SEANDAINYA ia di Jepang, ia adalah Yuri: gadis berumur 20 tahun,
dalam novel Yasuo Tanaka, Nanto-naku Crystal.
Dia bangun pukul 6.15 pagi di kamarnya yang bagus dan
mendengarkan Lagu Willie Nelson pada radio-kaset hi-fi Grundig
di sudut. Ia akan bangkit menggeliat, lalu mengenakan shorts
Adidas, T shirt katun dari St. Michael yang sejuk dan sepatu
lari Nike. Ia akan senyum di cermin lalu meloncat ke sadel
sepeda argocycle-nya -- dengan impian tentang gadis ramping
dalam majalah Vogue.
Bila ia bosan, ia akan melangkah ke luar, ke udara pagi. Ia akan
menyusuri jalan hot-mix yang diteduhi pepohonan itu,
berlari-lari kecil di sekitar kompleks perumahan tempat
tinggalnya. Di kupingnya akan terpasang walkman Sony, dengan
suara santai jazz Michael Franks, ditingkah trompet . . .
Ya, seandainya ia di Jepang, ia adalah Yuri: gadis berumur 20
tahun yang dalam kiasan Yasuo Tanaka disebut sebagai oknum
"generasi kristal". Kami hidup tanpa satu hal pun yang mengusik
kami, ia akan berkata.
Hidup, bagi Yuri, memang ibarat kristal: elok, mahal, tenang.
Orang Jepang lain, dengan sedikit cemooh, menyebutnya
brandingen: orang yang teramat sadar akan merk barang-barang
yang dinikmatinya. Agaknya itulah contoh sebuah angkatan yang
makmur dan tak acuh. Pengarang novel Nanto-naku Crystal
sendiri, yang baru berumur 24 tahun, anak orang berada,
tiba-tiba jadi juru bicara generasinya. Ia mengakui, "Mudah
untuk hidup sekarang ini. Tak ada perang, tak ada keadaan
darurat, tak ada demonstrasi. Tak ada problem yang serius."
Seorang wartawan International Herald Tribune melukiskan
anak-anak muda Jepang yang bertaburan bagaikan rama-rama antara
Roppongi dan Aoyaa itu dengan sebuah kutipan statemen: Politik
dan masyarakat tak menarik minat kami."
Mereka pun berbelanja, berdisko, makan dan bercinta di
distrik-distrik mewah yang laris itu. Mereka ingin diketahui dan
diakui, lantaran pakaian yang mereka pakai. Mereka menyebut
deretan nama teman mereka -- semuanya dari sekolah, perumahan,
atau pergaulan mereka yang "kristal."
Tujuan? Tak tercatat. Kesepian? Mungkinkah kristal kesepian?
Seandainya dia di Jepang....
TAPI dia tidak di Jepang. Dia di Jakarta. Dia mungkin juga
sebuah kristal, tapi dengan latar yang lebih pengap ketimbang
Roppongi dan Akasaka, lebih kumuh ketimbang stasiun Shibuya dan
jalan-jalan Ormotosando.
Perkecualiankah dia? Ya dan tidak. Dia merupakan perkecualian,
bila ditilik bahwa dia hanya satu dari segelintir orang
Indonesia yang punya secara berlebihan. Dia suatu perkecualian,
karena ternyata dia adalah satu bagian dari suatu peradaban yang
"aneh dan modern" -- peradaban yang oleh Betrand de Jouvenel
disebut "une civilisation de toujours plus".
Dalam peradaban yang senantiasa bertambah-lebih itu dia memang
seorang brandingen, seperti Yuri: seorang yang pada dasarnya
telah jadi asing terhadap keinginan sejatinya sendiri. Ia tak
tahu harus pengin apa.
Kepadanyalah iklan-iklan dengan mudah menggoda. Dialah jenis
orang yang --dalam kata-kata seorang ahli ilmu jiwa -- cenderung
"makan sebuah fantasi". Ketika ke mulutnya masuk sepotong
kembang gula Anu, maka yang ia makan sebenarnya hanya bayangan
seorang gadis cantik yang mengulum permen Anu itu --dalam seribu
iklan. Apa benda nyata yang dirasakannya, tak lagi penting.
Tapi dalam hal itu dia tak lagi sendirian. Dia toh seperti yang
lain-lain: terdorong ke dalam suatu kenikmatan yang ganjil, yang
bernama "memiliki".
Maka musik pun cuma mendengung, ketika hujan tiba-tiba gerimis,
dan ia cepat-cepat pulang dari sebuah jogging pendek. Michael
Franks, dalam Antonio's Song, kata-katanya parau dan tertangkap
tak jelas. Adakah dia bernyanyi tentang gurun, hujan, nikmat dan
kepedihan?
Antonio loves the desert
Antonio prays or rain
Antonio knows that pleasure
is the child of pain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini