BERTANGGAL 1 Agustus 1978, Keputusan Menteri Agama No 70/1978
(Pedoman Penyiaran Agama) lebih dimaksudkan "untuk menjaga
stabilitas nasional." Oleh karena itu menurut Menteri Agama H.
Alamsyah dalam konsideransnya tak disebut TAP II/MPR/1978
(tentang P4). Sebagai salah satu konsideransnya dicantumkan TAP
IV/MPR/1978 (GBHN) yang lebih menyangkut soal stabilitas
nasional dan di dalamnya sudah meliputi inti TAP Il/MPR/1978.
Dalam SK No. 70/1978 itu antara lain disebutkan bahwa penyiaran
agama tidak dibenarkan untuk: ditujukan terhadap orang dan atau
orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain dilakukan
dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian,
makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang
tertarik untuk memeluk sesuatu agama dilakukan dengan cara-cara
penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya
di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang
beragama lain dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari
rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih
apapun.
SK Menteri Agama no. 77/1978 bertanggal 15 Agustus 1978 (tentang
Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia).
Antara lain disebutkan, bahwa bantuan luar negeri bagi
lembaga-lembaga keagamaan hanya dapat dilaksanakan setelah
mendapat persetujuan/rekomendasi dan melalui Menteri Agama.
Bantuan itu dapat berupa tenaga, materiil dan atau finansiil
yang diberikan pemerintah negara asing, oranisasi dan atau
perseorangan kepada lembaga keagamaan dan atau perseorangan di
Indonesia dengan cara apapun yang bertujuan atau dapat diduga
bertujuan untuk membantu pembinaan, pengembangan dan penyiaran
agama di Indonesia.
Pasal 3 SK no. 77/1978 menyebut antara lain bahwa penggunaan
tenaga asing untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi.
Penggunaan tenaga asin untuk melakukan kegiatan di bidang agama
hanya dapat dibenarkan setelah mendapat izin dari Menteri Agama.
Lembaga-lembaga keagamaan wa)ib mengadakan program pendidikan
dan latihan dengan tujuan agar dalam waktu yang ditentukan
tenaga-tenaga warga negara Indonesia dapat menggantikan tenaga
asing tersebut. Program pendidikan dan latihan itu harus
dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah ditetapkannya
keputusan ini dan selesai selambat-lambatnya 2 tahun setelah
pelaksanaan program pendidikan dan latihan tersebut.
Untuk lebih memperjelas pengertian kedua SK tersebut, TEMPO
telah mengadakan wawancara dengan Menteri Agama, H. Alamsyah
Ratu Perwiranegara.
Mengapa tata-tertib berdakwah/menyebarkan agama harus dituangkan
dalam bentuk ketentuan hukum yang mengikat?
Ketentuan hukum itu dimaksudkan sebagai usaha agar ada rule of
the game dalam penyiaran agama. Ini tak berarti mengurangi
kebebasan. Tanggung jawab kita adalah untuk menciptakan dan
memantapkan kesatuan dan persatuan bangsa, memantapkan
stabilitas dan ketahanan nasional.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan tidak membenarkan penyiaran
agama kepada mereka yang telah beragama, ini sesuai dengan Pasal
29 UUD 1945 tentang agama. Keputusan-keputusan tersebut jika
tidak dipatuhi sehingga menimbulkan terganggunya kerukunan dan
stabilitas dan ketahanan nasional, maka pemerintah (penegak
hukum) dapat mengambil tindakan dengan alasan mengganggu
ketenteraman umum. Dapat juga saya tambahkan bahwa kedua
keputusan itu juga dimaksudkan untuk lebih memantapkan anjuran
Bapak Presiden yang telah berkali-kali beliau ucapkan selama
ini.
Dengan SK no. 77 itu, apakah tidak akan menimbulkan tanggapan
bahwa pemerintah akan melakukan kontrol ketat terhadap bantuan
keagamaan maupun terhadap agama itu sendiri?
Dengan Keputusan itu pemerintah tidak bermaksud menghalangi
adanya bantuan luar negeri, apalagi melakukan kontrol ketat.
Pemerintah bermaksud memberi bimbingan, jangan sampai umat
beragama dituduh melakukan hal-hal tidak tepat dengan bantuan
luar negeri itu. Sampai sekarang tidak satu instansi
pemerintahpun yang mengetahui berapa banyak bantuan yang telah
diterima lembaga-lembaga keagamaan dan untuk apa. Hal serupa ini
hanya terjadi di Indonesia, sebab pemerintah negara-negara lain
sudah sejak lama melakukan penertiban.
Secara prosedur tidak perlu pula dikhawatirkan bahwa keputusan
itu akan menyebabkan terhalangnya bantuan-bantuan itu oleh
hambatan birokratis. Jika bantuan itu jelas dari mana
datangnya, siapa yang menerima, berapa dan untuk apa -- tidak
akan menimbulkan hambatan apa-apa.
Apakah sebelum mengeluarkan kedua SK itu anda telah melakukan
konsultasi dengan lembaga-lembaga keagamaan? Apakah tanggap anda
terhadap reaksi dari MAW dan DGI yang menolak kedua SK itu ?
Sejak awal masa jabatan saya kun jungan dan konsultasi telah
saya lakukan ke dan dengan pusat-pusat kegiatan agama dan
lembaga-lembaga keagamaan. Konsultasi secara khusus tentang
kedua SK ini memang tidak, dengan lembaga keagamaan apapun.
Sebab kedua SK itu adalah kebijaksanaan pemerintah.
Reaksi untuk tidak setuju atau setuju dalam negara demokrasi
bisa saja dan boleh jadi tidak perlu mempengaruhi Keputusan
Menteri yang merupakan kebijaksanaan pemerintah. Saya tak ada
tanggapan apa-apa, karena secara resmi saya belum menerima
reaksi itu.
Tapi saya hanya heran akan adanya reaksi itu, terutama bila kita
benar-benar ingin persatuan dan ingin menegakkan Pancasila
secara jujur dan beriktikad baik. Sebab semua yang tercantum
dalam kedua keputusan itu bukanlah soal baru, tapi telah
berkali-kali diserukan Bapak Presiden melalui beberapa pidato
beliau.
Soal kerukunan beragama misalnya, yang ingin kita tegakkan
bukanlah kerukunan yang semu, yang masih diganjel oleh
kecurigaan. Kedua keputusan itu bertujuan agar kerukunan
beragama yang telah kita rasakan selama in benar-benar dengan
hati ikhlas, jujur dan dengan segala iktikad baik.
Dapatkah anda menyebutkan perbedaan secara jelas antara kegiatan
menyebarkan agama denga karya/pelayanan sosial?
Kalau memang jelas pelayanan sosial tidak menyertakan ajakan
keaga maan baik langsung atau tidak, tida ada alasan untuk
dilarang.
Khusus tentang SK no. 70, apakah keputusan ini tidak
bertentangan dengan sifat semua agama yang misioner?
Sebagai orang yang beragama kita telah sepakat bahwa
masing-masing kita adalah warga negara Indonesia yang berpedoman
Pancasila. Dan kita juga telah sepakat untuk menempatkan
persatuan di tempat yang teratas. Lagi pula kerukunan beragama
yang kita harapkan adalah 1. kerukunan inter umat beragama, 2.
kerukunan anta umat beragama dan 3. kerukunan antara umat
beragama dan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini