Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengharap Bata Menjadi Gedung

Rakyat masih berminat ikut pemilu meski tak yakin bakal mengubah keadaan. Mereka tetap khawatir dicurangi. Banyak yang ''buta" ihwal pernik mencoblos.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENDEKIAWAN Nurcholish Madjid punya perumpamaan menarik untuk menggambarkan betapa pentingnya pemilu 7 Juni mendatang. Dalam pemilu pertama pascakepemimpinan Soeharto, rakyat punya kekuasaan untuk ''memasang dan membongkar pemerintahan"?istilah kerennya ''to hire and fire the government". Coblosan yang dilakukan pemilih di bilik suara pada hari pemilihan nanti akan menjadi satu batu bata dari sebuah gedung pencakar langit yang bernama pemerintah. Di tangan merekalah sebuah bangunan bisa terbentuk dan di tangan mereka pulalah sebuah bangunan bisa gagal berdiri. Menarik? Tentu saja. Soalnya, selama ini rakyat Indonesia hanya menjadi pemilih bohong-bohongan. Kecurangan terjadi di mana-mana. Di sejumlah tempat bahkan intimidasi aparat sepertinya berjalan lumrah. Semuanya terpaksa menurut, sampai di ajang paling penting berupa pemilihan presiden dan wakil presiden sekalipun. Orang pun lalu sinis: apa pun yang dicoblos, pemerintahnya, ya, itu-itu saja. Paling-paling yang berubah adalah nama anggota parlemen, yang seumur-umur belum pernah mereka kenal. Nah, pada pemilu mendatang keadaan itu diharapkan dapat berbalik 180 derajat. Namun, apakah pemilu sepenuhnya diandalkan masyarakat untuk menyelesaikan tumpukan problem yang menghimpit mereka selama ini? Tampaknya tidak. Jajak pendapat yang dilakukan Asia Foundation terhadap lebih dari 2.000 responden di seluruh Indonesia ini menyebutkan, hanya kurang dari separuh responden yang percaya pemilu akan membuat situasi Indonesia berbeda dari sebelumnya. Selebihnya menganggap keadaan akan sama saja atau tidak yakin akan ada perubahan selepas pemilu. Pendapat ini sejalan dengan kenyataan bahwa tidak semua responden sepakat bahwa pemilu tiga bulan mendatang itu akan berlangsung jujur dan adil. Paling tidak, mereka yang percaya dan tidak percaya bahwa pemilu bisa jujur berada pada posisi fifty-fifty. Bahkan, dibandingkan dengan pemilu dua tahun lalu, tingkat kepercayaan itu hanya terdongkrak 14 persen. Meski demikian, masih menurut jajak pendapat itu, hampir semua responden berniat memilih dalam pesta demokrasi tersebut. Artinya, mereka ogah golput (lihat tabel). Sebuah sikap pesimistis? Mungkin tidak. Barangkali lebih tepat adalah sikap realistis. Pemilu 1999, meski dirancang sedemikian rupa agar bisa berlangsung jujur, tidak bisa disangkal merupakan pemilu pertama yang dilangsungkan?setelah lebih dari tiga dasawarsa?dengan secara serius memperhatikan asas demokrasi seperti ''luber" dan ''jurdil" tersebut. Dengan kata lain, ada keyakinan bahwa pengalaman Indonesia yang rendah dalam menyelenggarakan pemilu yang bersih akan menjadi batu sandungan bagi terciptanya pemilu yang jujur. Sinyalemen politik uang yang kerap terdengar akhir-akhir ini bisa menjadi salah satu contoh bagaimana patgulipat pemilu itu masih mungkin terjadi. Dalam spektrum politik yang lebih luas, sikap reaslistis ini menjadi penting. Maksudnya, seandainya (mudah-mudahan saja hanya ''seandainya") pemilu memang tidak mampu membawa perbaikan, masih tersedia sisa energi pada masyarakat untuk melakukan perbaikan pascapemilu. Atau, paling tidak, masih ada harapan untuk berbenah sambil menunggu pemilu berikutnya, sehingga diharapkan mereka jadi lebih imun terhadap sikap frustrasi. Pemilu 1955 mungkin bisa dijadikan contoh. Meski pemilu pertama dalam sejarah Indonesia itu disebut-sebut sebagai pemilu yang paling fair, dalam kenyataannya konstituante buah pemilu pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Debat di gedung parlemen tak berkesudahan. Akibatnya, pemerintahan berwibawa yang diharapkan muncul dari pemilu itu cuma tinggal harapan. Konstituante belakangan bahkan dibubarkan begitu saja oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. ''Rakyat merasa kecewa setelah pemilu 1955 karena harapannya terlalu tinggi. Pemilu mereka anggap sebagai obat mujarab yang bisa menyelesaikan segala masalah," kata pengamat politik Herbert Feith, seperti dikutip TEMPO edisi 26 Desember 1992. Terlepas dari rasa frustrasi tersebut, temuan penting dari jajak pendapat ini adalah ternyata banyak masyarakat yang belum fasih tahu tentang teknis dan pernak-pernik pemilu. Mereka, misalnya, tidak tahu bahwa mereka harus mendaftar untuk bisa ikut mencoblos. Sebagian besar responden menyangka mereka akan didatangi panitia pemilih seperti dalam pemilu yang sudah-sudah. Dalam pertanyaan yang menguji apakah para responden tahu dengan benar ke mana mereka harus mendaftar, lebih dari tiga perempat responden menjawab dengan salah. Mereka, misalnya, menyebut kantor kepala desa atau ketua RT. Padahal, dalam pemilu kali ini pendaftaran pemilih dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), yang anggotanya tidak harus aparat birokrasi. Rendahnya pengetahuan tentang teknis pemilu ini ditambah lagi dengan masih banyaknya responden, yang tidak lain adalah calon pemilih, yang belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Kalau jajak pendapat ini bisa dijadikan acuan, paling tidak ada sepertiga dari total calon pemilih yang belum ber-KTP. Ini artinya, jika mereka tidak buru-buru mengurus, pemilu mendatang akan kehilangan sepertiga calon pemilih potensial dan itu bukan jumlah yang kecil. Perubahan-perubahan mendasar dalam undang-undang pemilu juga masih merupakan sesuatu yang asing di telinga responden. Bahwa pemilu kali ini diikuti oleh banyak partai dan bukan cuma tiga partai hanya diketahui oleh setengah responden. Setengah lainnya menggelengkan kepala. Hal yang sama juga terjadi pada pertanyaan apakah mereka tahu bahwa pemilu kali ini dilaksanakan pada hari libur. Cuma sepertiga yang mengangguk tanda paham. Jika kenyataan ini benar, inilah tugas berat bagi lembaga-lembaga pendidikan calon pemilih, yang bertugas menyosialkan prinsip-prinsip pemilu. Sebab, jika tidak, bukan tidak mungkin pemilu yang persiapannya memakan banyak biaya dan tenaga itu tidak optimal. Lalu, apakah yang paling dikhawatirkan responden jika pemilu dilangsungkan? Jawaban yang muncul bervariasi. Namun sebagian besar mengaku mereka khawatir jika pemilu berlangsung curang. Rentangnya, mulai dari ada orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih sampai adanya ancaman aparat agar memilih partai tertentu. Sebagian lagi?dalam porsi yang cukup dominan?khawatir terjadi kerusuhan dan kekacauan. Benih ke arah kekhawatiran itu sudah mulai tampak. Tengoklah kejadian di Yogyakarta akhir Desember lalu. Bentrok antara pendukung PPP dan PDI Perjuangan di kota pelajar itu menyebabkan 24 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Padahal, masalahnya sepele, hanya karena konvoi kedua partai berebut masuk ke sebuah jalan utama. Semua kenyataan ini, mulai dari kepercayaan yang rendah bahwa pemilu bisa mengubah keadaan sampai pengetahuan yang terbatas soal pernak-pernik pemilihan, tampaknya harus membuat banyak orang bergegas: bagaimana memberdayakan pemilihan dalam waktu yang mepet. Sebab, jika tidak, jangan-jangan bangunan gedung pemerintahan yang diumpamakan Cak Nur itu bakal gagal berdiri. Atau, lebih tragis lagi: batu bata untuk menegakkan gedung itu pun tidak pernah dapat dikumpulkan.

Arif Zulkifl


Apakah pemilu 1999 dan 1997 jujur dan adil?
19971999
Ya
Tidak
Tidak tahu
44%
36%
20%
58%
4%
38%
Apakah pemilu 1999 akan membuat perbedaan daripada masa sebelumnya?
Ya
Tidak
Tidak yakin
40%
33%
27%
Apa alasan Anda mendaftar pemilu?
Kewajiban sebagai warga negara
Mengembalikan kesejahteraan
Memilih pemimpin
Mengakhiri korupsi
Tidak tahu
35%
33%
16%
5%
10%
Apakah Anda pernah mendengar bahwa untuk ikut pemilu seseorang harus mendaftar sendiri?
Tidak/tidak tahu
Ya
95%
5%
Apakah Anda memberikan suara pada pemilu 1999 dan 1997 lalu
19971999
Ya
Tidak
Tidak Tahu
88%
11%
1%
96%
1%
3%
Kekhawatiran apa yang Anda rasakan pada pemilu 1999?
Orang tidak didaftar sebagai pemilih
Kerusuhan atau kekacauan
Berita yang memihak atau condong pada partai tertentu
Kecurangan dalam perhitungan suara
Kekerasan terhadap aktivis partai
Mengetahui partai apa yang dipilih seseorang
Jual-beli suara
Pekerja dipaksa memilih bersama-sama
Ancaman aparat untuk memilih partai tertentu
Orang memilih berulang kali
29%
23%
22%
21%
18%
15%
13%
11%
10%
9%

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus