SEMUA seperti dalam satu babak: Xanana Gusmao menyesal dan minta maaf lewat layar kaca TVRI, kemudian Uskup Dili Ximenes Belo menyatakan membuka gerejanya untuk gerilyawan yang menyerahkan diri, dan kini ramai-ramai anggota clandestine, pendukung Fretilin, membubarkan diri dan mengutuk Xanana. Ini adalah lanjutan kisah ditangkapnya Jose Alexandre Xanana Gusmao, pucuk pimpinan Fretilin, yang menjadi buron pasukan Indonesia selama 16 tahun, tiga pekan lalu. Pertama kali Xanana ditampilkan pada 1 Desember lalu, atau 11 hari setelah anak Manatuto berusia 46 tahun itu ditangkap di Dili. Dalam wawancara dengan Gubernur Timor Timur Abilio Soares, teman sekampungnya, Xanana kabarnya meminta maaf atas meletusnya insiden Dili, 12 November 1991, yang merenggut korban paling tidak 50 orang tewas. Wawancara yang berlangsung dalam bahasa Portugal itu juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahwa Xanana mengimbau anak buahnya agar mengakhiri perselisihan. Sehari setelah Xanana ditayangkan TVRI, Uskup Belo mengeluarkan pernyataan. Isinya, gereja membuka tujuh paroki di Timor Timur untuk para gerilyawan yang masih ada di hutan. Ini tampaknya untuk mengakhiri konflik berkepanjangan antarkelompok di bekas jajahan Portugal itu. Panglima Kolakops Brigadir Jenderal Theo Syafei memang sudah menjanjikan akan memberikan pengampunan bagi sisa anak buah Xanana yang mau turun gunung. Theo menjelaskan, dia lebih memilih upaya pengampunan ini ketimbang suatu operasi pembersihan. Karena, ujar Theo pada Jawa Pos, penangkapan Xanana diibaratkan sebuah bendungan yang dibuka pintunya. "Bila ketemu titik lemahnya, pasti terbuka dan akan mengalir," Theo menjelaskan. Bahkan, dalam wawancara dengan TEMPO dua pekan lalu, Theo juga memastikan bahwa kekuatan gerilyawan Fretilin semakin terjepit dan melemah (TEMPO, 5 Desember 1992). Sabtu lalu, menurut Jawa Pos, ada lima pengikut Xanana yang bergerilya, tewas dalam suatu kontak senjata dengan aparat keamanan di Gunung Kablaki, Kabupaten Manufahi. Dari mereka, disita dua pucuk senjata jenis Getmi, seperti yang digunakan Xanana. Sebuah sumber menyebutkan, sisa anak buah Xanana kini dipimpin oleh Antonio da Costa alias Mau Hunu -- kabarnya menganut aliran keras. Dia konon penganut aliran Marxisme-Leninisme, yang jauh lebih keras dibandingkan Xanana. Adakah kelompok garis keras ini akan begitu saja turun gunung, itu masih harus ditunggu. Pihak ABRI menaksir jumlah yang berada di gunung ini tinggal sekitar seratus orang dan seratus pucuk senjata. Sementara sumber TEMPO bilang bahwa yang di gunung sekarang masih sekitar 400 orang. Yang ramai-ramai membubarkan diri adalah anggota jaringan bawah tanah yang mendukung Fretilin. Pekan lalu di Same, 36 orang menyatakan membubarkan diri. Kemudian Sabtu pekan lalu, di Dili, 107 anggota clandestine membacakan pernyataan "Kesadaran dan Penyesalan" di depan Theo Syafei. Mereka mengecam Xanana dan Mau Hudu -- asisten politik Xanana yang ditangkap Januari lalu -- sebagai orang yang tak bertanggung jawab, hingga pecah insiden Dili. Mereka minta keduanya dihukum mati. Minggu lalu di Baucau, ada 200 orang clandestine yang juga menyatakan diri bubar. Tampaknya ini akan menggelinding di kabupaten lain. Tinggal, kapan lagi yang di gunung mau turun?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini