Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengambil kebijakan mengganti kurikulum pendidikan di Indonesia menjadi Kurikulum Merdeka. Pada 2022, kurikulum ini diluncurkan dan diberlakukan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan kebijakan pergantian kurikulum ini, Kementerian Agama yang menaungi madrasah juga menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 347 Tahun 2022 Tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Merdeka pada Madrasah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari nu.or.id, KMA ini diterbitkan sebagai payung hukum Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di madrasah yang 100 persen mengikuti kebijakan Kemendikbudristek. Kemenag hanya melakukan adaptasi sesuai kebutuhan pembelajaran pada madrasah dalam rangka penguatan Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab yang menjadi ciri khasnya.
Dilansir dari situs Kementerian Agama, Kementerian Agama, Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah, Moh. Isom mengatakan pada 2022, telah ditetapkan 2.471 lembaga madrasah yang menerapkan kurikulum merdeka. Kemudian pada tahun 2023, ada 26.169 lembaga madrasah dari jenjang RA, MI, MTs dan MA/MAK yang menerapkan kurikulum merdeka.
Survei Kurikulum Merdeka
Dari survei angket yang dilakukan Kementerian Agama terkait perkembangan pelaksanaan Kurikulum Merdeka di 2.193 madrasah pelaksana IKM tahun 2022, masih ada koresponden yang menyikapi perubahan kurikulum ini dengan sikap biasa saja.
Dari perspektif guru,19,1 persen guru sangat bersemangat melakukan perubahan dalam pembelajaran, 69,2 persen guru bersemangat melakukan perubahan, dan 11,7 persen biasa saja. Dari perspektif gairah peserta didik dalam pembelajaran; 19,4 persen sangat bersemangat, 67,3 persen bersemangat dan 13,1 persen biasa saja.
Selanjutnya terkait keyakinan madrasah dengan menerapkan Kurikulum Merdeka, madrasah memiliki otonomi dan kemerdekaan dan keluwesan dalam mengelola pendidikan; 75,9 persen menyatakan sangat yakin, 22,3 persen menyatakan yakin, dan 1,9 persen menyatakan biasa saja.
“Terkait kendala yang dialami madrasah dalam implementasi kurikulum merdeka, salah satunya adalah dalam memberi layanan kepada peserta didik dengan beragam bakat, minat, dan kemampuan,” ungkapnya dilansir dari nu.or.id pada Kamis, 20 Juli 2023.
Untuk menghadapi kendala ini, Kementerian Agama mengembangkan program diversifikasi madrasah, yaitu madrasah akademik, madrasah program keagamaan, madrasah plus keterampilan, madrasah riset, madrasah boarding, dan lain-lain.
Kementerian Agama juga telah menyusun buku panduan, sosialisasi dan bimtek IKM secara daring, luring dan hybrid, menggunakan platform mandiri belajar, platform merdeka mengajar, pendampingan langsung di madrasah serta monitoring dan evaluasi IKM secara berkala.
Kendala di lapangan
Namun demikian, implementasi Kurikulum Merdeka di madrasah memiliki sejumlah kendala di lapangan. Di antaranya adalah tidak semua guru mau move on atau bisa beradaptasi cepat dengan kurikulum baru yang diluncurkan pemerintah. Hal ini bisa jadi karena belum maksimalnya dorongan internal dan eksternal.
"Eksternal misalnya MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Tidak semua MGMP aktif untuk sharing atau upgrading kompetensi guru. Jika MGMP aktif maka IKM tidak akan terputus," ungkap Ai Nurazizah, Wakil Kepala Bidang Kurikulum MTs Darul Ikhlash, Subang.
Selain itu, kata dia, pemerintah belum maksimal dalam melakukan sosialisasi atau upgrading kepada guru agar bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Sosialisasinya, kata dia, lebih banyak bersifat daring daripada luring.
"Biasanya kalau sudah ikut semacam pelatihan luring itu seolah di-charge, guru akan lebih semangat dalam mengajar," ujarnya.