Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Asing di negeri sendiri

Seandainya ia di jepang, ia adalah yuri, yang hidup dalam generasi kristal, seperti dalam novel "nanto-naku crystal". tapi yang punya secara berlebihan ini hidup di jakarta. ia tak tahu apa yang diinginkannya.

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA ia di Jepang, ia adalah Yuri: gadis berumur 20 tahun, dalam novel Yasuo Tanaka, Nanto-naku Crystal. Dia bangun pukul 6.15 pagi di kamarnya yang bagus dan mendengarkan Lagu Willie Nelson pada radio-kaset hi-fi Grundig di sudut. Ia akan bangkit menggeliat, lalu mengenakan shorts Adidas, T shirt katun dari St. Michael yang sejuk dan sepatu lari Nike. Ia akan senyum di cermin lalu meloncat ke sadel sepeda argocycle-nya -- dengan impian tentang gadis ramping dalam majalah Vogue. Bila ia bosan, ia akan melangkah ke luar, ke udara pagi. Ia akan menyusuri jalan hot-mix yang diteduhi pepohonan itu, berlari-lari kecil di sekitar kompleks perumahan tempat tinggalnya. Di kupingnya akan terpasang walkman Sony, dengan suara santai jazz Michael Franks, ditingkah trompet . . . Ya, seandainya ia di Jepang, ia adalah Yuri: gadis berumur 20 tahun yang dalam kiasan Yasuo Tanaka disebut sebagai oknum "generasi kristal". Kami hidup tanpa satu hal pun yang mengusik kami, ia akan berkata. Hidup, bagi Yuri, memang ibarat kristal: elok, mahal, tenang. Orang Jepang lain, dengan sedikit cemooh, menyebutnya brandingen: orang yang teramat sadar akan merk barang-barang yang dinikmatinya. Agaknya itulah contoh sebuah angkatan yang makmur dan tak acuh. Pengarang novel Nanto-naku Crystal sendiri, yang baru berumur 24 tahun, anak orang berada, tiba-tiba jadi juru bicara generasinya. Ia mengakui, "Mudah untuk hidup sekarang ini. Tak ada perang, tak ada keadaan darurat, tak ada demonstrasi. Tak ada problem yang serius." Seorang wartawan International Herald Tribune melukiskan anak-anak muda Jepang yang bertaburan bagaikan rama-rama antara Roppongi dan Aoyaa itu dengan sebuah kutipan statemen: Politik dan masyarakat tak menarik minat kami." Mereka pun berbelanja, berdisko, makan dan bercinta di distrik-distrik mewah yang laris itu. Mereka ingin diketahui dan diakui, lantaran pakaian yang mereka pakai. Mereka menyebut deretan nama teman mereka -- semuanya dari sekolah, perumahan, atau pergaulan mereka yang "kristal." Tujuan? Tak tercatat. Kesepian? Mungkinkah kristal kesepian? Seandainya dia di Jepang.... TAPI dia tidak di Jepang. Dia di Jakarta. Dia mungkin juga sebuah kristal, tapi dengan latar yang lebih pengap ketimbang Roppongi dan Akasaka, lebih kumuh ketimbang stasiun Shibuya dan jalan-jalan Ormotosando. Perkecualiankah dia? Ya dan tidak. Dia merupakan perkecualian, bila ditilik bahwa dia hanya satu dari segelintir orang Indonesia yang punya secara berlebihan. Dia suatu perkecualian, karena ternyata dia adalah satu bagian dari suatu peradaban yang "aneh dan modern" -- peradaban yang oleh Betrand de Jouvenel disebut "une civilisation de toujours plus". Dalam peradaban yang senantiasa bertambah-lebih itu dia memang seorang brandingen, seperti Yuri: seorang yang pada dasarnya telah jadi asing terhadap keinginan sejatinya sendiri. Ia tak tahu harus pengin apa. Kepadanyalah iklan-iklan dengan mudah menggoda. Dialah jenis orang yang --dalam kata-kata seorang ahli ilmu jiwa -- cenderung "makan sebuah fantasi". Ketika ke mulutnya masuk sepotong kembang gula Anu, maka yang ia makan sebenarnya hanya bayangan seorang gadis cantik yang mengulum permen Anu itu --dalam seribu iklan. Apa benda nyata yang dirasakannya, tak lagi penting. Tapi dalam hal itu dia tak lagi sendirian. Dia toh seperti yang lain-lain: terdorong ke dalam suatu kenikmatan yang ganjil, yang bernama "memiliki". Maka musik pun cuma mendengung, ketika hujan tiba-tiba gerimis, dan ia cepat-cepat pulang dari sebuah jogging pendek. Michael Franks, dalam Antonio's Song, kata-katanya parau dan tertangkap tak jelas. Adakah dia bernyanyi tentang gurun, hujan, nikmat dan kepedihan? Antonio loves the desert Antonio prays or rain Antonio knows that pleasure is the child of pain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus