Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jogja Gallery menempati lokasi strategis di Kota Yogyakarta. Ia berdiri di dekat keraton, alun-alun utara, Museum Sonobudoyo, juga sederet bangunan kolonial, seperti gedung BNI 46, Kantor Pos, dan Bank Indonesia. Namun nasibnya tragis. Sejak dua tahun lalu, frekuensi pameran seni rupa di tempat ini terpangkas separuh dibanding biasanya. Dari 12 pergelaran dalam setahun, kini tinggal 6 pergelaran. Pameran terakhir digelar Juli lalu.
Bangunan bekas gedung bioskop Soboharsono yang berada di pojok timur laut Alun-alun Utara Yogyakarta itu kini lebih sering lengang. "Frekuensi pameran, jumlah galeri yang aktif, juga animo masyarakat di Yogyakarta menurun," kata Direktur Eksekutif Jogja Gallery Indro "Kimpling" Suseno kepada Tempo pekan lalu.
Menurut kerabat Pura Pakualaman ini, tingkat penjualan hanya tinggal 60 persen. Bahkan Jogja Gallery kini ditawarkan menjadi lokasi resepsi pernikahan. "Buat resepsi kalau pas enggak ada pameran saja," ujar Kimpling. Menurut dia, biaya operasional galeri masih bisa ditutup melalui penyewaan lokasi untuk restoran dan kios kaus Dagadu.
Cerita lebih rinci muncul dari Nunuk Ambarwati, bekas Manajer Operasional Jogja Gallery. Menurut dia, napas galeri ini sangat bergantung pada duit penyewa. Dalam sebulan Jogja Gallery membutuhkan Rp 50 juta untuk biaya operasional. Keadaan makin sulit karena galeri hanya bisa menjual dua-tiga karya sekali pameran dengan nilai Rp 50-100 juta. Sangat berbeda pada saat booming seni rupa pada 2007, yang bisa menjual lima-tujuh lukisan dengan nilai Rp 200-500 juta sekali pameran. Galeri biasanya mendapat bagian 20-30 persen dari penjualan.
Penyebabnya, selain situasi pasar seni rupa memang sedang tiarap, menurut Nunuk, para pemilik Jogja Gallery, yang merupakan pengusaha, termasuk GBPH Hadikusumo, adik Sultan Hamengku Buwono X, dia nilai kurang peduli pada nasib galeri itu. "Saya pikir karena passion-nya enggak ada di situ (dunia seni)," kata Nunuk, yang karena alasan itu pula hengkang.
Lonceng kematian sudah lebih dulu berdentang di Tujuh Bintang Art Space, Jalan Sukonandi 7, Yogyakarta. Galeri ini didirikan pengusaha muda berambut gondrong, Saptoadi Nugroho, pada 2009, setelah boom seni rupa mulai mereda. Pada mulanya galeri ini agresif menyelenggarakan pameran dengan menawarkan karya seniman muda, bahkan yang belum selesai kuliah seni rupa sekalipun.
Seniman dan kurator pun menyambutnya dengan sukacita. Pembukaan pameran selalu dihadiri pengunjung melimpah. Sayangnya, galeri ini hanya bertahan tiga tahun. Kini façade yang ditempelkan di pintu masuk sebagai penanda galeri pun sudah dicopot. "Sudah tidak beroperasi lagi, Mas," ujar seorang pekerja di bangunan lawas itu, Agustus lalu. Pemiliknya, Saptoadi, tak bisa dimintai konfirmasi.
Nasib yang sama menimpa V Art Gallery, yang berjarak sekitar 100 meter dari Museum Affandi di Jalan Adisutjipto, Yogyakarta. Galeri ini didirikan Budi Pranoto, pengusaha otomotif, pada 2006 dan hanya bertahan tiga tahun. "Pemilik memangkas usahanya karena imbas krisis ekonomi," ucap seorang bekas anggota staf galeri yang menolak disebutkan namanya.
Apalagi, kata sumber itu, pemasukan dari penjualan tak seberapa, yakni Rp 100-200 juta. Padahal untuk penyelenggaraan pameran dibutuhkan biaya Rp 50-70 juta. Pameran terakhir galeri ini justru saat merayakan ulang tahun mereka yang ketiga pada 2009.
Nasib lebih baik dialami Tembi Contemporary. Semula mereka menyewa rumah penduduk di Dusun Tembi, Jalan Parangtritis, Yogyakarta. Salah satu pemiliknya, Valentine Willi, lalu meneruskan kegiatan pameran di Sangkring Art Space milik perupa Putu Sutawijaya di kawasan Nitiprayan, Yogyakarta, sejak 2011. "Kami punya slot lima kali pameran dalam setahun di Sangkring," ujar Rismilliana Wijayanti, Manajer Jogja Contemporary.
Menurut dia, galeri tanpa galeri ini lebih efisien. Kerja sama dengan Sangkring dalam bentuk bagi hasil. "Kami bisa menggelar pameran di kota lain," katanya.
Cara yang sama dilakukan Syang Art Space setelah beberapa lama tak terdengar menggelar pameran. Pemilik Syang, Ridwan Muljosudarmo, juga memakai ruang pamer Sangkring Art Space untuk pameran seni rupa, meski mereka punya gedung di Magelang. "Saya akan terus mengakomodasi karya seniman muda yang ingin menunjukkan karyanya," ujar Ridwan.
Dia mendirikan Syang di Magelang dengan pertimbangan dekat dengan Yogyakarta, tempat ribuan seniman memproduksi karya seni rupa. "Seniman muda ini tidak memiliki ruang khusus untuk mengenalkan karyanya," ucap Ridwan.
Meski Yogyakarta menjadi kuburan bagi galeri komersial, Deddy Irianto melebarkan sayap ke Yogyakarta dengan mendirikan Langgeng Art Foundation (LAF) pada 2010 di Jalan Suryodiningratan. "Untuk mewadahi seniman di Yogyakarta yang ingin pameran di ruang pamer dengan standar internasional," katanya.
Sebelumnya, Deddy mendirikan Galeri Langgeng di Magelang. Menurut dia, pendirian LAF bukan karena kegiatan di Galeri Langgeng mandek. "Galeri (Langgeng) masih mengadakan kegiatan meski jumlahnya dikurangi," ujarnya. Deddy saat ini lebih banyak menghabiskan waktu mengurus kegiatan galeri di Singapura dan LAF.
Dia menggunakan duit pribadinya untuk membiayai LAF. "Enggak cukup dari jualan karya," katanya. Deddy meraup keuntungan saat booming seni rupa pada 2007. Dia menjelaskan, galeri hanya bisa bertahan jika pengelolanya punya gairah mengembangkan seni. "Susah kalau pengelola tak punya passion. Pekerjaan ini saya anggap hobi," ucapnya.
Menurut Deddy, sejumlah galeri di Yogyakarta tutup karena pasar seni rupa sulit diprediksi. "Pasar seni rupa di Indonesia tidak sebagus di luar negeri," ujarnya. Bahkan, kata dia, beberapa seniman yang dibesarkan di galeri atau rumah seni di Yogyakarta kini enggan menggelar pameran di kota ini. "Seniman yang beken sekarang latah dan sombong. Mereka lebih suka pameran di luar negeri," ucapnya.
Tapi Butet Kartaredjasa punya pandangan berbeda. Menurut aktor Teater Gandrik ini, tujuan mendirikan galeri seni rupa harus jelas. "Kalau mau dagang, dagang saja. Toh, dalam bisnis karya seni rupa, dagang bukanlah aib," ujarnya. Tapi bila sedari awal galeri bersifat "banci", tak jelas komersial atau sosial, niscaya tak bertahan lama. "Ia menyimpan masalah sejak lahir," kata Butet, yang juga dikenal lihai menjajakan lukisan.
Raihul Fadjri, Pito Agustin Rudiana, Olivia Lewi Pramesti, Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo