Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengajar Secara Offline di Pedalaman

Guru mendatangi siswa di rumahnya karena ketiadaan akses Internet.

 

12 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Guru sekolah dasar mengajar pelajaran agama di rumah muridnya di Kelurahan Pesantren, Kota Kediri, Jawa Timur, 15 September 2020. ANTARA/Prasetia Fauzani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Praptono, mengatakan lembaganya menemukan tiga kesulitan utama guru-guru dalam mengajar di wilayah pedalaman pada masa pandemi Coronavirus Disease 2019. Temuan itu berdasarkan survei lembaganya yang bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiga kesulitan itu adalah keterbatasan jaringan Internet di pelosok, tidak ada fasilitas sarana dan prasarana yang seharusnya dimiliki oleh siswa untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh, serta kemampuan guru yang terbatas dalam memanfaatkan teknologi.

 

“Masih ada juga kompetensi guru yang kesulitan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran,” kata Praptono.

 

Praptono memperoleh data itu setelah membandingkan kesulitan yang dihadapi guru-guru di daerah pedalaman dan di perkotaan. Dengan temuan ini, ia menyarankan adanya peningkatan dalam segala aspek untuk mengatasi ketertinggalan guru di daerah pelosok, terutama pada masa pembelajaran jarak jauh akibat wabah.

 

"Kami merekomendasikan harus ada peran dinas pendidikan daerah, terutama untuk peningkatan jaringan infrastruktur Internet dan peralatan," ujarnya.

 

Menurut Praptono, sejauh ini beberapa persoalan tersebut dapat teratasi secara parsial melalui bantuan kuota Internet dari pemerintah kepada guru dan siswa. Tapi dalam jangka panjang, ia mendorong agar pemerintah daerah membantu guru dan siswa agar mendapat akses jaringan Internet dan peralatan ajar untuk pembelajaran jarak jauh.

 

Praptono menjelaskan, keterbatasan tersebut mengharuskan guru berinisiatif mengunjungi siswa ke rumahnya melalui program Guru Kunjung. Program ini diutamakan bagi murid sekolah dasar dan pendidikan anak usia dini. Sistem ini mengharuskan guru datang ke rumah atau titik kumpul yang ditentukan beberapa murid untuk belajar bersama secara terbatas di wilayah terpencil.

 

Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan program pembelajaran jarak jauh secara luring atau luar jaringan relatif tidak tersentuh oleh pemerintah. "Program luring ini tidak diperhatikan ketimbang daring. Intervensi negara hanya melalui kerja sama melalui siaran TVRI dan RRI," kata Satriwan.

 

Ia menemukan bahwa masih banyak siswa yang tak tersentuh akses Internet. Kondisi ini memaksa guru melakukan pembelajaran secara offline dengan mengunjungi siswa. Tapi menjadi masalah, karena pemerintah tidak memberi insentif kepada guru yang mengikuti program Guru Kunjung.

 

Alasan itu yang membuat Satriawan mendesak agar pemerintah daerah dan sekolah bergerak memanfaatkan radio komunitas untuk menyiasati pembelajaran pada masa pandemi. Ia mengatakan kendala ini sudah muncul sejak awal masa pandemi, tapi belum terselesaikan hingga kini.

 

"Misalnya, di Kabupaten Bojonegoro, ada guru yang harus memakai sepeda motor trail melewati medan berat menembus perkebunan teh untuk sampai di permukiman siswanya," ujarnya.

 

Ketua Ikatan Guru Indonesia Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, M. Assad Sattari, mengatakan pemerintah seharusnya betul-betul serius menyelesaikan persoalan keterbatasan jaringan Internet dan peralatan di daerah pedalaman tersebut. "Meski ada bantuan pulsa kuota, tapi kalau tidak ada jaringan Internet, itu justru tak adil bagi siswa karena tidak bisa dimanfaatkan bantuannya," katanya.

 

Assad mengatakan lembaganya sudah menyarankan kepada pemerintah daerah agar mendorong setiap desa membangun fasilitas jaringan Wi-Fi berbayar bagi siswa. Lalu pemerintah desa dapat menarik biaya beban Internet dengan cara subsidi. Hal ini dianggap efektif untuk mengatasi keterbatasan akses Internet.

 

“Sehingga guru tak perlu lagi datang ke setiap rumah siswanya dari satu kampung ke kampung lain,” ujar Assad.

 

AVIT HIDAYAT


Guru Penenteng Sepatu

MUHAMMAD Assad Sattari terpaksa menenteng sepatu ketika menyeberangi sungai saat menuju ke rumah sejumlah siswanya di beberapa desa di Kecamatan Alu, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Guru bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Alu, Kabupaten Polewali Mandar, ini terpaksa menyambangi rumah siswanya setelah pemerintah melarang pembelajaran tatap muka di sekolah karena pandemi Coronavirus Disease 2019.

 

Ia mengatakan sebagian siswanya tinggal di beberapa desa di seberang sungai. Pada masa normal, siswanya ke sekolah biasanya harus menenteng sepatu lebih dulu atau hanya memakai sandal. Tapi pada masa pandemi, giliran Assad yang harus menenteng sepatu ketika mendatangi siswanya untuk mengajar. "Saya mengerti kenapa siswa saya pakai sandal dan sering izin terlambat karena harus menyeberangi beberapa sungai untuk berangkat ke sekolah," kata Assad, kemarin. “Pada akhirnya saya yang mengalaminya sekarang.”

 

Ia mengatakan metode pembelajaran jarak jauh secara daring di sekolahnya tak efektif dilaksanakan. Penyebabnya, sebagian besar siswanya di kelas X dan XII justru tinggal di wilayah yang tak memiliki akses Internet. Bagi daerah yang terdapat jaringan Internet, sinyalnya sangat lemah.

 

Ia mengatakan pembelajaran daring hanya bisa dilakukan melalui aplikasi WhatsApp, tapi cara ini tidak optimal, sehingga Assad harus yang mendatangi rumah siswanya. "Apa boleh buat, kami harus mengunjungi," katanya.

 

Assad menempuh perjalanan sampai puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Polewali Mandar, ke rumah tinggal siswanya. Meski menggunakan sepeda motor, karena rute perjalanan melintasi Sungai Mandar, ia harus menyeberang menggunakan perahu getek saat menyeberangi sungai tersebut. Adapun Sungai Mandar memiliki lebar 50-70 meter.

 

Di kampung yang ia tuju, biasanya siswanya sudah menanti. Di sana, jaringan Internet sangat terbatas dan peralatan belajar daring juga tak tersedia.

 

Assad mengatakan rutinitas ini ia jalani dalam beberapa bulan terakhir. Dalam mengajar, ia membagi siswanya berdasarkan lokasi yang dituju. Dalam sehari, Assad akan mengajar mereka secara bergantian berdasarkan tingkatan kelas siswa. Esoknya, ia akan pindah ke lokasi siswanya di kampung lain.

 

Menurut Assad, ia juga menghadapi kendala lain dari orang tua siswa. Sebab, orang tua di desa pasif terhadap sistem pendidikan daring dan luring. Padahal semua sekolah dipaksa untuk belajar jarak jauh untuk mencegah penyebaran Covid-19. "Mayoritas orang tua merasa sangat terbebani karena anaknya di rumah terus," kata Assad.

 

AVIT HIDAYAT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus