliti SDSB. Masalahnya, LIPI hanya punya anggaran penelitian Rp 600 juta setahun, sedangkan BPS dulu menganggarkan sekitar Rp 2 miliar. Niat meneliti SDSB ini mulanya datang dari Menko Polkam Sudomo, akhir Desember 1990. Saat itu marak demonstrasi menentang kupon yang dianggap menghisap penghasilan rakyat kecil tadi. Sementara Sudomo menganggap kupon SDSB sebagian besar dibeli orang-orang gede. Sudomo kemudian mengusulkan sebuah penelitian kepada BPS, yang langsung pula menetapkan empat aspek yang diteliti, yaitu latar belakang pembeli, agen dan subagen, opini masyarakat luas, dan opini tokoh masyarakat. Para agen SDSB se-Indonesia sempat dikumpulkan di Hotel Hilton Jakarta. Namun, tiba-tiba Menko Polkam minta penelitian ditunda. Alasannya, kata sumber TEMPO, masih banyak protes di jalan. Sudomo pula yang kemudian menunda penelitian. Maklum, masa kampanye Pemilu 1992 sudah dekat. Lalu ada Pemilu. Kemudian Sidang Umum. Dan sampai kabinet berganti, penelitian BPS itu tak ada kabarnya. Sudomo, kini Ketua DPA, kepada Juwarno dari TEMPO menjelaskan bahwa penelitian BPS itu tertunda karena kala itu BPS tengah sibuk dengan tugas statistik yang berskala nasional. Juga saat penelitian dinilai Sudomo kurang tepat. ''Waktu itu kita menghadapi Pemilu dan Sidang Umum. Hanya soal prioritas, jadi tak perlu dibesar-besarkan,'' kata Sudomo pekan lalu. Sebenarnya, di luar lembaga pemerintah, dalam skala yang lebih kecil, sudah ada penelitian tentang SDSB. Nuriman Hasibuan, doktor ekonomi yang kini menjadi guru besar di Universitas Sriwijaya Palembang, dua tahun lalu meneliti aspek pembangunan masyarakat desa. Ternyata, Hasibuan menemukan bahwa SDSB telah menguras penghasilan rakyat di tiga desa di Sumatera bagian selatan. Selama dua tahun Hasibuan meneliti, tak seorang pun di tiga desa itu yang menang SDSB. Menteri Sosial Inten Soeweno juga menandaskan, LIPI boleh- boleh saja meneliti SDSB. Bahkan Hedijanto, bendahara Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), penyelenggara SDSB, mengatakan bahwa pihaknya menyokong penuh penelitian tentang SDSB. ''Sewaktu BPS akan mengadakan penelitian, Yayasan dan pelaksana dikumpulkan untuk membantu,'' ujar Hedijanto. Jadi, kata Hedijanto lagi, tak mungkin Yayasan menghalangi penelitian BPS. Tahun ini, YDBKS akan menerima sesuai dengan kontrak Rp 162,5 miliar dari pelaksana SDSB, yaitu PT Arthadana Kriya. Tahun lalu, Arthadana menyetor Rp 150 miliar, dan tahun sebelumnya sebesar Rp 137 miliar. Tak jelas benar, berapa pemasukan Arthadana dari agen dan subagen tiap penarikan Rabu malam yang kini disebut sebagai malam arisan nasional. Bukankah ini semua menarik untuk diteliti? Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini