BUKAN tak mau menyukseskan Tahun Kunjungan Wisata 1991 kalau Gubernur Mario Viegas Carascalao menolak kedatangan sejumlah tamu -- yang diundang secara resmi oleh Ketua DPR/MPR Kharis Suhud -- untuk meninjau Timor Timur. Soalnya, rombongan yang akan datang itu bukan turis biasa, tapi sejumlah anggota Parlemen dari Portugal, negara yang dulu menjajah Timor Timur. Undangan itu sudah disampaikan hampir tiga tahun lalu. Sekalipun belum dipenuhi, sampai kini belum ada penarikan undangan itu. Karena itu, penolakan Carascalao -- yang disampaikan Desember lalu -- mengagetkan banyak pihak. Mengapa Carascalao menolak? Ia menilai kedatangan anggota Parlemen Portugal itu hanya akan merugikan Timor Timur. " Kunjungan ini bisa menyebabkan kami disibukkan oleh demonstrasi pihak yang pro dan kontra," katanya. Tapi maksud undangan Kharis Suhud adalah untuk menjernihkan masalah Timor Timur -- yang sejak 1976 berintegrasi dengan Indonesia -- dengan wakil-wakil rakyat Portugal. Undangan itu pun dilayangkan setelah perwakilan tetap Indonesia dan Portugal di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Sekretaris Jenderal Javier Perez de Cuellar sepakat menangguhkan pembicaraan mengenai Timor Timur sejak 1983. Sejak itu, memang, masalah Timor Timur tidak dicantumkan dalam agenda sidang PBB. Dalam pembicaraan utusan kedua negara di PBB bersama de Cuellar disepakati pula tentang kunjungan anggota Parlemen Portugal ke Timor Timur untuk menyelesaikan masalah bekas koloni Portugal tersebut secara menyeluruh. Atas dasar itu pula, pada 23 Januari 1988, Kharis Suhud mengundang delegasi Parlemen Portugal berkunjung ke Timor Timur. Ternyata undangan itu tak disambut secara antusias oleh wakil-wakil rakyat Portugal. Buktinya, mereka memberikan jawaban setengah tahun kemudian, dan itu pun dengan sejumlah syarat (antara lain, keinginan melakukan investigasi), yang tidak seluruhnya bisa diterima pengundang. Setelah diadakan pembicaraan lagi antara wakil kedua negara dan de Cuellar, masalah itu bisa diselesaikan. Portugal menyetujui anggota Parlemen mereka hanya akan melakukan observasi dari sumber-sumber pertama saja. Tapi, di samping itu, mereka juga mengajukan syarat bahwa anggota Parlemen Portugal tak akan mengunjungi Gedung DPR/MPR. Mereka hanya mau bertemu dengan wakil-wakil rakyat Indonesia saat transit di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, sebelum meneruskan perjalanan ke Timor Timur. Keinginan itu tentu saja ditolak Kharis Suhud. Dengan ditundanya pembicaraan Timor Timur di PBB, Portugal masih memiliki hak prerogatif sebagai administrating power pada wilayah itu. Maka, kalau anggota-anggota Parlemen itu langsung ke Timor Timur, bisa diartikan mereka mengunjungi koloni sendiri. Tapi dengan menjejakkan kaki di Gedung DPR/MPR di Senayan berarti mereka mengakui Timor Timur sebagai wilayah Indonesia. Karena belum ada kepastian dari Portugal tentang kunjungan ke Timor Timur, Carascalao lalu mengeluarkan pendapat. Ketidakpastian itu, katanya, seolah-olah Portugal masih punya peranan di Timor Timur. Menteri Luar Negeri Ali Alatas, sekalipun mengingatkan bahwa masalah Timor Timur di PBB belum tuntas, dapat memahami penolakan Carascalao. Dengan penolakan itu berarti proses dekolonisasi sudah selesai dan tidak ada lagi urusan dengan Portugal. Apalagi Timor Timur kini sudah terbuka untuk dikunjungi. Bahkan delegasi Parlemen Australia, Parlemen Inggris, dan Parlemen Eropa pernah berkunjung ke sana. Meski undangan Indonesia belum dibatalkan, menurut Marzuki Darusman, anggota Komisi I DPR, ada baiknya dicabut dulu sampai Portugal menyatakan ketegasannya. Bila undangan itu dibuka terus bisa mengakibatkan salah pengertian, seolah-olah masalah Timor Timur belum selesai. Diah Purnomowati, Liston P. Siregar, dan Supriyanto Khafid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini