Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mengapa Mereka Resah?

Surat bersama dewan gereja-gereja Indonesia (DGI) dan majelis agung wali Gereja, MAWI yang ditujukan kepada presiden Soeharto berisi penolakan terhadap SK Menteri Agama no.70/1978 dan SK no.77/1978. (ag)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARDINAL Darmoyuwono, Ketua Presidium MAWI, akhir pekan lalu khusus terbang ke Jakarta untuk menandatangani surat bersama MAWI (Katolik) dan DGI (Kristen-Protestan) ke alamat Presiden Suharto. Habis itu, dia langsung terbang kembali ke tengah-tengah umatnya di Keuskupan Agung Semarang. Surat bersama MAWI-DGI tertanggal 14 September 1978 itu sudah merupakan surat kedua yang dikirim kedua dewan pimpinan Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Protestan se-Indonesia ke Kepala Negara. Surat mereka sebelumnya -- yang hingga kini belum mendapat balasan -- dikirimkan sehari sesudah Kantor Waligereja Indonesia dan kantor DGI menerima SK Menteri Agama No. 70/1978. Kedua pucuk surat MAWI-DGI itu secara eksplisit menolak kedua SK Menteri Agama yang keluar dalam waktu dua minggu berturut-turut. Mereka mohon Kepala Negara sendiri mencabutnya. Alasan pokok, seperti yang disebutkan dalam siaran pers MAWI-DG I 15 September lalu adalah, "kedua surat keputusan tersebut tak sesuai dengan kebebasan agama yang dijamin oleh UUD 1945 dan dipertegas oleh Ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1978." "Tap MPR No. II tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), malah sama sekali tak disebut-sebut dalam konsideran kedua SK itu," kata Sekretaris MAWI Dr Leo Soekoto SJ kepada TEMPO. Sebaliknya, dalam konsideran kedua SK itu ada disebut "petunjuk Presiden" tanggal 14 dan 24 Mei 1978. Leo Sukoto merasa konsideran SK itu kurang kokoh, karena didasarkan "pada suatu petunjuk lisan saja." Sementara P4, yang justru mengatur soal kebebasan beragama, kata Sukoto, sama sekali tak disebut-sebut. Antara lain karena itulah surat MAWI dan DGI itu dialamatkan langsung kepada Presiden, selaku Mandataris MPR, yang "bertugas mengamankan semua keputusan MPR." Bagi Dr Tahi Bonar Simatupang, salah satu Ketua Badan Pekerja Harian (BPH)-DII, konsideran petunjuk lisan itu, "sudah bukan amannya lagi." Kata Simatupang, " sekarang kan bukan tahun 1967 lagi, tapi tahun 1978, dan sidang MPR-RI tahun ini sudah memutuskan P4 itu. Tadi, P4-lah yang harus jadi pegangan. Bukan lagi Musyawarah Antar Agama tahun 1967." Di balik semua itu, ada alasan yang lebih prinsipiil. Seperti kata Leo Soekoto kepada TEMPO, pihaknya sebenarnya bisa menerima ayat-ayat SK Menteri Agama No. 70 yang tak membenarkan pembujukan agama melalui pemberian barang-barang, bahan-bahan cetakan, dan kampanye dari rumah ke rumah. "Ayat-ayat itu," kata sang Sekretaris MAWI, "lebih ditujukan kepada sekte-sekte yang melakukan pengabaran injil dengan cara-cara yang tak sopan." MAWI sendiri dalam sidangnya tiga tahun lalu "tak membenarkan kegiatan sekte-sekte, yang dianggap umum sebagai wakil agama Kristen, yang melakukan tindakan-tindakan provokatif melalui kunjungan dari rumah ke rumah serta cara-cara lain yang kurang serasi dengan keadaan lngkungan." Kegiatan itu menurut hemat MAWI, "sangat mengeruhkan suasana kerukunan hidup antara umat yang beragama." Namun dengan adanya pasal II ayat a SK No. 70, "masalahnya jadi lain lagi," kata Sukoto. "Dengan diktum 1 yang sifatnya umum itu, secara implisit berarti tak ada lagi kebebasan beragama. Termasuk hak untuk pindah agama," kata sang waligereja. Di samping itu, "kami takutkan bila para petugas pemerintah di daerah dengan bebas memberikan interpretasi sendiri-sendiri terhadap ayat 11 b, yakni pembujukan agama melalui pemberian uang, pakaian, makanan dan minuman, obat-obatan dan lain-lain." Padahal, menurut keyakinan Kristen, "karya sosial merupakan perwujudan ke luar daripada penghayatan iman," kata Leo Soekoto. Sebab penghayatan iman Kristen itu, "tak boleh bersifat intern saja, tapi harus dibuktikan ke luar." Hampir senada adalah komentar Sabam Sirait, anggota - DPR RI dari fraksi Demokrasi Indonesia kepada TEMPO. Katanya dengan penuh semangat "Ayat II b, c, dan SK No. 70 itu pemerintah boleh ambil. Kalau perlu, dengan SK no 7 itu sekaligus. Tapi soal ayat II a SK No. 70, kita tidak bisa mundur. Sebab ini soal prinsipiil." Walaupun begitu, Sabam sudah membayangkan berbagai kesulitan menafsirkan pengamanan terhadap larangan II b, c, dan d dalam praktek. Misalnya, katanya, " apakah tolong-menolong antara anggota keluarga yang berbeda agama tak dapat ditafsirkan sebagai pembujukan agama? Apakah Kitab Suci di hotelhotel harus dilarang? Atau Al-Qur'an yang kini dapat juga ditemui dalam sementara hotel di Medan? Apakah sekolah dan rumah sakit dari satu golongan agama tak boleh melayani pasien yang beragama lain? Bagaimana dengan renungan, khotbah dan ekspresi kesenian religius di media komunikasi massa, termasuk TV-RI yang ditonton berbagai golongan agama masih dapat dibenarkan ? " Ada tambahan dari T.B. Simatupang. Kedua SK itu, menurut dia, dibuat atas pra-anggapan politis yang sudah keliru. Yakni adanya propinsi-propinsi atau kantong-kantong agama yang harus dipertahankan secara mutlak. "Prinsip adanya propinsi atau kantong bagi masing-masing agama itu kan warisan politik kolonial Belanda, agar mereka mudah memecah-belah dan memerintah rakyat Indonesia," kata Ketua BPHDGI itu. "Dengan diproklamirkannya Negara Kesatuan lepublik Indonesia, tiap jengkal tanah Indonesia adalah milik kita semua. Tak bisa lagi dikatakan: ini mutlak daerah Islam, atau itu mutlak daerah Kristen," kata Simatupang. Berdasarkan realitas sosiologis pun, menurut Simatupang, "kantong-kantong satu agama tak dapat lagi dipertahankan, terutama lantaran mobilitas penduduk." Sebagai contohnya, dia sebutkan Irian Jaya. "Dulu tak ada Islam di Irian Jaya. Tapi setelah Irian masuk wilayah RI, orang Islam kan bebas masuk ke sana, bermukim dan menikmati kebebasan agama sama seperti orang Kristen." Larangan berpindah agama yang tersirat dalam SK No. 70 maupun kontrol Menteri Agama terhadap bantuan asing, menurut Simatupang didasarkan kepada asumsi "kantong-kantong agama warisan kolonial" itu. Dan yang merisaukan para pimpinan gereja-gereja Kristen di Indonesia adalah adanya berbaai tindakan di daerah-daerah yang mereka rasakan membingungkan mereka. Dalam Sidang Raya DDDDGI di Salatiga, dua tahun yang lalu misalnya, cukup hangat pembicaraan tentang larangan beribadah di rumah tinggal. Waktu itu dari daerah-daerah diterima laporan para pimpinan jemaat tentang pelaksanaan Radiogram Mendagri Kepada Gubenur-Gubernur se-Indonesia setahun sebelumnya. Dalam Radiogram Mendagri 5 Mei 1975 itu para Gubernur diinstruksikan agar "memberikan pengertian kepada masyarakat" supaya rumah tempat tinggal mereka "jangan berfungsi sebagai gereja." Alasannya: dapat mengganggu keamanan. Radiogram itu keluar setelah satu kasus terjadi Kebaktian jemaat GKBI Kramat Jati di rumah Willem Pieter di Pondok Gede, Kelurahan Lubang Buaya (Jakarta), diprotes oleh penduduk setempat yang beragama Islam. Resolusi penduduk yang sampai ke tangan Bakin dan Mendagri itu mengemukakan alasan bahwa penduduk setempat mayoritas Islam, dan rumah Pieter itu sangat berdekatan dengan mushola dan madrasah Pondok Gede. Reaksi yang sama juga terjadi di kelurahan Patogogan, Kebayoran Baru (Jakarta) terhadap rumah Kurniawan yang dipakai untuk kebaktian Gereja Pantekosta. Di situ kebaktian terpaksa dihentikan setelah 'diberi pengertian' oleh Komwil setempat. Radiogram Mendagri yang dibahas dalam sidang raya DGI di kampus Sata Wacana, Salatiga itu belum pernah resmi dicabut. Begitu pula Keputusan lersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01 BER/mdn-mag/1969 tertanggal 13 September 1969. SK Bersama Menteri Agama Kiyai Haji Moh. Dahlan dan Mendagri Amirmachmud itu melimpahkan wewenang kepada Kepala Daerah -- atau pejabat pemerintahan di bawahnya -- untuk memberi atau menolak izin pendirian rumah ibadah. Antara lain dengan mempertimbangkan "kondisi dan keadaan setempat," serta dengan meminta pendapat organisasi agama serta rokhaniwan setempat. Akibatnya posisi jemaat-jemaat baru kadang-kadang serba sulit mendirikan rumah ibadah baru tak boleh, tapi heribadah di rumah tangga -- yang juga sangat dihargai oleh gereja-gereja yang sudah melembaga -- pun ada risiko dibubarkan atau ditegur oleh aparat keamanan setempat. Sementara itu, dalam konsensus Menteri Agama Mukti Ali dan Vatikan yang ramai akhir tahun lalu kembali lagi dipersoalkan anjuran agar rumah ibadah Katolik "tak dibangun di lingkungan Islam", dan sebaliknya. Juga ditekankan agar bantuan dari kalangan Katolik di luar negeri tak menimbulkan "kesan Kristenisasi". Ini memang tak sampai menjadi SK atau Peraturan Menteri. Namun keluarlah kedua SK terakhir itu. MAWI dan DGI merasa kaget, karena masih mengharapkan hal-hal semacam itu dibicarakan dulu dalam forum Badan Musyawarah Antar-Agama yang mau dibentuk. Tapi setidaknya Menteri Agama Alamsyah secara tak sengaja berhasil membangunkan para pimpinan gerejagereja Kristen yang sudah lama tak berdiskusi bersama secara mendalam. Juga pendekatan antara pimpinan hirarki dan tokoh-tokoh awam yang selama ini dibiarkan sibuk sendiri, kini berlangsung. Orang-orang muda yang tergabung dalam GMKI, GAMKI, PMKRI dan Pemuda Katolik jadi sibuk membahas SK-SK itu. Begitu pu!a di beberapa gereja paroki atau gereja anggota DGI, orang rajin mempercakapkan "kejutan Alamsyah" itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus