MEREKA lebih suka bertanya ke sana-kemari ketimbang ditanyai oleh wartawan. Begitulah tingkah laku Direktur GSP dari United States Trade Representatives (USTR), Joseph Damond, 32 tahun, dan tiga rekannya, yang hampir sepanjang pekan lalu sibuk kasak-kusuk mengamati masalah buruh di Indonesia. Padahal cukup banyak orang yang dijumpai Damond dan kawan- kawan. Mulai para menteri serta pejabat tinggi di Mabes ABRI hingga aktivis pembela hak-hak asasi manusia (HAM) Adnan Buyung Nasution dan Princen. Tak ketinggalan tokoh buruh macam Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Imam Soedarwo, dan Muchtar Pakpahan, pemimpin organisasi ''tandingan''-nya SPSI yang tak direstui Pemerintah: Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Mereka menemui juga pimpinan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan buruh di pabrik-pabrik. Kedatangan Damond dan rekannya itu ada kaitannya dengan ancaman pencabutan GSP (Generalized System of Preferences) oleh pemerintas AS. Ini adalah fasilitas yang diatur lembaga USTR tadi, berupa keringanan bea masuk ke AS untuk sejumlah komoditi tertentu dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bermula dari pengaduan sejumlah LSM di AS yang menuding adanya praktek selingkuh terhadap buruh di sini. Maka, Washington pun ditekan untuk mencabut fasilitas GSP tadi. Untung, pemerintahan Clinton masih memberi waktu kepada pemerintah Indonesia sampai awal tahun depan untuk memilih: GSP terus atau disetop. Maka, pemerintah RI mengundang tim GSP ini untuk meneliti sejauh mana benar-tidaknya laporan LSM asal AS itu. Ada beberapa hal memang yang ditanyakan oleh tim GSP ini. Namun, yang paling banyak menarik perhatian Damond dan rekannya adalah soal kebebasan berserikat buat para buruh, dan keterlibatan militer dalam perundingan antara buruh dan majikan. Soal lainnya yang klasik, seperti upah yang tak layak, eksploitasi buruh anak, dan hak buruh yang banyak disunat, tentu mereka perhatikan juga. Mencuatnya soal kebebasan berserikat boleh jadi karena Pemerintah hanya mengakui SPSI sebagai wadah buat buruh. Sementara itu, upaya coba-coba yang pernah dilakukan oleh Princen yang mendirikan Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan, dan Muchtar Pakpahan yang membuat SBSI, terbentur karena, ya itu tadi, tak mendapat restu dari Pemerintah. Boleh jadi ini merupakan trauma warisan dari zaman Orde Lama. Ketika itu, gerakan yang berbau buruh selalu ditunggangi oleh kepentingan politik. Maka, tak aneh, bermunculan banyak organisasi buruh yang dibeking oleh partai politik. Apalagi kemudian buruh mendapat stempel sebagai pilar gerakan komunis. Persepsi inilah yang sampai sekarang tampaknya masih sulit diubah karena memang menguntungkan pengusaha. Ihwal adanya campur tangan militer dalam urusan perburuhan tampaknya dengan mudah ditangkis pejabat tuan rumah. Menurut Menteri Abdul Latief, keterlibatan militer hanya sebatas menjaga kemungkinan tindakan kriminalitas, seperti perusakan yang biasanya membuntuti setiap aksi pemogokan. Maklum, katanya lagi, pemogokan buruh di sini tak setertib di AS. Namun, peninjauan tim pencari fakta GSP ini juga sempat mengundang kritik. Misalnya, mereka tak mau melongok buruh- buruh di perusahaan PMA, khususnya dari Amerika Serikat. Padahal, seperti disinyalir oleh seorang tokoh LSM asal Surabaya, Danu Rudiono, banyak perusahaan modal asing yang juga melanggar peraturan perburuhan. ''Jangan-jangan tim GSP ini melakukan kebijaksanaan standar ganda terhadap perusahaan asing. Ini kan nggak benar,'' katanya. Kecaman paling keras datang dari Komandan Korem Bhaskara Jaya Kolonel Soetarto, yang Selasa pekan silam dalam sebuah pertemuan dengan para pengusaha dan pengurus SPSI di Surabaya mengungkapkan ada indikasi kegiatan intelijen AS di kota itu sebelum kedatangan tim GSP ini. Bentuk kegiatannya, menurut mantan Asisten Intelijen Kodam Brawijaya itu, dilakukan oleh ''tim pendahulu'' yang berkedok proyek penelitian dengan bendera Asian American Free Labor Institute (AAFLI) dan melibatkan pengurus SPSI di Surabaya. Inilah, kata Soetarto, yang meratakan jalan bagi tim GSP untuk mengumpulkan fakta. Objek yang diteliti adalah para buruh di lebih dari 1.000 perusahaan di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Semarang, Solo, Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan. Ini berlangsung akhir tahun 1992 silam. Entah kebetulan atau tidak, penelitian berlangsung dibarengi dengan meningkatnya aksi pemogokan buruh. ''Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner itu menggiring pada jawaban bahwa kondisi buruh di Indonesia itu jelek,'' ujar Soetarto. Sementara itu, seorang pengurus SPSI Surabaya, Wasis Gunadi, yang disebut-sebut terlibat dalam kegiatan spionase itu, membantah dirinya sebagai mata-mata Amerika sekalipun ia mengakui adanya penelitian itu. Menurut Wasis, keikutsertaan dia dan SPSI dalam penelitian itu justru ingin membantu memberikan data yang akurat agar pihak Amerika tak mendapatkan data sepihak. Betulkah ada kegiatan intelijen? ''Kami akan meneliti dulu,'' kata Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman. Mark Eaton, Konsulat Jenderal AS di Surabaya, tak mau menanggapi. ''Tak ada yang harus saya katakan kepada Anda. No Comment,'' katanya kepada Widjajanto dari TEMPO. Sementara teka-teki spion itu belum terjawab, Jumat pekan lalu tim GSP sudah terbang kembali ke negerinya. Bagaimana hasil kerja mereka dan intel-intelnya itu, kalau betul selama melakukan inspeksi di sini, lihat saja nanti nasib GSP. Ahmed K. Soeriawidjaja, Diah Purnomowati (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini