Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heri Pemad selalu tersenyum tiap kali orang bertanya tentang perolehan Art Jog 2013. Maklum, perolehan bursa seni rupa yang berakhir 20 Juli lalu itu menghasilkan Rp 4,3 miliar dari penjualan puluhan karya yang dipamerkan selama dua pekan. Dari jumlah itu, dipotong Rp 1,8 miliar untuk biaya penyelenggaraan, ia mengantongi keuntungan Rp 2,5 miliar. "Sangat menggembirakan," ujar CEO Heri Pemad Art Management ini Jumat dua pekan lalu.
Penyelenggaraan bursa seni rupa itu tahun ini memang menggembirakan. Pengunjung membeludak dengan jumlah terbanyak, yaitu seribu orang per hari, sejak pembukaan pada 6 Juli—dengan menampilkan komidi putar karya kolaborasi Iwan Effendi dengan Paper Moon Puppet Theatre berjudul Finding Lunang.
Di dalam ruang pamer, petugas sibuk melayani pertanyaan kolektor tentang harga berbagai hasil kreativitas—ada 158 karya dari 118 perupa. Bentuknya beragam, dari lukisan, foto, patung, instalasi, hingga video. Gairah jual-beli bahkan terasa sejak sehari sebelum Art Jog 2013 resmi dibuka. Dua lelaki yang berdiri di depan karya tiga dimensi Yudi Sulistyo bertajuk World Without Sea terlihat serius membicarakannya. Akhirnya, lingkaran merah menghiasi keterangan karya yang tertempel di dinding—masing-masing terjual Rp 400 juta dan Rp 200 juta.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang membuka pameran, memboyong empat lukisan, karya Budi Ubrux, Bunga Jeruk, Vani Hidayatur Rahman, dan Aan Arief. Uang yang dikeluarkannya sekitar Rp 400 juta. "Omzet Art Jog 2013 adalah yang terbesar dibanding tahun-tahun sebelumnya," kata Heri. Tahun lalu hanya Rp 3 miliar.
Larisnya karya pada Art Jog berlawanan dengan lesunya pasar seni rupa di Indonesia saat ini. Bahkan karya video dan instalasi perupa Mella Jaarsma seharga Rp 125 juta dan karya fotografi hasil jepretan Angki Purbandono seharga Rp 35 juta pun lepas ke tangan pembeli. Padahal dua medium seni rupa itu bukan karya populer bagi kolektor.
Keanehan senada sudah muncul dengan beroperasinya tiga galeri baru di Yogyakarta, dan satu galeri di Jakarta memindahkan operasinya ke kota budaya ini. Padahal sejumlah ruang pamer seni tumbang dua tahun belakangan ini. "Ini bukti totalitas hidup mereka (pengelola galeri) di kesenian, yang membuat mereka tetap bersemangat," ujar Heri, yang juga pelukis.
Salah satu galeri baru itu adalah Tirana House di Jalan Suryodiningratan. Galeri yang merupakan bagian dari gerai busana ini dibuka pada 21 April lalu dengan memamerkan karya drawing Robby Dwiantono. "Saya percaya dengan passion. Sekecil apa pun event, kalau dikelola dengan baik, hasilnya pasti bagus," kata Nunuk Ambarwati, Manajer Operasional Tirana.
Nunuk bukan orang baru dalam dunia galeri seni. Dia pernah bekerja di galeri alternatif dan komersial. Kini, di Tirana House, dia memamerkan karya seniman muda dan pemula. "Saya enggak berani nawarin seniman yang senior. Saya tahu diri. Ini cuma butik," ujar Nunuk.
Dia mengutip sepuluh persen untuk karya yang terjual. Memang tak semua karya yang dipamerkan laku. "Ada yang blong nol," kata Nunuk. Toh, Nunuk tak khawatir, karena dia menerapkan subsidi silang dari hasil penjualan baju dan karya seni yang dipamerkan di galeri lain yang dia kelola. "Hasilnya bak buk, bisa menutup biaya operasional," katanya.
Apalagi kini dia telah punya pasar, yaitu pelanggan butik. "Awalnya datang untuk berbelanja baju, selanjutnya mereka datang sekaligus membeli karya seni," ujarnya. Dia pun rajin memberikan penjelasan kepada pelanggannya tentang karya seni rupa, bahkan meski hanya lewat pesan pendek.
Pada Juni lalu, muncul ruang seni baru Independent Art-Space & Management, yang didirikan Devie Triasari dan Tovic Raharja. Meski tergolong belia, keduanya sudah punya jam terbang dalam dunia seni rupa. Devie pernah bekerja di galeri alternatif dan komersial. Kini mereka membuka ruang seni alternatif, tapi juga mengelola kegiatan pameran yang sarat dengan unsur komersial.
Galeri baru tak cuma muncul di kawasan Jalan Suryodiningratan, tapi juga di pedesaan Kabupaten Bantul, tepatnya di Padepokan Bagong Kussudiardja, pada awal Juli lalu. Padepokan yang kini dikelola Yayasan Bagong Kussudiardja itu menyulap lantai dua Gedung Damarwulan menjadi ruang pamer. "Ruang ini biasa digunakan seniman berlatih tari, teater, dan berdiskusi," ujar juru bicara padepokan, Sulistyawati. Pada pameran pertama bertajuk "Pertemuan Pertama" itu, ditampilkan karya Iwan Effendi, Octo Cornelius, Hafez Achda, Erwan Hersisusanto, dan Doni Maulistya.
Menurut ketua yayasan, Butet Kartaredjasa, pendirian galeri ini cita-cita ayahnya (almarhum), yang tak cuma dikenal sebagai koreografer, tapi juga pelukis. Butet mengaku sudah lama terlibat dalam jual-beli lukisan. Tapi, kata dia, galeri ini dioperasikan tanpa niat komersial. Padepokan didirikan Bagong untuk memfasilitasi pertumbuhan seniman. Sejak awal, kegiatannya pun berbasis sosial. "Kalau ada yang beli, itu efeknya," ujarnya. Dia menilai di Yogyakarta masih banyak galeri yang tak komersial.
Yogyakarta tak cuma diramaikan galeri lama, tapi juga yang baru. Ark Galerie, yang didirikan di Jakarta pada 2007, boyongan ke Yogyakarta dengan menggelar pameran pertama karya Ugo Untoro pada 20 Juli lalu. "Lokasi galeri dipindahkan karena Yogyakarta memiliki banyak komunitas seni," kata Direktur Program Ark Galerie Alia Swastika.
Menurut Alia, iklim berkesenian di Yogyakarta lebih hidup. "Di Jakarta, acara seni lebih sepi pengunjung. Pameran juga makin jarang," ujarnya. Di Yogyakarta, galeri milik pengusaha properti Ronald Akili ini menyediakan ruang pamer untuk seniman yang mengeksplorasi karya eksperimental.
Sebaliknya, ruang pamer Srisasanti di kawasan utara Yogyakarta pada 2007 makin jarang menggelar pameran. "Dua tahun belakangan, kami mulai banyak menggelar program pameran di luar Yogyakarta. Kawasan pilihan kami Jakarta dan Singapura," ujar Eddy Prakoso, pengelola Srisasanti Syndicate. Menurut dia, pilihan menggelar pameran di Jakarta dan Singapura itu untuk membuka peluang menjalin relasi dengan banyak jaringan kurator dan beragam jenis kolektor.
Pengusaha Chris Darmawan pada 2001 malah memilih mendirikan galeri di Semarang, kota yang dikenal kering dalam dunia seni rupa. "Mendirikan galeri di kota yang tak dianggap sebagai parameter seni bukankah justru menarik? Anda langsung akan menjadi pusat perhatian," kata Chris. Setelah pecah kongsi dengan koleganya, dia membuka galeri baru di kawasan kota lama dengan nama Semarang Contemporary Art Gallery. "Idealisme saya adalah menghidupkan dunia seni rupa di Semarang yang gersang ini," ujarnya.
Chris mempertahankan galerinya dengan menyelenggarakan pameran yang menurut dia bermutu, termasuk dengan memakai jasa kurator yang sudah kondang di pasar seni rupa, antara lain Hendro Wiyanto, Enin Supriyanto, dan Rifky Effendy. Saat pembukaan pameran, Chris sering menyediakan bus gratis dari Yogyakarta, sehingga pengunjung berlimpah.
Toh, Chris mengaku masih harus berjuang keras agar tidak defisit. Salah satunya, dia mencari dan membentuk komunitas kolektor baru di dalam dan luar negeri. Untuk mempertahankan napas galeri hingga 12 tahun, Chris berusaha menembus pasar luar negeri. Pada Mei lalu, Chris memboyong karya lukis Eddie Hara ke Art Basel Hong Kong dengan kurator Enin Supriyanto. Sebelumnya, pada Januari lalu, Chris memboyong perupa Samsul Arifin ke arena Art Stage Singapore. "Sambil mempromosikan seniman Indonesia yang saya anggap berbakat," katanya.
Raihul Fadjri, Anang Zakaria, Pito Agustin Rudiana, Addi Mawahibun Idhom, Sohirin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo