Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atua BPJS kesehatan saat ini memang belum sempurna. Menurut dia, memang tidak semua penyakit bisa tercover oleh BPJS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"BPJS itu memang enggak mengcover semuanya. Biayanya untuk masing-masing treatment, ada paket-paketnya. Jadi misalnya paket jantung yang dia cover adalah paket pasang ring," kata Budi dalam acara Semangat Awal Tahun 2025 yang diselenggarakan IDN Times di Menara Global, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi menjelaskan bahwa ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh iuran BPJS yang masih tergolong sangat rendah. Saat ini, iuran untuk kelas 3 adalah Rp 42.000 per bulan, dengan rincian Rp35.000 dibayar oleh peserta dan Rp7.000 disubsidi oleh pemerintah. Sementara itu, iuran untuk kelas 2 sebesar Rp100.000 per bulan, dan kelas 1 sebesar Rp150.000 per bulan.
Untuk mengatasi persoalan ini, Budi menjelaskan bahwa pemerintah sedang berupaya memfasilitasi masuknya lebih banyak asuransi swasta ke rumah sakit. Dengan demikian, jika ada pasien yang harus membayar biaya pengobatan hingga ratusan juta dan tidak ditanggung BPJS, biaya tersebut dapat ditanggung oleh asuransi swasta.
Hanya saja, kata Budi memang dengan asuransi swasta itu masyarakat harus membayar lebih besar dibandingkan iuran BPJS. "Sehingga kalau kekurangannya tadi bisa ditutup oleh asuransi swasta, jadi yang sakit tidak usah harus bayar dalam jumlah besar," tutur dia.
Terkait pengakuan Budi tentang ketidaksempurnaan pelayanan BPJS, Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby, mengatakan BPJS Kesehatan sedang berisiko mengalami gagal bayar pada 2026 jika perbaikan tidak segera dilakukan.
Selain mengenai risiko gagal bayar, dia juga menyebut BPJS Kesehatan saat ini sudah menuju ke arah defisit.
“Tandanya BPJS Kesehatan tidak ada daya tahan atau BPJS Kesehatan tidak memiliki daya tahan,” ujar Mahlil setelah agenda penandatangan nota kesepahaman dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Senin, 11 November 2024.
Menurut Mahlil, hal tersebut terjadi karena biaya yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan lebih besar dibandingkan pemasukan yang didapatkan dari pembayaran premi bulanan oleh peserta. “Antara biaya (pengeluaran) dengan premium itu bisa lebih tinggi biaya. Maka aktuaria loss ratio kita sebut adalah menjadi di atas 100 persen,” ujarnya.
Dia menyebut potential loss yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan dikarenakan ada banyak peserta yang tidak aktif membayar premi yang mencapai Rp 20 triliun. Namun, angka itu belum dihitung dengan biaya manfaat yang kemungkinan didapatkan bila para peserta aktif membayar premi. “Potential lossnya sekitar Rp 17-20 triliun. Tetapi kalau (membayar) nantinya biayanya bisa sampai dengan Rp 30 triliun, biaya manfaatnya,” ujarnya.
Ni Made Sukmasari berkontribusi dalam tulisan ini