Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dosen Unair Khawatir Izin Usaha Tambang untuk Kampus Mengancam Independensi Akademik

Sebelumnya, Rektor Unair mengatakan dukungannya terhadap wacana pemerintah yang akan memberikan izin konsesi tambang kepada perguruan tinggi.

31 Januari 2025 | 20.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kampus Unair. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga (Unair), Lalu Ary Kurniawan Hardi menyampaikan kekhawatirannya bahwa pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi dapat mengurangi independensi kampus dalam mengontrol kebijakan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau kita asumsikan, kampus dikasih akses, kampus jadi punya kepentingan dalam industri pertambangan. Riset yang harusnya objektif, kemudian berisiko jadi nggak objektif,” kata Ary dalam wawancara dengan Tempo.co pada Jumat, 31 Januari 2025. 

Sebelumnya, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau Baleg DPR RI menyepakati hasil penyusunan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menjadi usulan inisiatif DPR. Salah penyampaian usulan DPR adalah pemberian izin usaha tambang secara prioritas pada perguruan tinggi.

“RUU tentang perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 itu berisi ketentuan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan cara lelang atau prioritas pada Badan Usaha, Koperasi, atau Perusahaan perseorangan, Organisasi Masyarakat (ormas), dan Perguruan Tinggi,” kata Ketua Baleg, Bob Hasan, dalam rapat Pleno di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Senin, 20 Januari 2025. 

Ary mengungkapkan bahwa peran perguruan tinggi jika masih sebagai pihak eksternal membuatnya lebih kritis terhadap kebijakan ekstraksi sumber daya alam. Namun, jika kampus sudah terlibat langsung dalam industri pertambangan, berpotensi akan memengaruhi objektivitas kampus dalam menilai kebijakan dan menyuarakan kritik terhadap isu-isu terkait.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia merasa sebagai pekerja akademik menyatakan bahwa jika perguruan tinggi diberikan akses untuk mengelola sumber daya alam, kampus berpotensi mendapatkan lebih banyak dana penelitian, terutama untuk studi sosial, humaniora, dan sains teknologi terkait eksplorasi lingkungan.

Namun, Ary menyoroti perbedaan hasil antara riset yang didanai untuk mengkritisi kebijakan dan yang didanai untuk mendukung kebijakan. Riset yang kritis bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan kebijakan yang perlu diperbaiki, sedangkan riset yang mendukung akan fokus pada bagaimana kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan sukses, meskipun eksploitasinya mungkin dipertanyakan.

“Jadi, yaitu sangat tidak objektif, makanya saya rasa kalau diberikan akses ya, independensi akademiknya akan berkurang walaupun tetap dengan riset dengan segala macamnya,” katanya. 

Meskipun riset tetap dilakukan, Ary khawatir kredibilitas perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah yang seharusnya netral dan objektif akan terganggu. Lebih jauh, ia menekankan pentingnya legitimasi akademik yang harus tetap memegang tanggung jawab moral untuk memastikan keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor pertambangan tidak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.

Lalu Ary menekankan bahwa jika perguruan tinggi terlihat mendukung eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan, hal itu dapat mempengaruhi reputasi akademiknya. Ia mengingatkan bahwa universitas yang mengatasnamakan diri mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) harus mempertanyakan apakah tetap relevan dan tidak malu jika terlibat dalam agenda yang berpotensi merusak prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut.

Kemudian Ary mengingatkan bahwa perguruan tinggi harus merefleksikan peranannya jika mendukung agenda yang merusak lingkungan. Ia menilai, jika kampus terlibat dalam sektor ekstraktif, hal ini dapat mengurangi kebebasan akademik dan merusak reputasi institusi, terutama dalam mendukung keberlanjutan. Keterlibatan kampus dalam siklus eksploitasi ini berisiko menjadikannya pelaku kebijakan yang represif terhadap mahasiswa yang sudah menyuarakan isu-isu lingkungan.

“Yang saya takutkan, terutama bagi kita, bagi mahasiswa, bagi pengajar yang sebenarnya punya opini berbeda terkait dengan itu,” ujarnya.

Ia menilai, keuntungan ekonomi yang didapatkan dari sektor izin usaha tambang ini dapat menekan suara-suara yang bertentangan, terutama dari mahasiswa dan pengajar yang memiliki opini berbeda. Hal ini menciptakan dilema moral dan etika, di mana kampus harus memilih antara tetap menjadi lembaga yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan etika masyarakat, atau beralih menjadi lembaga usaha yang hanya fokus pada untung rugi.

Sebelumnya, Rektor Unair, Mohammad Nasih mengungkapkan bahwa ia pernah mengusulkan agar kampus dapat mengelola pertambangan. Ia juga menyampaikan pandangannya mengenai rencana kebijakan tersebut.

Menurut Nasih, wacana perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang sudah muncul sejak sebelum revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) disahkan sebagai usulan inisiatif DPR. Bahkan, ia menegaskan bahwa usulan tersebut telah ada sebelum pelantikan Presiden Prabowo Subianto.

Hanaa Septiana turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus