BEGITU Kepala Bakin Jenderal Yoga Sugomo selesai menjelaskan
peristiwa pembajakan pesawat terbang Garuda Woyla lewat Laporan
Khusus TVRI Kamis malam lalu, kerumunan pemuda Desa
Kotamatsum, Medan, yang menonton acara tersebut bubar. Meskipun
bagi penonton lain di Indonesia acara itu menarik, orang
Kotamatsum kecewa. Alasan mereka: Jenderal Yoga belum
menjelaskan identitas para pembajak tersebut.
Keinginan tahu para pemuda Kotamatsum itu bukan tanpa alasan.
Tiga dari pembajak, Zulfikar, Abu Sofyan dan Wemdy konon berasal
dari Kotamatsum. Bahkan abang Wemdy, Armon -- belakangan dikenal
sebagai Imran -- disebut-sebut sebagai pimpinan kelompok yang
terlibat pembajakan tersebut.
Setelah peristiwa pembajakan itu, Kotamatsum I dan II, dua
kelurahan di Kotamadya Medan, ramai dikunjungi petugas keamanan
dan wartawan. Sasaran mereka beberapa rumah tertentu di daerah
ini.
"Saya bingung sekali. Ya intel, ya wartawan, tiap hari
berkerumun ke rumah ini," keluh Zaiyar, 44 tahun, pada TEMPO
pekan lalu. Mata wanita berhidung mancung dan berkulit putih
bersih ini merah dan mengembang air. Suaminya, Dahlan, akhir
Maret lalu tewas karena kecelakaan lalu lintas di Jakarta.
Sedang adik kandungnya, Abu Sofyan, disebut-sebut sebagai salah
satu pembajak pesawat Garuda.
Hal yang sama terjadi pada keluarga Muhamad Zein. "Awak jadi
pening dan kacau," kata Ny. Darmanis, 55 tahun, istri Muhamad
Zein yang disebut-sebut sebagai orang tua Imran dan Wemdy.
Menurut dia, tak kurang dari 20 "tamu tak diundang" tiap hari
mengunjungi rumahnya, menanyakan tentang dua dari sebelas
anaknya: Wemdy dan Imran.
John Arfi, abang kandung Zulfikar, meski rumahnya ramai
dikunjungi tamu merasa lebih aman. Begitu selesai didengar
keterangannya di Kepolisian Kotabes Medan 6 April lalu, dia
segera kembali ke tempat pekerjaannya di Aceh. Tinggal Nuryatun,
istrinya, yang sibuk meladeni tamu. "Zulfikar anak baik-baik.
Berangkat dari rumah ini tahun 1973. Sudah itu saya tak tahu
lagi," hanya itu jawabnya pada semua tamu.
Simpang Siur
Di samping ketidaktahuan, masih terselip juga rasa ragu. "Apakah
benar anak kami Wemdy itu pembajak? Sampai sekarang belum ada
keterangan pemerintah," kata Ny. Darmanis. Kebimbangan yang
sama juga menyusupi Zaiyar.
Pihak yang berwajib di Medan sampai sekarang tentu saja belum
bisa bicara banyak. "Untuk menjelaskan, itu kompetensi Kopkamtib
bukan kami," kata Letkol Mardian Idris, jurubicara Laksusda
Sumatera Utara.
Tak terelakkan agaknya, bila dalam waktu yang pendek ini terjadi
simpangsiur.
Misalnya mengenai latar belakang Zulfikar. Harian Angkatan
Bersenjata (AB) Medan 4 April lalu mengatakan-mengutip sumber di
Laksusda Sum-Ut -- Zulfikar terlibat dalam peristiwa
penggranatan Bar Apollo dan Gereja Methodis, Medan, pada 1976.
Teror itu menurut keterangan resmi dilakukan oleh anggota
Komando Jihad.
Bersama sejumlah orang lain, termasuk Timzar Zubil yang kemudian
dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Medan, Zulfikar
tertangkap. Tahu-tahu ia kemudian dikenal sebagai salah satu
pembajak pesawat Garuda Woyla. "Apa sebab dia berhasil lolos
atau diloloskan, pihak kompeten belum berhasil dihubungi AB.
Pada pemberitaan AB selanjutnya akan diungkapkan kenapa Zulfikar
bisa lolos dari tahanan pihak berkompeten di daerah ini," begitu
tulis AB 4 April lalu.
Karuan saja hari itu koran AB sangat laris. Namun sayang Harian
AB Medan tak sempat mengungkapkan kisah lolosnya Zulfikar
seperti yang dijanjikan. Humas Laksusda Sum-Ut pada 7 April 1981
mengeluarkan siaran pers membantah Zulfikar lolos dari tahanan.
"Jangankan terdaftar dalam berkas perkara Komji. Yang namanya
Zulfikar itu ditahan pun tidak pernah dalam hubungan dengan
Komji," kata Letkol Mardian ldris. Ia menyesalkan pemberitaan
Harian AB itu.
Seraya menunggu penjelasan resmi tentang pembajakan tadi, yang
kabarnya akan diberikan oleh Pangkopkamtib Sudomo dalam waktu
dekat ini, TEMPO berusaha mengumpulkan latar belakang sosial
para pembajak tadi, khususnya Imran, yang disebut sebagai
pemimpin kelompok mereka (Lihat: Kembalinya Si Anak Hilang).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini