Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara gemuruh mengagetkan Sumiati. Warga Desa Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, ini tiba-tiba meronta-ronta. Ketakutan dan kecemasan mencengkeram benak perempuan 71 tahun ini. Tubuhnya gemetar. Tanpa sadar, air pipisnya keluar. Tanpa pikir panjang, ia membawa guling, bantal, seprai, dan barang-barang lain ke luar rumah.
"Ada apa ini? Aku takut, ayo pindah," kata Sumiati, seperti dikisahkan Syafaat, anak Sumiati, ketika ditemui Tempo, Selasa dua pekan lalu. Perilaku Sumiati itu, menurut Syafaat, dipicu oleh semburan setinggi 10 meter yang keluar dari sumur minyak dan gas Tanggulangin-1 (TA-1) milik Lapindo Brantas Inc. Lokasi sumur sekitar 100 meter dari rumah Sumiati. Bukan hanya lumpur, di pucuk semburan terlihat kobaran api.
Gemuruh bak suara mesin pesawat itu berlangsung tiga hari. Pada hari keempat, semburan dapat dijinakkan setelah petugas Lapindo menutup sumur dengan lapisan semen. Saat kejadian, yakni pada 2001, menurut Syafaat, pegawai Lapindo menyatakan semburan serupa itu hal biasa dalam pengeboran sumur migas. Bukannya membuat tenang, penjelasan itu kian membuat warga setempat emosional. "Kami penduduk asli desa ini jelas khawatir kalau terjadi apa-apa," kata Syafaat.
Beres menutup sumur yang mengeluarkan gemuruh, selanjutnya pada 2004 Lapindo mengebor di area yang sama. Kali ini semua berjalan mulus. Eksplorasi mereka berhasil menemukan cadangan gas bumi di Tanggulangin. Eksploitasi migas di kawasan ini akhirnya dilakukan dan berlangsung hingga sekarang.
Semburan kecil di Tanggulangin pada 2001 itu susah disetip dari ingatan Syafaat, yang kehilangan ibunya pada awal tahun ini karena sudah sepuh. Risiko pengeboran sumur migas kian menggelayuti pikirannya saat sumur Banjar Panji-1 di Porong, Sidoarjo, menyemburkan lumpur panas yang tak kunjung berhenti hingga sekarang. Semburan besar yang terjadi sejak akhir Mei 2006 itu kini sudah menggusur 40 ribu warga dan menenggelamkan 12 desa komplet seisi-isinya, seperti bangunan rumah, sekolah, dan perusahaan.
"Saya trauma tragedi lumpur di Porong pada 2006 terjadi di sini," ujar Syafaat, menanggapi rencana Lapindo yang hendak mengebor sumur gas di kawasan Tanggulangin. Menurut Aunul Bari, Vice President Operation Lapindo, ada sekitar tujuh sumur baru yang akan dibor. Jika semua persyaratan beres, kata dia di Jakarta, Rabu dua pekan lalu, "Pengeboran akan dilakukan pada akhir tahun ini atau awal tahun depan." Eksploitasi gas bakal dilakukan di area TA-2 dan TA-1 yang berada di antara Desa Kedung Banteng dan Banjarasri. Jarak sumur-sumur itu dengan pusat semburan di Porong sekitar 3 kilometer.
Agar petaka yang dialami warga di sekitar sumur Banjar Panji-1 tak merecoki hidup Syafaat, ia mengajukan jalan pintas ke Lapindo. Sebelum mengebor, perusahaan itu diminta membeli tanahnya secara tunai, meski Syafaat belum mematok harga karena belum ada rembukan dengan warga Banjarasri yang lain. "Setelah itu, silakan bor lagi," katanya.
Penolakan dan permintaan agar Lapindo membeli tanah juga disampaikan warga Desa Kalidawir dan Kedung Banteng. Menurut Siti Khotijah, warga Kalidawir, permintaan itu disampaikan karena Lapindo tidak bisa menjamin eksploitasi sumur gasnya aman. Ia siap melepas tanahnya bila Lapindo mau membayar Rp 5 juta per meter. "Harus tunai. Memang mahal. Ini kompensasi untuk kami pindah," ujar Siti, Senin dua pekan lalu. Opsi itu dikuatkan Syaiful Bakrie, warga Kalidawir lainnya. "Warga trauma melihat semburan lumpur Lapindo di Porong," katanya.
Agus Santoso, Kepala Seksi Sumber Daya Mineral Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sidoarjo, membenarkan warga Tanggulangin masih menderita trauma akibat tragedi lumpur Lapindo. Saat ini pihaknya menyerahkan keputusan kepada warga. Yang jelas, menurut Agus, Lapindo telah mengantongi rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL) dari Badan Lingkungan Hidup Sidoarjo.
Menurut Agus, pemerintah Sidoarjo prinsipnya setuju dan menyambut positif usaha Lapindo Brantas mengerjakan pengembangan sumur gas untuk mendongkrak produksi. "Kami terus mendorong agar warga mau membuka diri," ujarnya, "Tinggal menunggu sikap warga."
Ihwal semburan lumpur panas Lapindo di Porong, menurut ahli geologi dan Ketua Pusat Studi Kebumian Institut Teknologi Sepuluh Nopember Amien Widodo, semburan terjadi karena ada patahan yang bergeser dalam kerak bumi di dekat sumur bor Banjar Panji-1. Patahan ini memanjang dan menyebar dari Gunung Arjuno ke arah utara-timur sampai ke Selat Madura. Patahan yang bergeser itu melewati Desa Kalidawir dan Kedung Banteng. Karena itu, Amien tak berani menjamin bahwa area sumur TA-1 dan TA-2 masuk kategori aman untuk pengeboran lagi.
Amien menegaskan, radius aman di Blok Brantas untuk hulu migas mencapai tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo di Porong. "Kalau terjadi semburan lagi akan memperburuk keadaan," katanya.
Jika semburan lumpur berulang, ia melanjutkan, dampaknya akan sangat mengerikan, baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Terjadinya pencemaran air tanah, sungai Porong, dan tambak adalah manifestasi buruk dari luapan lumpur Lapindo yang terjadi sejak 2006 tersebut.
Tragedi itu juga masih menyisakan masalah sosial-ekonomi bagi warga yang terkena dampak. Penduduk kehilangan mata pencarian, banyak buruh diberhentikan, dan tak sedikit warga yang stres akibat alotnya proses ganti rugi. Hingga pertengahan Juni lalu, tercatat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) masih mempunyai tanggungan pembayaran ganti rugi terhadap 4.260 berkas korban lumpur Lapindo di luar peta area terkena dampak. "Kita akan melunasi tahun ini semuanya asal syaratnya lengkap," kata Dwinanto Prasetyo, juru bicara BPLS, kala itu.
Kondisi geologi di Desa Kalidawir, Kedung Banteng, dan Banjarasri, Amien melanjutkan, masih berbahaya untuk dibor. "Agar ada kepastian aman, perlu dilakukan penyelidikan geologi bawah permukaan lumpur terlebih dahulu," katanya.
Saat dimintai konfirmasi, Aunul berkukuh dan menyatakan perusahaannya sudah mengecek dampak lingkungan yang bakal terjadi dari pengeboran pengembangan di TA-1 dan TA-2. "Tidak ada masalah," ujarnya.
Aunul berkukuh pengeboran baru tidak akan memberi efek buruk terhadap lingkungan. Sebab, limbah yang muncul pun akan diolah dulu. Lapindo juga tak khawatir tentang kemungkinan munculnya semburan lumpur liar seperti yang terjadi di sumur Banjar Panji-1 di Porong. Dia memastikan segala persyaratan pengeboran sesuai dengan aturan yang berlaku. Walhasil, "Tak ada antisipasi kami terhadap kemungkinan semacam itu," katanya.
Fanny Febiana, Diananta P. Sumedi, Ninis Chairunnisa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo