Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian partai gurem yang tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen itu merupakan partai baru.
Efek Jokowi pada Pemilu 2024 belum kuat melekat di partai.
Sejumlah partai tetap optimistis lolos.
JAKARTA — Separuh partai peserta Pemilu 2024 diperkirakan tidak lolos ke Senayan berdasarkan hasil quick count atau hitung cepat sejumlah lembaga survei. Sebagian partai gurem yang tidak lolos ambang batas parlemen minimal 4 persen itu merupakan partai baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar, mengatakan belum adanya partai baru yang bisa menembus Senayan—penyebutan lain DPR—karena masyarakat dan kondisi partai sudah mencapai titik jenuh sejak Pemilu 2014. Artinya, menurut dia, belum ada satu pun partai non-parlementer yang bertarung dalam pemilu saat ini mempunyai ideologi atau platform baru yang bisa ditawarkan kepada pemilih. “Partai yang cenderung bertahan hanya yang saat ini berada di parlemen,” kata Usep pada Rabu, 21 Februari 2024.
Berdasarkan hasil hitung cepat Populi Center, hanya delapan partai yang diprediksi lolos ambang batas parlemen. Sigi lembaga survei itu menyebutkan partai yang lolos adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan perolehan suara 16,34 persen, Golkar 15,54 persen, Gerindra 13,93 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 10,93 persen, NasDem 9,13 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,99 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 7,20 persen, dan Demokrat 7,08 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai lawas sejak Pemilu 1977, terancam tidak lolos ke Senayan. Perolehan suara partai berlambang Ka'bah itu masih berkisar di angka 3,85 persen berdasarkan hitung cepat. Margin of error hitung cepat Populi Center sebesar 0,5 persen.
Suasan rapat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Gedung DPP PSI, Jakarta, 26 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Adapun partai gurem yang disebut tidak lolos versi hitung cepat adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan perolehan suara 2,62 persen, Perindo 1,34 persen, Hanura 0,89 persen, Gelora 0,89 persen, Partai Buruh 0,73 persen, Partai Ummat 0,46 persen, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,45 persen, Partai Garuda 0,34 persen, dan Partai Kebangkitan Nasional 0,28 persen.
Usep melihat ada dua faktor yang menyebabkan partai gurem sulit menembus ambang batas parlemen. Pertama, mereka tidak memiliki ideologi atau platform partai yang berbeda untuk ditawarkan kepada pemilih. Salah satunya, kata Usep, PSI sebagai partai baru yang dianggap tidak mempunyai perbedaan dengan partai lainnya yang sudah duduk di parlemen. “PSI awalnya ingin menawarkan hal yang berbeda, tapi nyatanya tidak ada yang bisa ditawarkan dari segi perilakunya,” ujarnya.
Kedua, Usep melanjutkan, banyak partai baru kehilangan identitas untuk menunjukkan jati dirinya berada di jalur partai dengan ideologi nasionalis atau religius. Sebab, nyaris semua partai menggabungkan dua ideologi tersebut. “Sekarang partai nasionalis mau terlihat religius, sedangkan yang religius mau tampak nasionalis,” ujarnya. “Dari sisi ideologi tidak tampak dari partai baru, sehingga tak ada yang bisa ditawarkan kepada pemilih.”
Partai baru sulit masuk ke Senayan karena mereka dinilai tidak mempunyai tokoh berpengaruh untuk membantu mengerek elektabilitas partai. PSI, kata dia, sebenarnya telah mencoba melekatkan partai mereka dengan figur Presiden Joko Widodo. Apalagi partai tersebut juga memilih anak Jokowi, Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum partai meski baru dua hari menjadi anggota PSI.
Kendati begitu, efek Jokowi pada Pemilu 2024 belum kuat melekat di partai berlambang mawar merah itu. Figur Jokowi, menurut Usep, lebih melekat kepada partai berlambang banteng moncong putih yang membawanya menjabat Wali Kota Solo hingga presiden selama dua periode. “Dalam konteks PSI, kegagalan mereka membuat figur elite dan figur muda mereka untuk dekat dengan pemilihnya,” ujarnya. “Apalagi mereka tidak turun dan mendekati secara langsung pemilihnya.”
Bagi partai baru yang tidak mempunyai tokoh yang kuat untuk dijual, menurut Usep, terjun langsung mendekati pemilih merupakan keharusan dalam kontestasi elektoral. Partai sejatinya tidak hanya mengandalkan spanduk atau baliho yang dipasang secara masif di berbagai wilayah. Sebab, alat peraga kampanye itu hanya berfungsi sebagai instrumen pengenalan terhadap partai, tapi tidak membangun kedekatan secara langsung dengan pemilih.
“Iklan memang berpengaruh terhadap popularitas, tapi hal yang menentukan adalah mereka yang turun langsung dengan pemilihnya,” ujarnya. “PSI tidak kurang iklan. Bahkan bisa dibilang PSI jauh lebih besar iklan dan balihonya daripada partai lain. Tapi hal yang menentukannya, sentuhan langsung ke pemilih.”
Adapun PPP, satu-satunya partai lawas yang terancam tidak lolos, menurut Usep, karena partai itu gagal mentransformasi diri. Padahal lanskap atau pemetaan pemilih saat ini telah berubah. Mayoritas pemilih saat ini adalah anak muda sebesar 52 persen. “PPP masih dianggap sebagai partai yang serius dengan ideologi dan figur tua yang bertentangan dengan lanskap politik dan pemilih,” ujarnya. “Begitu juga PBB sebagai partai yang sudah cukup lama, tapi tidak berubah sama sekali dengan model Masyumi-nya.”
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menerima berkas pendaftaran bacaleg dari Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo saat pendaftaran bakal calon legislatif anggota DPR RI ke kantor KPU, di Jakarta, 14 Mei 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Peneliti dari Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim, menyebutkan, dari hasil hitung cepat lembaganya, PPP berpotensi tidak lolos ambang batas parlemen. Berdasarkan hasil hitung cepat Indikator Politik pada 14 Februari lalu, suara PPP hanya 3,65 persen dengan margin of error 0,54 persen. Namun PPP masih ada kemungkinan lolos karena margin survei dekat dengan ambang 4 persen. “Bisa disimpulkan bahwa suara PPP melemah dalam pemilu legislatif karena berbagai faktor, terutama efek calon anggota legislatifnya yang kurang kompetitif,” ujarnya.
Faktor lain yang menyebabkan suara PPP mengkerut adalah efek semakin mengecilnya pemilih ideologis partai. PPP disebut tidak bisa mendapatkan efek ekor jas dari calon presiden karena fenomena split-ticket voting yang tinggi berdasarkan exit poll Indikator di kalangan pemilih PPP.
Efek ekor jas atau pengaruh ekor jas adalah istilah umum yang merujuk pada hasil yang diraih suatu pihak dengan cara melibatkan tokoh penting atau tersohor, baik langsung maupun tidak langsung. Adapun split-ticket voting adalah fenomena dalam kontestasi elektoral akibat adanya bermacam pilihan. “Jadi banyak pemilih PPP yang memilih calon presiden tidak linier dengan pilihan partainya,” ujar Kennedy.
PSI beriklan secara jorjoran, tapi disebut belum berhasil meningkatkan perolehan suara. Sebab, menurut Kennedy, tingkat popularitas PSI masih rendah dan hanya terkonsentrasi di perkotaan. Mesin partai PSI juga terbilang masih terbatas dan kurang mengakar alias tidak mempunyai basis yang membuat partai tersebut kesulitan mencari suara untuk memenuhi ambang batas parlemen.
Strategi efek ekor jas melalui asosiasi dengan popularitas Jokowi juga kurang efektif karena banyak partai melakukan upaya yang sama. Selain PSI, kata Kennedy, partai seperti Gerindra, Golkar, dan PAN berusaha mengambil efek ekor jas dari Jokowi. “Sehingga efek Jokowi relatif tersebar cukup merata dalam pemilihan legislatif kali ini.”
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah mengatakan masalah utama partai gurem yang bertarung saat ini adalah simbol kekuatan tokoh elite yang berpengaruh terhadap pemilu serta kemampuan kapital mereka. “Pemilu kita membutuhkan biaya besar. Partai yang minim logistik bakal sulit melakukan promosi, propaganda, ataupun kampanye, sehingga sulit bagi mereka untuk lolos,” ujarnya. “Begitu juga ada partai dengan modal besar tapi tidak punya tokoh, sulit untuk lolos.”
Optimistis Lolos Ambang Batas
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP Syaifullah Tamliha optimistis partainya lolos ambang batas parlemen. Menurut dia, sejak Pemilu 2019, PPP kerap menjadi langganan penggiringan opini sebagai partai yang tidak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2024. Padahal hasil penghitungan internal, PPP melampaui ambang batas parlemen 4 persen. “Kami yakin PPP lolos,” katanya.
Simpatisan dan bakal calon legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berjalan kaki saat pendaftaran bacaleg ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Mei 2023. ANTARA/Syaiful Arif
Meski begitu, Tamliha tidak menampik adanya potensi penurunan suara PPP dari pemilu ke pemilu. Salah satu sebabnya adalah konflik internal partai. Hal yang teranyar ialah diberhentikannya Suharso Monoarfa dari jabatan Ketua Umum PPP oleh Majelis Pertimbangan Partai. Kepemimpinan Suharso digantikan Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Mardiono yang ditunjuk sebagai plt Ketua Umum.
Selain lingkup internal partai, penurunan perolehan suara PPP terjadi karena belum ada lagi figur yang kuat selepas kepemimpinan Hamzah Haz, yang mampu mendongkrak suara partai. Hamzah Haz, menurut Tamliha, merupakan figur ketua umum yang dianggap ideal karena mempunyai kapasitas, kapabilitas, dan integritas untuk mengerek suara partai.
Perolehan suara PPP juga semakin terseok karena pemilu dengan sistem suara terbanyak hanya melahirkan dua jenis politikus, yaitu yang mempunyai modal besar dan yang mempunyai daya tekan. “PPP tidak mempunyai keduanya, yaitu politikus dengan kapital besar dan premanisme politik,” ucap Tamliha.
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi juga optimistis anggota perwakilan partainya masih bisa duduk di Senayan dari hasil Pemilu 2024. Mesin partai, kata dia, masih berfokus di daerah untuk mengawal suara PPP agar tidak bergeser. “Kami masih berfokus mengawal suara PPP yang hasilnya di atas 4 persen,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor mengatakan partainya masih mencermati penghitungan suara secara berjenjang di tiap tingkatan. Hasil dari pemantauan partainya, kata dia, sulit bagi PBB lolos ke parlemen dengan ambang batas minimal 4 persen. “Berat bagi partai kecil seperti kami lolos dengan sistem pemilu terbuka seperti saat ini,” katanya.
Menurut dia, sistem suara terbanyak membuat persaingan di lingkup internal dan partai semakin sengit. Masyarakat pun semakin pragmatis sehingga terjadi politik uang yang tidak bisa dikendalikan. Apalagi pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu tidak maksimal. Sebagai partai kecil yang tidak mempunyai banyak modal, menurut Afriansyah, pihaknya sulit menghadapi situasi seperti itu. “Apalagi ambang batas untuk lolos juga tinggi,” ujarnya.
PBB, kata Afriansyah, telah beberapa kali mengajukan permohonan uji materi soal ambang batas parlemen 4 persen. Aturan ambang batas tersebut semestinya dihapus karena dinilai tidak adil terhadap calon anggota legislatif yang telah mendapatkan suara tinggi tapi partainya tidak lolos. “Sehingga mereka yang sudah dapat suara besar akan gagal masuk ke parlemen, kalau suara partainya tidak memenuhi ambang batas,” ujarnya. Juru bicara dan Wakil Dewan Pembina PSI, Sigit Widodo, belum menjawab upaya permintaan konfirmasi Tempo soal partai mereka yang tidak lolos ambang batas parlemen.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo