Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebelum Dan Sesudah Kedua Surat ...

Menteri Agama Alamsyah mengeluarkan surat keputusan no.70/1978 dan no.77/1978 tentang pedoman penyiaran agama & tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.(ag)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSYAWARAH Antar Agama di bulan Nopember 1967 tak dapat dikatakan gagal secara keseluruhan. Saling curiga antara golongan beragama memang tidak dengan sendirinya lenyap. Tapi masingmasing golongan mulai mencoba bersikap saling menahan diri. Itulah barangkali hasil paling penting musyawarah itu. Betapapun, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mencoba memberi pegangan bagi masing-masing pihak-melalui keputusan bersama dua tahun kemudian, di bulan September 1969. Keputusan ini memberi petunjuk kepada aparatur pemerintahan di daerah untuk menghindari ketegangan yang mungkin timbul. Sesudah itu Menteri Agama Mukti Ali berusaha menciptakan iklim lebih dingin. Malahan tak lama setelah Menteri menghadiri pertemuan antar pimpinan umat beragama sedunia di Libanon (1973), kerukunan hidup beragama dijadikan proyek khusus-berisi seminar, latihan, atau bersama-sama mengkaji beberapa kasus. Sampai 1977 tak kurang dari 23 kali acara serupa itu dilangsungkan di 21 kota. Tak kurang penting adalah wibawa Presiden Soeharto sendiri, yang acapkali menekankan masalah pentingnya kerukunan beragama. Dan semuanya itu kemudian dikukuhkan melalui beberapa ketetapan MPR.seperti TAP II/MPR/1978 dan GBHN. Tak dapat disangkal lagi, kerukunan beragama telah terlihat, bahkan sampai ke beberapa pelosok tanahair. Setidak-tidaknya sikap menahan diri untuk tidak menyinggung golongan beragama lain. Namun sulit disangkal bahwa cara-cara dakwah yang menyolok maupun yang dianggap "terselubung", atau reaksi yang mengambil alasan adanya bentuk-bentuk da'wah tersebut, menjadikan iklin kerukunan tidak urung masih juga terasa agak semu. Lebih-lebih karena tak ada satu ketentuan yang pasti untuk mengatur apakah jika satu golongan melakukan sesuatu tindakan, tak hanya boleh diteriaki golongan lain tapi juga dapat diproses melalui saluran hukum. Dalam suasana seperti itu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 70/1978 dan No.77/1978, masing-masing tentang Pedoman Penyiaran Agama dan tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Dan reaksi pun terdengar. Namun Menteri Agama kelihatan mantap Menurut dia, reaksi itu biasa-meskipun, "saya ingin mengingatkan bahwa untuk kemerdekaan dan persaruan bangsa kita, umat Islam sebenarnya telah memberi pengorbanan amat besar," katanya. Dan yang dimaksudnya adalah kesediaan mereka menerima Pancasila sebagai dasar negara, dan "tidak memaksa agar negara ini berdasarkan Islam" (lihat juga box). Alamsyah juga menyebut pernyataan bersama Konferensi Meja Bundar Dakwah Islam dan Misi Kristen di Jenewa, Juni 1976 --diselenggarakan oleh Dewan Gereja Sedunia (WCC) bekerja sama dengan Islamic Foundation (London). Dengan maksud menghilangkan sikap saling curiga dalam penyebaran agama, konferensi menganjurkan "supaya sedapat mungkin segala bantuan materiil yang diberikan untuk gereja-gereja dan organisasi-organisasi agama di luar negeri, mulai sekarang dibagi-bagikan melalui saluran pemerintah atau bekerjasama dengan pemerintah negara di mana bantuan itu diperuntukkan dengan mengindahkan kehormatan dan kepribadian bangsa yang bersangkutan." Konferensi juga menyatakan keprihatinan bahwa sikap umat Islam terhadap misi Kristen telah banyak dipengaruhi oleh penyalahgunaan diakonia (pengabdian masyarakat), dan bahkan menganjurkan dengan keras agar gereja-gereja dan organisasi Kristen untuk sementara menghentikan aktifitas pengabdian masyarakat (diakonia) di dunia Islam. Tindakan ini, kata pernyataan tadi, perlu untuk membersihkan suasana hubungan Islam-Kristen dan mengarah kannya ke pengakuan timbal baiik serta kerjasama yang layak. Adapun pihak Islam tampaknya melihat banyak manfaat yang akan dibuahkan kedua keputusan Menteri itu. "Sebab," kata Ketua Majlis Ulama Indonesia, Prof. Dr. Hamka, "kalau tetap dibiarkan tanpa peraturan soal dakwah, terang akan membahayakan." Tanpa keputusan itu, "saya khawatir umat Islam nanti dituduh membuat Komando Jihad lagi. Dan SK No. 70 itu insyaallah akan mencegah radikalisasi umat," kata Hamka. Hamka sendiri menuturkan, ratusan orang telah datang ke rumahnya untuk diislamkan -- atas kemauan sendiri. Itulah yang dilihatnya sebagai contoh perpindahan agama yang sehat. Adapun cara penyebaran agama yang dilakukan "dengan kasar", misalnya mendatangi rumah-rumah, akan menimbulkan akibat fatal. Misalnya, katanya, si penyebar agama sampai dibunuh oleh yang didatangi. "Sebab bagi orang Islam yang fanatik, si penyebar itu boleh dibunuh. Dan kalau pun si pembunuh dihukum mati, ia menganggap mati sahid . . . " Bagi Ridwan Saidi, anggota DPR-RI dari Fraksi PPP dan bekas Ketua Umum HMI, meskipun menyetujui kedua SK itu "tapi sebaiknya mulai sekarang Menteri Agama menginventarisir soal-soal yang akan timbul." Sejalan dengan itu Ridwan juga mengusulkan dibentuk semacam Dewan Kehormatan yang sebaiknya diketuai Menteri Agama sendiri dengan wakil-wakil golongan agama di dalamnya. Dewan ini kelak menentukan kode etik penyebaran agama, atau misalnya membedakan antara promosi agama dengan "promosi barang dagangan." Ridwan juga minta agar misi kemanusiaan jangan dikacaukan dengan misi keagamaan. Tentang bantuan luar negeri bagi lembaga agama7 tokoh muda ini melihatnya dalam kaitannya dengan aktifitasnya yang riil, alias "lewat pendekatan fungsionil". Misalnya ada bantuan Novib (badan swasta di Negeri elanda yang banyak membantu lembaga-lembaga keagamaan) kepada Pesantren Pertanian Darul alah untuk kegiatan pertanian. Itu sebaiknya dikordinir Departemen Pertanian. Jika untuk rumah sakit, dikordinir oleh Departemen Kesehatan. Jika sifatnya memang untuk keagamaan, oleh Departemen Agama. Dan seterusnya. Nuddin Lubis, anggota DPR-RI dari Fraksi PPP, melihat pengawasan bantuan luar negeri bagi lembaga keagamaan itu sebagai hal yang wajar. Yang menarik adalah komentarnya "SK No. 77 menurut saya lebih menitik-beratkan kontrol yang akan dilakukan terhadap bantuan yang berasal dari Arab Saudi kepada lembaga pendidikan Islam," katanya. Tapi itu Bagi Nuddin, wajar. Demikian juga bagi kalangan Muhammadiyah. "Kalau semuanya berkemauan baik, apa pula yang harus ditakutkan pada adanya pengawasan pemerintah?", tanya H. Sudarsono Prodjokusumo dari Pimpinan Pusat. Prodjo juga menuturkan bantuan-bantuan yang telah diterima organisasi itu dari pemerintah Jepang dan Novib. "Semuanya melalui Departemen P&K." Namun, tambah Prodjo, sebenarnya Muhammadiyah "tidak selalu mengandalkan bantuan asing." Ia membanggakan bahwa kegiatan keagamaan, sosial dan pendidikan Muhammadiyah selama ini telah melibatkan tak kurang dari 100.000 tenaga kerja -- yang keseluruhannya dibiayai para anggota organisasi itu. Jadi, kata Prodjo pula, kalau seorang karyawan Muhammadiyah dari jumlah di atas itu (baik dokter, guru, muballigh dan sebagainya) setiap bulan mendapat penghasilan Rp 10.000 saja, silakan hitung berapa besar bantuan para anggota kepada organisasi ini. Sedang bantuan dari pemerintah lebih banyak berupa fasilitas, seperti pemberian guru-guru negeri untuk sekolah-sekolah mereka. Tentang kekhawatiran bahwa SK no. 77/1978 dari Menteri Agama itu akan menghambat kelancaran penyaluran bantuan, dijawab oleh Hamka "Kalau kita tidak mendukung kontrol yang akan dilakukan pemerintah, kita, mau percaya kepada instansi apa lagi?". Korupsi memang ada. "Tetapi saya percaya," tutur Hamka, "bagaimanapun jeleknya korupsi tentu masih bisa ditanggulangi, ditekan, dikontrol. Jika bantuan itu nyusup sana nyusup sini tanpa ketahuan asal-usul dan gunanya, ini yang sulit dikontrol." Tak heran bila Majlis Ulama Indonesia dalam pernyataannya 9 September lalu merupakan organisasi pertama yang menyatakan dukungan terhadap kedua keputusan tadi. Seminggu kemudian dukungan serupa disampaikan oleh para pemeluk Hindu dan Budha melalui Perwalian Umat Budha Indonesia, Majlis Agung Agama Budha dan Gabungan Ummat Budha Indonesia (GUBSI) serta Parisada Hindu Dharma Pusat. Kemudian Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengingstruksikan kepada seluruh aparat pemerintahan di pusat maupun daerah agar membantu pelaksanaan kedua keputusan tadi. Dan sehari setelah pernyataan Menteri Dalam Negeri, 14 September 1978, Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) bersama Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) mengirim surat kepada Presiden Soeharto, yakni surat yang kedua setelah sebelumnya (24 Agustus) dikirimkan juga surat kepada Kepala Negara. Dalam siaran pers DGI dan MAWI 14 September, disebutkan penolakan kedua organisasi itu terhadap kedua Keputusan Menteri Agama tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus