INDONESIA tiba-tiba berubah posisinya di antara negara berpenduduk lebih dari satu juta orang yang tergolong miskin. Ini tercermin dan hasil survei UNDP (United Nations Development Programme) yang diumumkan akhir bulan lalu. Padahal, menurut ukuran Bank Dunia, pendapatan per kapita Indonesia tahun 1987 yang US$ 450 itu sudah US$ 50 di atas Sri Lanka yang menempati urutan ke-35 dari bawah barisan negara miskin. Bank Dunia mengukur kesejahteraan berdasarkan pendapatan per kapita. Ini juga berarti sedikitnya ada 35 negara di dunia yang penduduknya rata-rata lebih miskin dari kita. Bila ukuran UNDP dipakai, maka hasilnya akan berbeda. Sri Lanka dianggap lebih baik keadaannya dibandingkan dengan 82 negara lain di dunia, termasuk Indonesia. Tapi Indonesia juga boleh berbangga dinyatakan lebih baik keadaannya dibandingkan dengan 53 negara lain. Ini merupakan pertanda baik, bila tingkat kesejahteraan Indonesia dan Sri Lanka, di mata UNDP, dibandingkan misalnya dengan bank internasional. Ada perbedaan tolok ukur sehingga Indonesia lebih tinggi tingkat kesejahteraannya di mata UNDP. Memang, bila kesejahteraan Indonesia dibandingkan, Sri Lanka jelas akan menjadi pertanda baik. Tolok ukur yang digunakan UNDP lebih lengkap. Yang diukur bukan semata pendapatan per kapita. Juga soal harapan hidup, tingkat bebas buta huruf, dan daya beli masyarakat. Dengan perkataan lain, laporan survei 130 negara berpenduduk di atas satu juta yang dilakukan UNDP tak semata-mata memperhatikan soal pertumbuhan, tetapi juga soal pemerataan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa pemerataan yang lebih baik otomatis akan meningkatkan usia harapan hidup rata-rata (alias kesehatan masyarakat) dan tingkat bebas buta huruf alias pendidikan) penduduknya. Itulah sebabnya, kendati pendapatan per kapita Sri Lanka hanya US$ 400, dianggap lebih "sejahtera" daripada Brasil yang pendapatan per kapitanya 2.020 dolar AS alias lima kali lebih tinggi. Soalnya, tingkat harapan hidup (71 tahun) dan tingkat bebas buta huruf (87%) di Sri Lanka lebih tinggi daripada di Brasil (65 tahun dan 78%). Maklum, kesenjangan sosial di negara Pele ini memang parah. Pendapatan per kapita pun tak digunakan begitu saja oleh UNDP. Tim yang dipimpin bekas Menteri Perencanaan dan Keuangan Pakistan Mahbub Ul Haq ini menerjemahkannya menjadi daya beli per kapita. Walhasil, untuk negara yang ongkos hidupnya mahal seperti Jepang, daya beli per kapitanya (US$ 13.135) lebih rendah daripada pendapatan per kapitanya yang US$ 15.760 itu. Sebaliknya, karena biaya hidup di Indonesia murah, maka daya belinya (US$ 1.660) lebih tinggi dari penda- patan per kapitanya yang cuma US$ 450 itu. Metode ini bukannya tanpa cacat. "Laporan ini masih banyak masalah," kata Dr. Syahrir, pakar ekonomi politik lulusan Universitas Harvard, AS. Perihal cara menghitung daya beli per kapita, misalnya, dianggapnya belum dapat diterima secara universal. Demikian pula pembobotan yang sama untuk tingkat harapan hidup, derajat bebas buta huruf, dan daya beli per kapita, perlu dipertanyakan. Kekurangan ini diakui oleh Dr. Galal Magdi kepala perwakilan UNDP di Indonesia. "HDI memang bukan dimaksudkan sebagai tolok ukur yang foolproof," katanya. HDI adalah singkatan dari Human Development Index alias indeks perkembangan manusia, yang disusun UNDP dan diumumkan akhir bulan lalu itu. Peringkat Indonesia dalam HDI memang berada di bawah Vietnam dan Sri Lanka. Misalnya, merupakan contoh yang tak disepakati oleh Magdi. Maklum, angka yang dipakai adalah hasil tahun 1987 ketika Sri Lanka belum terlalu kacau dilanda kemelut perang saudara. Sedangkan untuk Vietnam dan negara sosialis lainnya, "Kami terpaksa menggunakan angka-angka resmi pemerintah," kata Magdi. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa angka statistik di negara-negara blok Timur umumnya sulit dijadikan patokan. Itulah sebabnya, laporan yang baru pertama kali dibuat UNDP ini akan disempurnakan lagi di tahun-tahun mendatang. "Kami akan terus mencari bobot yang lebih tepat," kata Magdi, yang memperkirakan peringkat Indonesia akan naik pada laporan tahun 1992 dan 1993 itu. Bambang Harymurti & Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini