Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Menjinakkan Pasar dengan Pikiran Alternatif

Beragam jurus ditempuh pemilik galeri seni agar bisa bertahan. Ada yang mengandalkan dana dari lembaga donor, tak tertutup pula mendanai dari hasil berjualan makanan.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, punya gawe besar sepanjang tahun ini. Memasuki usia ke-25 tahun, pemiliknya, pasangan Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma, mencanangkan tema besar "Turning Target" dengan menjadwalkan sembilan acara yang berkaitan. Hajatan dimulai dengan One Night Stand pada 2 Februari berupa pesta perayaan dan proyek seni semalam. Belasan perupa dengan karya mereka berpameran di galeri ini. Selepas itu, bakal digelar lokakarya kuratorial, pameran hasil kolaborasi perupa dengan teoretisi, dan proyek lintas seni. Puncak acara akan ditandai peluncuran buku pada pengujung 2013.

Nindityo dan Mella pantas bersyukur. Sebab, galeri yang didirikan pada 31 Januari 1988 dan sempat menempati bangunan sewa di kawasan Ngadisuryan itu tetap langgeng. Padahal, lima tahun lalu, keduanya hampir putus asa, bahkan sempat terpikir "tutup warung". Kondisi murung itu tercipta setelah galeri komersial menyerap semua seniman kontemporer yang selama hampir 20 tahun hanya bisa muncul di Galeri Cemeti—nama lawas Rumah Seni Cemeti.

Agus Suwage, yang memulai debutnya dalam pameran tunggal di Cemeti dengan karya drawing di atas kertas pada 1990-an, kini menjadi anak emas galeri komersial. Harga karyanya bisa menembus angka Rp 1 miliar. Begitu juga nama besar lain, seperti seniman Heri Dono, Eddie Hara, bahkan perupa yang jauh lebih muda, semacam Handi Wirman.

Krisis ekonomi 1997 mempercepat kedatangan masa suram Cemeti. Meski Nindityo dan Mella sempat membangun gedung baru milik sendiri di Jalan D.I. Panjaitan—dan menempatinya sejak Mei 1999— ruang jualan (stock room) makin lengang. Kalangan ekspatriat, yang merupakan pembeli terbesar, jarang mampir. Napas Nindityo dan Mella kian terengah-engah, semangat pun terjun bebas.

Cemeti hampir menjadi catatan sejarah seni rupa kontemporer Indonesia. Tapi keduanya memutuskan bangkit. Pasangan ini sepakat galeri bukan sekadar tempat memamerkan karya yang sudah jadi, melainkan sebagai ruang untuk berproses. Di Cemeti berkembang kegiatan residensi yang mengolah pengalaman sosial dan inovasi seniman. Kurator, penulis, dan peneliti yang ikut residensi—tinggal dan berkarya di galeri—memperoleh akses terlibat dalam proses penelitian. "Terjadi dialog dan partisipasi untuk mengembangkan wacana seni rupa," ujar Mella.

Kegiatan ini mengundang lembaga donor untuk membiayai. Program residensi pun berseri hingga kini. Sebagian dana dari lembaga donor dimanfaatkan untuk membayar gaji staf dan operasional gedung. Sumber dana yang lain masih berasal dari penjualan karya dengan konsinyasi sebesar 30 persen, plus dari menjual barang-barang suvenir.

Sekitar 100 meter dari Rumah Seni Cemeti, kisah yang dialami pasangan suami-istri Agung Kurniawan dan Neni Yustina beda lagi. Tanpa beban, keduanya mengelola Kedai Kebun sebagai restoran dan galeri di Jalan Tirtodipuran sejak September 1996. Mereka memperlakukan ruang itu dengan santai. "Galeri hanya untuk mengisi kekosongan," kata Neni. Agung, yang juga seorang perupa, mengelola ruang kecil bangunan itu sebagai galeri, sedangkan Neni mengelola restoran di sebelahnya.

Belakangan mereka menekuni galeri dan restoran dengan lebih serius. Nama baru pun dirilis: Kedai Kebun Forum (KKF). Keseriusan itu didorong pemikiran, seni tak bisa diurus sembarangan. "Justru ruang seni itu harus dihidupi oleh sumber finansial yang stabil," ujar Neni. Walhasil, perempuan yang punya hobi memasak ini memacu restorannya agar menghasilkan uang untuk mendukung aktivitas kesenian di galerinya.

Tak mau setengah-setengah, bangunan galeri pun direnovasi. Ruang bertambah di lantai dua untuk pentas seni pertunjukan. Untuk pameran seni rupa tersedia ruang berukuran 4 x 6 meter. Kegiatan pameran dibiarkan mengalir. Agung, sebagai Direktur Artistik KKF, menetapkan standar tidak muluk-muluk. Karya yang pantas tampil di sini bukan hanya lukisan di atas kanvas yang digandrungi pasar, bisa juga hanya gambar di atas kertas atau malah karya yang berbau kerajinan. Jika tak ada seniman yang menggelar pameran, ruang galeri dibiarkan kosong. "Paling tidak, Agung yang akan memajang karyanya sekadar mengisi kekosongan," kata Neni.

Seperti galeri-galeri seni lain, karya yang dipamerkan di KKF dijual. Sebanyak 30 persen komisi dari karya-karya yang laku masuk ke kas kedai. "Prinsipnya, Kedai Kebun itu ruang komersial," ucap Neni.

Sejauh ini ia tak risau jika karya yang dipamerkan tak laku. Meski kondisinya tak seindah yang dibayangkan, Neni dan Agung ogah mengajukan proposal memperoleh dana dari lembaga donor. "Karena cukup. Justru apa yang kami lakukan itu menginspirasi orang tidak bergantung pada orang lain," kata Neni.

Menurut dia, prinsip tak bergantung pada orang lain merupakan makna alternatif Kedai Kebun Forum. "Jika tak ada dana, tidak memaksakan diri membuat kegiatan."

Strategi bertahan dengan menggali dana dari usaha yang berbeda juga dilakukan Mie Cornoedeus, pengelola Via-Via Café di Jalan Prawirotaman, Yogyakarta. Via-Via, yang ramai dikunjungi turis asing, hanya memanfaatkan dinding kafe untuk memajang karya seni rupa dua dimensi, dan kebanyakan berukuran kecil. Selain itu, seniman bisa memajang karyanya di langit-langit.

"Restoran ini menyediakan ruang pamer bagi seniman kontemporer," ujar Mie. Seniman muda yang kini sudah punya nama tak segan memamerkan karyanya di sini antara lain Samuel Indratma, Eko Nugroho, Sigit Pius, Arie Dyanto, Farhansiki, dan Ulis J. Lekso.

Menurut Mie, seniman harus menyajikan pandangan tentang perubahan sosial, ekonomi, dan politik dalam karya mereka. "Via-Via sejak awal ingin mengubah pandangan tentang citra eksotis Indonesia terhadap wisatawan," katanya. Pameran seni kontemporer di Via-Via mengundang pengunjung untuk memahami Indonesia, yang memiliki budaya yang dinamis dan terus berubah. "Di antara makanan dan kopi, muncul pertukaran kebudayaan," ucap Mie.

Seniman yang sukses via Via-Via misalnya Samuel Indratma dan Eko Nugroho. Samuel adalah seniman pertama yang berpameran di kafe itu pada 1990. Menurut Mie, mural karya Samuel lucu karena menggambarkan wisatawan yang makan dan buang hajat. Lalu wisatawan itu mengambil foto dari bunga yang tumbuh di kotoran mereka.

Mie mengandalkan pendapatan dari restorannya untuk bertahan agar para seniman tetap bisa memamerkan karya mereka. Kalau karya tersebut laku, Via-Via memperoleh komisi 20 persen. Meski sempat tak punya biaya menggelar pameran pada 2009, Mie berhasil mempertahankan kegiatan kesenian di kafenya hingga sekarang. Selama 17 tahun berjalan, Mie sudah menggelar 145 pameran seni rupa kontemporer plus acara seni lain, termasuk konser musik dan diskusi.

Raihul Fadjri, Shinta Maharani, Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus