LAIN PDI, lain pula PP. Sementara PDI masih ramai mempersoalkan
'kasus Isnaeni', orang PP lebih suka menerimanya sebagai
kenyataan. Termasuk Chalid Mawardi, tokoh asal NU, Sekjen DPP
PPP dan anggota Fraksi PP dalam DPR. "Sekarang prioritas
perhatian kita curahkan pada bahan-bahan untuk penyusunan CBHN,"
katanya minggu lalu. Itu ternyata tak menutup niatnya untuk
minta pertanggunganjawab dalam Mu'tamar NU, meski waktunya masih
jauh.
Tapi apa yang disebut 'minta pertanggunganjawab pimpinan'
ternyata tak dikenal dalam NU. Segera setelah 'kasus Masjkur'
(TEMPO, 16 Oktober) PBNU memang menyelenggarakan rapat, yang
oleh kalangan NU sendiri disebut sebagai 'forum mendengarkan
laporan ketua umum'. Dan biasanya laporan semacam itu diterima.
"Inilah yang disebut kultur sami'na wa atho'na (kami mendengar
dan kami taat)," kata Jusuf Hasjim, salah seorang anggota
fraksi.
Seperti diketahui, pada akhirnya PP tampil dengan calon tunggal
untuk wakil ketua DPR/MPR: KH Masjkur. Terutama berkat desakan
KH Idham Chalid, ketua umum DPP PP dan presiden partai NU. Usul
itu ditandatangani oleh 31 di antara 131 anggota Fraksi PPP.
Tapi keterangan Nuddin Lubis yang tak termasuk 31 penandatangan
itu, cukup menarik.
"Presiden partai itu sebenarnya bukan merupakan satu lembaga,
tapi tokoh utama partai. Ia tak punya hak veto. Namun itulah
yang bisa dilakukan oleh PP ketika itu, meskipun ada pemikiran
lain," kata Nuddin. Mungkinkah I&am yang dianggap "melanggar
disiplin partai" bisa dimintai pertanggunganjawab? "Percuma.
Semuanya sudah diatur," jawab Nuddin, kini ketua fraksi PP.
Tapi menurut Chalid Mawardi, semua pertemuan sebenarnya berjalan
cukup demokratis. "Sekalipun Idham Chalid memang sangat terbuka
untuk campur tangan dari luar. Ia sering melanggar keputusan
rapat," katanya. Tapi mengapa tampaknya tak ada keberanian buat
mengeritik? "Dalam NU masih melekat semangat pesantren sebagai
sub-kultur yang orientasinya paternalistis," jawab Chalid.
Lebih keras dari Chalid adalah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia), kelompok yang lebih muda. Menanggapi kericuhan dalam
tubuh NlJ Achmad Bagdja, ketua umum PMli yang barusan terpilih
dalam kongres minggu lalu berkata: "Politisi NU, baik yang muda
maupun yang tua, hendaknya tahu malu. Bukankah malu itu sebagian
dan iman?" Madjidi Sjah, bekas ketua umum PMII dengan
blak-blakan menyatakan rasa kecewa atas janji kampanye PP yang
lalu. "Sekarang malahan ada gejala de-generasi dan kecenderungan
konservatif. Oligarki partai sangat sulit ditembus oleh proses
demokratisasi," katanya. Itulah sebabnya Bagdja pun bertekad
mengusulkan agar ketua umum hanya bisa dipilih satu kali periode
dalam masa 3 tahun.
Porak-poranda
Akan halnya teka-teki mengapa PP ikut mendukung Isnaeni, kini
bisa diceritakan. Hari Senin 3 Oktober itu, Fraksi PPP
menyelenggarakan rapat. Cukup hangat dan seru. "Sejak semula ada
info yang menyesatkan bahwa PDI akan mencalonkan Isnaeni dan
Hardjanto," kata Chalid Mawardi. Meski begitu anggota-anggota
Fraksi PP belum mencapai kesepakatan.
Lima orang anggota (Zamroni, Asnawi Latif, Munasir, Anwar
Nurris, Mukaffi) bahkan menyarankan untuk bersikap blanko,
sementara anggota lain, Saifuddin yang berasal dari Aceh,
mengusulkan agar keputusan diserahkan kepada kabijaksanaan
pimpinan. Beberapa menit sebelum rapat yang dipimpin oleh
Masjkur (ketua fraksi sementara) itu berakhir, Amin Iskandar
berteriak: "Isnaeni saja." Begitu cerita orang PP.
Teriakan Amin kontan mendapat tepuk tangan riuh, menurut anggota
haji Munasir bukan unsur NU. Maka palu pimpinan pun diketukkan.
Putus sdah, dan PPP mendukurlg Isnaeni. Tapi dua menit kemudian
Chalid Mawardi dan Nuddin Lubis datang memberi kabar bahwa PDI
mengusulkan Usep Ranuwidjaja. Betapa pun, nasi sudah menjadi
bubur.
Meski begitu, Jusuf Hasjim masih berusaha mengusut: "Mengapa
Fraksi PP sampai tak tahu bahwa PDI mencalonkan Usep? Ada
kekeliruan ataukah memang ada unsur kesengajaan?" Sayang,
sebelum pertanyaan itu diajukan. pimpinan fraksi sudah berganti.
Tapi bagi Amin Iskandar, yang beranggapan "strategi parpol jadi
porak-poranda," keadaan seperti itu sudah diangLapnya sebagai
maju. Mengapa? "Sebab sekarang parpol sudah mendapat kesempatan
menentukan pilihannya. Bahwa kemudian hasilnya tidak seperti
yang diharapkan itu soal lain," jawabnya.
Apa maksudnya sudah disetel? "Begitulah," sahut Jusuf Hasjim.
Tampaknya orang parpol kini makin lesu saja. Kata Chalid
Mawardi: "Apa yang dialami oleh PDI, bukan mustahil nanti juga
akan terjadi pada PP." Tapi itu biasa, kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini