APA pun alasannya, Indonesia berhak merasa dibohongi. Tiba-tiba saja Kamis pekan lalu, Amanah el Ashimah el Muqaddasah (semacam wali kota untuk ibu kota tanah suci) mengatakan: jenazah haji Indonesia korban terowongan Al-Muaisim sudah dikebumikan dua hari setelah peristiwa itu di Mekah (300 orang), Mina (200 orang), dan selebihnya di Arafat dan Muzdalifah. Berita itu tiba di Jakarta Jumat sore. Menteri Agama Munawir Sjadzali sungguh kesal mendengarnya. "Hal ini tidak diinformasikan kepada kita sebelumnya," katanya. Padahal, berdasarkan keterangan pihak Arab Saudi, Munawir sendiri menyatakan ihwal pemakaman jenazah masih dicarikan tempat. Soalnya, pihak Indonesia minta para syuhada Indonesia disatukan, agar mudah bagi ahli warisnya nanti menziarahinya. Pihak Arab Saudi, diwakili oleh Menteri Luar Negeri Saud el-Faisal, Senin pekan lalu, masih menyanggupi permintaan itu. Bila ternyata Senin pekan lalu itu sudah sekitar lima hari para syuhada dimakamkan, kemungkinan besar ini karena panitia di Arab Saudi tak terkoordinasi dengan baik. Setidaknya informasi yang akurat tak luas disampaikan pada semua pihak. Dan sementara itu musabab terjadinya peristiwa masih belum jelas juga. Berdasarkan keterangan mereka yang selamat, banyak yang menduga adanya kesengajaan. Koresponden TEMPO sampai awal pekan ini mengumpulkan sejumlah kesaksian dari para jemaah haji yang masih tinggal di Mekah, dan kebetulan cerita mereka mirip. Kata seorang jemaah yang sedang dirawat, ketika terowongan Al-Muaisim sudah padat dengan jemaah, sekitar pukul 8.00, 2 Juli waktu setempat, tiba-tiba terdengar bunyi "priit" dari arah dua mulut terowong. Setelah itu gerombolan-gerombolan manusia berdatangan dari kedua mulut terowongan, mendesak ke tengah. Akhirnya korban berjatuhan, pekik dan rintih sayup-sayup terdengar lemah. Apakah "priit" itu? Sejumlah jemaah yang lain bercerita begini. Sewaktu mereka memasuki terowongan sekitar pukul 3 dini hari, mereka memergoki seseorang sedang membuka pintu gardu listrik. Orang itu menutup pintu gardu kembali, ketika mereka lewat. Tapi, begitu mereka berlalu, orang itu membukanya lagi. "Saya ingat kembali pada orang itu setelah peristiwa yang membawa korban ini," kata jemaah yang tak mau disebutkan namanya itu. Ada sabotase atau tidak, kejadian ini membuat Raja Fahd malu dan marah. Ia memanggil semua yang terlibat dalam kasus terowongan ini, diminta penjelasan dan pertanggungjawabannya. Di antaranya para kontraktor dan teknisi terowongan. Juga aparat keamanan. Dan untuk menjelaskan segalanya pada Indonesia, awal pekan ini tiba di Jakarta Menteri Perindustrian Abdul Aziz al-Azamil. Tapi memang belum semua pihak pihak di Arab Saudi bisa memahami kemauan pihak Indonesia. Misalnya, setelah diketahui para syuhada Indonesia sudah dimakamkan, Kedutaan Besar Republik Indonesia minta diantarkan ke makam. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh KBRI untuk mendokumentasikan dalam bentuk foto-foto dan film video. Tapi para petugas Arab Saudi melarangnya. Bahkan ada kamera yang hampir dibanting oleh penjaga kuburan. Mengapa ini semua terjadi? Dalam hal pemakaman, menurut Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI, Arab Saudi tidak salah. Jenazah memang harus cepat dimakamkan dalam 24 jam. Kesalahan kita, menurut Ibrahim Hosen, terlalu berhubungan dengan yang di atas. Sementara itu, orang yang berwenang, dalam hal ini yang bertugas memakamkan, tidak dihubungi. Kalau itu sempat dilakukan, mungkin pemakaman bisa ditunda. Kini, seandainya pun permintaan Indonesia agar para syuhada Indonesia (sampai awal pekan diketahui sejumlah 647 syuhada) disatukan makamnya disetujui, dari segi akidah yang dianut Saudi hal ini sulit dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini