Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Menteri Alamsyah Menjawab

Wawancara Tempo dengan Menteri Agama Alamsyah tentang dikeluarkannya SK no.70/1978 & sk no.77/1978 serta tanggapannya terhadap reaksi penolakan kedua SK tersebut dari MAWI dan DGI. (ag)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERTANGGAL 1 Agustus 1978, Keputusan Menteri Agama No 70/1978 (Pedoman Penyiaran Agama) lebih dimaksudkan "untuk menjaga stabilitas nasional." Oleh karena itu menurut Menteri Agama H. Alamsyah dalam konsideransnya tak disebut TAP II/MPR/1978 (tentang P4). Sebagai salah satu konsideransnya dicantumkan TAP IV/MPR/1978 (GBHN) yang lebih menyangkut soal stabilitas nasional dan di dalamnya sudah meliputi inti TAP Il/MPR/1978. Dalam SK No. 70/1978 itu antara lain disebutkan bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk: ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk sesuatu agama dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun. SK Menteri Agama no. 77/1978 bertanggal 15 Agustus 1978 (tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia). Antara lain disebutkan, bahwa bantuan luar negeri bagi lembaga-lembaga keagamaan hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan/rekomendasi dan melalui Menteri Agama. Bantuan itu dapat berupa tenaga, materiil dan atau finansiil yang diberikan pemerintah negara asing, oranisasi dan atau perseorangan kepada lembaga keagamaan dan atau perseorangan di Indonesia dengan cara apapun yang bertujuan atau dapat diduga bertujuan untuk membantu pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia. Pasal 3 SK no. 77/1978 menyebut antara lain bahwa penggunaan tenaga asing untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi. Penggunaan tenaga asin untuk melakukan kegiatan di bidang agama hanya dapat dibenarkan setelah mendapat izin dari Menteri Agama. Lembaga-lembaga keagamaan wa)ib mengadakan program pendidikan dan latihan dengan tujuan agar dalam waktu yang ditentukan tenaga-tenaga warga negara Indonesia dapat menggantikan tenaga asing tersebut. Program pendidikan dan latihan itu harus dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah ditetapkannya keputusan ini dan selesai selambat-lambatnya 2 tahun setelah pelaksanaan program pendidikan dan latihan tersebut. Untuk lebih memperjelas pengertian kedua SK tersebut, TEMPO telah mengadakan wawancara dengan Menteri Agama, H. Alamsyah Ratu Perwiranegara. Mengapa tata-tertib berdakwah/menyebarkan agama harus dituangkan dalam bentuk ketentuan hukum yang mengikat? Ketentuan hukum itu dimaksudkan sebagai usaha agar ada rule of the game dalam penyiaran agama. Ini tak berarti mengurangi kebebasan. Tanggung jawab kita adalah untuk menciptakan dan memantapkan kesatuan dan persatuan bangsa, memantapkan stabilitas dan ketahanan nasional. Pemerintah mengambil kebijaksanaan tidak membenarkan penyiaran agama kepada mereka yang telah beragama, ini sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang agama. Keputusan-keputusan tersebut jika tidak dipatuhi sehingga menimbulkan terganggunya kerukunan dan stabilitas dan ketahanan nasional, maka pemerintah (penegak hukum) dapat mengambil tindakan dengan alasan mengganggu ketenteraman umum. Dapat juga saya tambahkan bahwa kedua keputusan itu juga dimaksudkan untuk lebih memantapkan anjuran Bapak Presiden yang telah berkali-kali beliau ucapkan selama ini. Dengan SK no. 77 itu, apakah tidak akan menimbulkan tanggapan bahwa pemerintah akan melakukan kontrol ketat terhadap bantuan keagamaan maupun terhadap agama itu sendiri? Dengan Keputusan itu pemerintah tidak bermaksud menghalangi adanya bantuan luar negeri, apalagi melakukan kontrol ketat. Pemerintah bermaksud memberi bimbingan, jangan sampai umat beragama dituduh melakukan hal-hal tidak tepat dengan bantuan luar negeri itu. Sampai sekarang tidak satu instansi pemerintahpun yang mengetahui berapa banyak bantuan yang telah diterima lembaga-lembaga keagamaan dan untuk apa. Hal serupa ini hanya terjadi di Indonesia, sebab pemerintah negara-negara lain sudah sejak lama melakukan penertiban. Secara prosedur tidak perlu pula dikhawatirkan bahwa keputusan itu akan menyebabkan terhalangnya bantuan-bantuan itu oleh hambatan birokratis. Jika bantuan itu jelas dari mana datangnya, siapa yang menerima, berapa dan untuk apa -- tidak akan menimbulkan hambatan apa-apa. Apakah sebelum mengeluarkan kedua SK itu anda telah melakukan konsultasi dengan lembaga-lembaga keagamaan? Apakah tanggap anda terhadap reaksi dari MAW dan DGI yang menolak kedua SK itu ? Sejak awal masa jabatan saya kun jungan dan konsultasi telah saya lakukan ke dan dengan pusat-pusat kegiatan agama dan lembaga-lembaga keagamaan. Konsultasi secara khusus tentang kedua SK ini memang tidak, dengan lembaga keagamaan apapun. Sebab kedua SK itu adalah kebijaksanaan pemerintah. Reaksi untuk tidak setuju atau setuju dalam negara demokrasi bisa saja dan boleh jadi tidak perlu mempengaruhi Keputusan Menteri yang merupakan kebijaksanaan pemerintah. Saya tak ada tanggapan apa-apa, karena secara resmi saya belum menerima reaksi itu. Tapi saya hanya heran akan adanya reaksi itu, terutama bila kita benar-benar ingin persatuan dan ingin menegakkan Pancasila secara jujur dan beriktikad baik. Sebab semua yang tercantum dalam kedua keputusan itu bukanlah soal baru, tapi telah berkali-kali diserukan Bapak Presiden melalui beberapa pidato beliau. Soal kerukunan beragama misalnya, yang ingin kita tegakkan bukanlah kerukunan yang semu, yang masih diganjel oleh kecurigaan. Kedua keputusan itu bertujuan agar kerukunan beragama yang telah kita rasakan selama in benar-benar dengan hati ikhlas, jujur dan dengan segala iktikad baik. Dapatkah anda menyebutkan perbedaan secara jelas antara kegiatan menyebarkan agama denga karya/pelayanan sosial? Kalau memang jelas pelayanan sosial tidak menyertakan ajakan keaga maan baik langsung atau tidak, tida ada alasan untuk dilarang. Khusus tentang SK no. 70, apakah keputusan ini tidak bertentangan dengan sifat semua agama yang misioner? Sebagai orang yang beragama kita telah sepakat bahwa masing-masing kita adalah warga negara Indonesia yang berpedoman Pancasila. Dan kita juga telah sepakat untuk menempatkan persatuan di tempat yang teratas. Lagi pula kerukunan beragama yang kita harapkan adalah 1. kerukunan inter umat beragama, 2. kerukunan anta umat beragama dan 3. kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus