KARDINAL Darmoyuwono, Ketua Presidium MAWI, akhir pekan lalu
khusus terbang ke Jakarta untuk menandatangani surat bersama
MAWI (Katolik) dan DGI (Kristen-Protestan) ke alamat Presiden
Suharto. Habis itu, dia langsung terbang kembali ke
tengah-tengah umatnya di Keuskupan Agung Semarang.
Surat bersama MAWI-DGI tertanggal 14 September 1978 itu sudah
merupakan surat kedua yang dikirim kedua dewan pimpinan Gereja
Katolik dan Gereja-Gereja Protestan se-Indonesia ke Kepala
Negara. Surat mereka sebelumnya -- yang hingga kini belum
mendapat balasan -- dikirimkan sehari sesudah Kantor Waligereja
Indonesia dan kantor DGI menerima SK Menteri Agama No. 70/1978.
Kedua pucuk surat MAWI-DGI itu secara eksplisit menolak kedua SK
Menteri Agama yang keluar dalam waktu dua minggu berturut-turut.
Mereka mohon Kepala Negara sendiri mencabutnya.
Alasan pokok, seperti yang disebutkan dalam siaran pers MAWI-DG
I 15 September lalu adalah, "kedua surat keputusan tersebut tak
sesuai dengan kebebasan agama yang dijamin oleh UUD 1945 dan
dipertegas oleh Ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1978."
"Tap MPR No. II tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4), malah sama sekali tak disebut-sebut dalam
konsideran kedua SK itu," kata Sekretaris MAWI Dr Leo Soekoto SJ
kepada TEMPO. Sebaliknya, dalam konsideran kedua SK itu ada
disebut "petunjuk Presiden" tanggal 14 dan 24 Mei 1978. Leo
Sukoto merasa konsideran SK itu kurang kokoh, karena didasarkan
"pada suatu petunjuk lisan saja." Sementara P4, yang justru
mengatur soal kebebasan beragama, kata Sukoto, sama sekali tak
disebut-sebut. Antara lain karena itulah surat MAWI dan DGI itu
dialamatkan langsung kepada Presiden, selaku Mandataris MPR,
yang "bertugas mengamankan semua keputusan MPR."
Bagi Dr Tahi Bonar Simatupang, salah satu Ketua Badan Pekerja
Harian (BPH)-DII, konsideran petunjuk lisan itu, "sudah bukan
amannya lagi." Kata Simatupang, " sekarang kan bukan tahun 1967
lagi, tapi tahun 1978, dan sidang MPR-RI tahun ini sudah
memutuskan P4 itu. Tadi, P4-lah yang harus jadi pegangan. Bukan
lagi Musyawarah Antar Agama tahun 1967."
Di balik semua itu, ada alasan yang lebih prinsipiil. Seperti
kata Leo Soekoto kepada TEMPO, pihaknya sebenarnya bisa menerima
ayat-ayat SK Menteri Agama No. 70 yang tak membenarkan
pembujukan agama melalui pemberian barang-barang, bahan-bahan
cetakan, dan kampanye dari rumah ke rumah. "Ayat-ayat itu," kata
sang Sekretaris MAWI, "lebih ditujukan kepada sekte-sekte yang
melakukan pengabaran injil dengan cara-cara yang tak sopan."
MAWI sendiri dalam sidangnya tiga tahun lalu "tak membenarkan
kegiatan sekte-sekte, yang dianggap umum sebagai wakil agama
Kristen, yang melakukan tindakan-tindakan provokatif melalui
kunjungan dari rumah ke rumah serta cara-cara lain yang kurang
serasi dengan keadaan lngkungan." Kegiatan itu menurut hemat
MAWI, "sangat mengeruhkan suasana kerukunan hidup antara umat
yang beragama."
Namun dengan adanya pasal II ayat a SK No. 70, "masalahnya jadi
lain lagi," kata Sukoto. "Dengan diktum 1 yang sifatnya umum
itu, secara implisit berarti tak ada lagi kebebasan beragama.
Termasuk hak untuk pindah agama," kata sang waligereja. Di
samping itu, "kami takutkan bila para petugas pemerintah di
daerah dengan bebas memberikan interpretasi sendiri-sendiri
terhadap ayat 11 b, yakni pembujukan agama melalui pemberian
uang, pakaian, makanan dan minuman, obat-obatan dan lain-lain."
Padahal, menurut keyakinan Kristen, "karya sosial merupakan
perwujudan ke luar daripada penghayatan iman," kata Leo Soekoto.
Sebab penghayatan iman Kristen itu, "tak boleh bersifat intern
saja, tapi harus dibuktikan ke luar."
Hampir senada adalah komentar Sabam Sirait, anggota - DPR RI
dari fraksi Demokrasi Indonesia kepada TEMPO. Katanya dengan
penuh semangat "Ayat II b, c, dan SK No. 70 itu pemerintah
boleh ambil. Kalau perlu, dengan SK no 7 itu sekaligus. Tapi
soal ayat II a SK No. 70, kita tidak bisa mundur. Sebab ini soal
prinsipiil."
Walaupun begitu, Sabam sudah membayangkan berbagai kesulitan
menafsirkan pengamanan terhadap larangan II b, c, dan d dalam
praktek. Misalnya, katanya, " apakah tolong-menolong antara
anggota keluarga yang berbeda agama tak dapat ditafsirkan
sebagai pembujukan agama? Apakah Kitab Suci di hotelhotel harus
dilarang? Atau Al-Qur'an yang kini dapat juga ditemui dalam
sementara hotel di Medan? Apakah sekolah dan rumah sakit dari
satu golongan agama tak boleh melayani pasien yang beragama
lain? Bagaimana dengan renungan, khotbah dan ekspresi kesenian
religius di media komunikasi massa, termasuk TV-RI yang ditonton
berbagai golongan agama masih dapat dibenarkan ? "
Ada tambahan dari T.B. Simatupang. Kedua SK itu, menurut dia,
dibuat atas pra-anggapan politis yang sudah keliru. Yakni adanya
propinsi-propinsi atau kantong-kantong agama yang harus
dipertahankan secara mutlak. "Prinsip adanya propinsi atau
kantong bagi masing-masing agama itu kan warisan politik
kolonial Belanda, agar mereka mudah memecah-belah dan memerintah
rakyat Indonesia," kata Ketua BPHDGI itu. "Dengan
diproklamirkannya Negara Kesatuan lepublik Indonesia, tiap
jengkal tanah Indonesia adalah milik kita semua. Tak bisa lagi
dikatakan: ini mutlak daerah Islam, atau itu mutlak daerah
Kristen," kata Simatupang.
Berdasarkan realitas sosiologis pun, menurut Simatupang,
"kantong-kantong satu agama tak dapat lagi dipertahankan,
terutama lantaran mobilitas penduduk." Sebagai contohnya, dia
sebutkan Irian Jaya. "Dulu tak ada Islam di Irian Jaya. Tapi
setelah Irian masuk wilayah RI, orang Islam kan bebas masuk ke
sana, bermukim dan menikmati kebebasan agama sama seperti orang
Kristen."
Larangan berpindah agama yang tersirat dalam SK No. 70 maupun
kontrol Menteri Agama terhadap bantuan asing, menurut Simatupang
didasarkan kepada asumsi "kantong-kantong agama warisan
kolonial" itu. Dan yang merisaukan para pimpinan gereja-gereja
Kristen di Indonesia adalah adanya berbaai tindakan di
daerah-daerah yang mereka rasakan membingungkan mereka.
Dalam Sidang Raya DDDDGI di Salatiga, dua tahun yang lalu
misalnya, cukup hangat pembicaraan tentang larangan beribadah di
rumah tinggal. Waktu itu dari daerah-daerah diterima laporan
para pimpinan jemaat tentang pelaksanaan Radiogram Mendagri
Kepada Gubenur-Gubernur se-Indonesia setahun sebelumnya. Dalam
Radiogram Mendagri 5 Mei 1975 itu para Gubernur diinstruksikan
agar "memberikan pengertian kepada masyarakat" supaya rumah
tempat tinggal mereka "jangan berfungsi sebagai gereja."
Alasannya: dapat mengganggu keamanan.
Radiogram itu keluar setelah satu kasus terjadi Kebaktian jemaat
GKBI Kramat Jati di rumah Willem Pieter di Pondok Gede,
Kelurahan Lubang Buaya (Jakarta), diprotes oleh penduduk
setempat yang beragama Islam. Resolusi penduduk yang sampai ke
tangan Bakin dan Mendagri itu mengemukakan alasan bahwa penduduk
setempat mayoritas Islam, dan rumah Pieter itu sangat berdekatan
dengan mushola dan madrasah Pondok Gede.
Reaksi yang sama juga terjadi di kelurahan Patogogan, Kebayoran
Baru (Jakarta) terhadap rumah Kurniawan yang dipakai untuk
kebaktian Gereja Pantekosta. Di situ kebaktian terpaksa
dihentikan setelah 'diberi pengertian' oleh Komwil setempat.
Radiogram Mendagri yang dibahas dalam sidang raya DGI di kampus
Sata Wacana, Salatiga itu belum pernah resmi dicabut. Begitu
pula Keputusan lersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 01 BER/mdn-mag/1969 tertanggal 13 September 1969.
SK Bersama Menteri Agama Kiyai Haji Moh. Dahlan dan Mendagri
Amirmachmud itu melimpahkan wewenang kepada Kepala Daerah --
atau pejabat pemerintahan di bawahnya -- untuk memberi atau
menolak izin pendirian rumah ibadah. Antara lain dengan
mempertimbangkan "kondisi dan keadaan setempat," serta dengan
meminta pendapat organisasi agama serta rokhaniwan setempat.
Akibatnya posisi jemaat-jemaat baru kadang-kadang serba sulit
mendirikan rumah ibadah baru tak boleh, tapi heribadah di rumah
tangga -- yang juga sangat dihargai oleh gereja-gereja yang
sudah melembaga -- pun ada risiko dibubarkan atau ditegur oleh
aparat keamanan setempat.
Sementara itu, dalam konsensus Menteri Agama Mukti Ali dan
Vatikan yang ramai akhir tahun lalu kembali lagi dipersoalkan
anjuran agar rumah ibadah Katolik "tak dibangun di lingkungan
Islam", dan sebaliknya. Juga ditekankan agar bantuan dari
kalangan Katolik di luar negeri tak menimbulkan "kesan
Kristenisasi".
Ini memang tak sampai menjadi SK atau Peraturan Menteri. Namun
keluarlah kedua SK terakhir itu. MAWI dan DGI merasa kaget,
karena masih mengharapkan hal-hal semacam itu dibicarakan dulu
dalam forum Badan Musyawarah Antar-Agama yang mau dibentuk.
Tapi setidaknya Menteri Agama Alamsyah secara tak sengaja
berhasil membangunkan para pimpinan gerejagereja Kristen yang
sudah lama tak berdiskusi bersama secara mendalam. Juga
pendekatan antara pimpinan hirarki dan tokoh-tokoh awam yang
selama ini dibiarkan sibuk sendiri, kini berlangsung.
Orang-orang muda yang tergabung dalam GMKI, GAMKI, PMKRI dan
Pemuda Katolik jadi sibuk membahas SK-SK itu. Begitu pu!a di
beberapa gereja paroki atau gereja anggota DGI, orang rajin
mempercakapkan "kejutan Alamsyah" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini