MUSYAWARAH Antar Agama di bulan Nopember 1967 tak dapat
dikatakan gagal secara keseluruhan. Saling curiga antara
golongan beragama memang tidak dengan sendirinya lenyap. Tapi
masingmasing golongan mulai mencoba bersikap saling menahan
diri. Itulah barangkali hasil paling penting musyawarah itu.
Betapapun, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mencoba
memberi pegangan bagi masing-masing pihak-melalui keputusan
bersama dua tahun kemudian, di bulan September 1969. Keputusan
ini memberi petunjuk kepada aparatur pemerintahan di daerah
untuk menghindari ketegangan yang mungkin timbul.
Sesudah itu Menteri Agama Mukti Ali berusaha menciptakan iklim
lebih dingin. Malahan tak lama setelah Menteri menghadiri
pertemuan antar pimpinan umat beragama sedunia di Libanon
(1973), kerukunan hidup beragama dijadikan proyek khusus-berisi
seminar, latihan, atau bersama-sama mengkaji beberapa kasus.
Sampai 1977 tak kurang dari 23 kali acara serupa itu
dilangsungkan di 21 kota.
Tak kurang penting adalah wibawa Presiden Soeharto sendiri, yang
acapkali menekankan masalah pentingnya kerukunan beragama. Dan
semuanya itu kemudian dikukuhkan melalui beberapa ketetapan
MPR.seperti TAP II/MPR/1978 dan GBHN.
Tak dapat disangkal lagi, kerukunan beragama telah terlihat,
bahkan sampai ke beberapa pelosok tanahair. Setidak-tidaknya
sikap menahan diri untuk tidak menyinggung golongan beragama
lain. Namun sulit disangkal bahwa cara-cara dakwah yang menyolok
maupun yang dianggap "terselubung", atau reaksi yang mengambil
alasan adanya bentuk-bentuk da'wah tersebut, menjadikan iklin
kerukunan tidak urung masih juga terasa agak semu. Lebih-lebih
karena tak ada satu ketentuan yang pasti untuk mengatur apakah
jika satu golongan melakukan sesuatu tindakan, tak hanya boleh
diteriaki golongan lain tapi juga dapat diproses melalui saluran
hukum.
Dalam suasana seperti itu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama
No. 70/1978 dan No.77/1978, masing-masing tentang Pedoman
Penyiaran Agama dan tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga
Keagamaan di Indonesia. Dan reaksi pun terdengar.
Namun Menteri Agama kelihatan mantap Menurut dia, reaksi itu
biasa-meskipun, "saya ingin mengingatkan bahwa untuk kemerdekaan
dan persaruan bangsa kita, umat Islam sebenarnya telah memberi
pengorbanan amat besar," katanya. Dan yang dimaksudnya adalah
kesediaan mereka menerima Pancasila sebagai dasar negara, dan
"tidak memaksa agar negara ini berdasarkan Islam" (lihat juga
box).
Alamsyah juga menyebut pernyataan bersama Konferensi Meja Bundar
Dakwah Islam dan Misi Kristen di Jenewa, Juni 1976
--diselenggarakan oleh Dewan Gereja Sedunia (WCC) bekerja sama
dengan Islamic Foundation (London). Dengan maksud menghilangkan
sikap saling curiga dalam penyebaran agama, konferensi
menganjurkan "supaya sedapat mungkin segala bantuan materiil
yang diberikan untuk gereja-gereja dan organisasi-organisasi
agama di luar negeri, mulai sekarang dibagi-bagikan melalui
saluran pemerintah atau bekerjasama dengan pemerintah negara di
mana bantuan itu diperuntukkan dengan mengindahkan kehormatan
dan kepribadian bangsa yang bersangkutan."
Konferensi juga menyatakan keprihatinan bahwa sikap umat Islam
terhadap misi Kristen telah banyak dipengaruhi oleh
penyalahgunaan diakonia (pengabdian masyarakat), dan bahkan
menganjurkan dengan keras agar gereja-gereja dan organisasi
Kristen untuk sementara menghentikan aktifitas pengabdian
masyarakat (diakonia) di dunia Islam. Tindakan ini, kata
pernyataan tadi, perlu untuk membersihkan suasana hubungan
Islam-Kristen dan mengarah kannya ke pengakuan timbal baiik
serta kerjasama yang layak.
Adapun pihak Islam tampaknya melihat banyak manfaat yang akan
dibuahkan kedua keputusan Menteri itu. "Sebab," kata Ketua
Majlis Ulama Indonesia, Prof. Dr. Hamka, "kalau tetap dibiarkan
tanpa peraturan soal dakwah, terang akan membahayakan." Tanpa
keputusan itu, "saya khawatir umat Islam nanti dituduh membuat
Komando Jihad lagi. Dan SK No. 70 itu insyaallah akan mencegah
radikalisasi umat," kata Hamka.
Hamka sendiri menuturkan, ratusan orang telah datang ke rumahnya
untuk diislamkan -- atas kemauan sendiri. Itulah yang dilihatnya
sebagai contoh perpindahan agama yang sehat. Adapun cara
penyebaran agama yang dilakukan "dengan kasar", misalnya
mendatangi rumah-rumah, akan menimbulkan akibat fatal.
Misalnya, katanya, si penyebar agama sampai dibunuh oleh yang
didatangi. "Sebab bagi orang Islam yang fanatik, si penyebar itu
boleh dibunuh. Dan kalau pun si pembunuh dihukum mati, ia
menganggap mati sahid . . . "
Bagi Ridwan Saidi, anggota DPR-RI dari Fraksi PPP dan bekas
Ketua Umum HMI, meskipun menyetujui kedua SK itu "tapi sebaiknya
mulai sekarang Menteri Agama menginventarisir soal-soal yang
akan timbul." Sejalan dengan itu Ridwan juga mengusulkan
dibentuk semacam Dewan Kehormatan yang sebaiknya diketuai
Menteri Agama sendiri dengan wakil-wakil golongan agama di
dalamnya. Dewan ini kelak menentukan kode etik penyebaran agama,
atau misalnya membedakan antara promosi agama dengan "promosi
barang dagangan."
Ridwan juga minta agar misi kemanusiaan jangan dikacaukan dengan
misi keagamaan. Tentang bantuan luar negeri bagi lembaga agama7
tokoh muda ini melihatnya dalam kaitannya dengan aktifitasnya
yang riil, alias "lewat pendekatan fungsionil". Misalnya ada
bantuan Novib (badan swasta di Negeri elanda yang banyak
membantu lembaga-lembaga keagamaan) kepada Pesantren Pertanian
Darul alah untuk kegiatan pertanian. Itu sebaiknya dikordinir
Departemen Pertanian. Jika untuk rumah sakit, dikordinir oleh
Departemen Kesehatan. Jika sifatnya memang untuk keagamaan, oleh
Departemen Agama. Dan seterusnya.
Nuddin Lubis, anggota DPR-RI dari Fraksi PPP, melihat pengawasan
bantuan luar negeri bagi lembaga keagamaan itu sebagai hal yang
wajar. Yang menarik adalah komentarnya "SK No. 77 menurut saya
lebih menitik-beratkan kontrol yang akan dilakukan terhadap
bantuan yang berasal dari Arab Saudi kepada lembaga pendidikan
Islam," katanya. Tapi itu Bagi Nuddin, wajar.
Demikian juga bagi kalangan Muhammadiyah. "Kalau semuanya
berkemauan baik, apa pula yang harus ditakutkan pada adanya
pengawasan pemerintah?", tanya H. Sudarsono Prodjokusumo dari
Pimpinan Pusat. Prodjo juga menuturkan bantuan-bantuan yang
telah diterima organisasi itu dari pemerintah Jepang dan Novib.
"Semuanya melalui Departemen P&K."
Namun, tambah Prodjo, sebenarnya Muhammadiyah "tidak selalu
mengandalkan bantuan asing." Ia membanggakan bahwa kegiatan
keagamaan, sosial dan pendidikan Muhammadiyah selama ini telah
melibatkan tak kurang dari 100.000 tenaga kerja -- yang
keseluruhannya dibiayai para anggota organisasi itu. Jadi, kata
Prodjo pula, kalau seorang karyawan Muhammadiyah dari jumlah di
atas itu (baik dokter, guru, muballigh dan sebagainya) setiap
bulan mendapat penghasilan Rp 10.000 saja, silakan hitung berapa
besar bantuan para anggota kepada organisasi ini. Sedang bantuan
dari pemerintah lebih banyak berupa fasilitas, seperti pemberian
guru-guru negeri untuk sekolah-sekolah mereka.
Tentang kekhawatiran bahwa SK no. 77/1978 dari Menteri Agama itu
akan menghambat kelancaran penyaluran bantuan, dijawab oleh
Hamka "Kalau kita tidak mendukung kontrol yang akan dilakukan
pemerintah, kita, mau percaya kepada instansi apa lagi?".
Korupsi memang ada. "Tetapi saya percaya," tutur Hamka,
"bagaimanapun jeleknya korupsi tentu masih bisa ditanggulangi,
ditekan, dikontrol. Jika bantuan itu nyusup sana nyusup sini
tanpa ketahuan asal-usul dan gunanya, ini yang sulit dikontrol."
Tak heran bila Majlis Ulama Indonesia dalam pernyataannya 9
September lalu merupakan organisasi pertama yang menyatakan
dukungan terhadap kedua keputusan tadi. Seminggu kemudian
dukungan serupa disampaikan oleh para pemeluk Hindu dan Budha
melalui Perwalian Umat Budha Indonesia, Majlis Agung Agama Budha
dan Gabungan Ummat Budha Indonesia (GUBSI) serta Parisada Hindu
Dharma Pusat. Kemudian Menteri Dalam Negeri Amirmachmud
mengingstruksikan kepada seluruh aparat pemerintahan di pusat
maupun daerah agar membantu pelaksanaan kedua keputusan tadi.
Dan sehari setelah pernyataan Menteri Dalam Negeri, 14 September
1978, Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) bersama Majelis
Agung Waligereja Indonesia (MAWI) mengirim surat kepada Presiden
Soeharto, yakni surat yang kedua setelah sebelumnya (24 Agustus)
dikirimkan juga surat kepada Kepala Negara. Dalam siaran pers
DGI dan MAWI 14 September, disebutkan penolakan kedua organisasi
itu terhadap kedua Keputusan Menteri Agama tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini