Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Entong Gendut

Entong gendut memimpin masyarakat condet untuk melawan wedana dan mantri polisi. Mereka marah akibat keserakahan tuan tanah yang menyita tanahnya, menjual dan membakarnya karena tidak sanggup bayar cukai.

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAHULU kala di Condet, Betawi tersohorlah sebuah nama Entong Gendut. Kita tidak tahu adakah ia gendut. Yang pasti, laki-laki ini pemberani. Dialah yang memimpin rakyat Condet melawan wedana dan mantri polisi - karena ia sedih menyaksikan rumah petani dibakar habis oleh tuan tanah. Itu terjadi di dasawarsa pertama abad ke-20 ini, dan bukan dalam cerita lenong. Yang menceritakannya adalah ahli sejarah kita yang tersohor itu, Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya Protest ,Movements in Rural Java. Syahdan, di zaman itu, tuan tanah tak kalah serakahnya dengan zaman ini. Oleh sebuah peraturan gubernemen di tahun 1912, tuan tanah sering mengadukan ke landrad para petani yang gagal membayar cukai kepadanya. Dan tuan tanah di desa Condet di sub-distrik Pasar Rebo ini keliwat getol dalam membikin perkara. Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dijual atau -- tak jarang -- dibakar. Entong Gendut melihat semua ini, dan ia diam-diam menggertakkan geraham. Insiden pertama terjadi di bulan Pebruari 1916. Menurut keputusan landrad di Meester Cornelis 14 Mei 1914, pak tani Taba dari Batu Ampar harus membayar 7.20 gulden ditambah ongkos perkara. Tanggal 15 bulan itu ia diperingatkan. kalau tidak bisa bayar, yang berwajib akan menyita miliknya. Rakyat, para tetangga pak Taba, marah. Mereka berkumpul di kebon Jaimin di sebelah utara, ketika para yang berwajib datang untuk melaksanakan hukuman. Maksud kerumunan itu ialah buat mencegah nasib buruk yang sudah dijatuhkan ke kepala Taba. Dan Entong Gendut hadir di sana. Tapi rakyat gagal, walaupun telah berteriak-teriak, maki-maki, dan berdoa. Insiden kedua terjadi di depan Villa Nova, rumah nyonya besar Rollinson yang memiliki tanah di Cililitan Besar. Itu malam tanggal 15 April. Ada pertunjukan topeng. Tapi suasana sudah panas. Ketika sore tadi tuan tanah dari Tanjung Oost, Ament, naik mobilnya lewat jembatan, ia dilempari batu. Dan ternyata ketika pertunjukan topeng menuju jam 11 malam, terdengar teriakan-teriakan. Acara supaya dihentikan, begitu orang berseru. Perintah datang dari Entong Gendut. Rakyat patuh dan mereka bubaran, dengan tenang. Tapi wedana marah. Dia suruh orang memanggil Entong Gendut menghadapnya ke Meester Cornelis. Ketika mantri polisi dan demang datang ke Batu Ampar, mereka dapatkan Entong Gendut di rumahnya dikelilingi kawan-kawannya, antara lain Haji Amat Awab dan Maliki. Ketika Entong Gendut ditanya kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, laki-laki itu menjawab: "Demi agama." Ia hendak mencegah perjudian. Ia menjelaskan betapa rakyat dibebani hutang dan rumah mereka dijual atau dibakar -- sementara polisi cuma membantu tuan tanah dan orang Belanda. Mantri polisi dan demang merasa Entong sudah kurang ajar, tapi mereka tak berani. Sebab Entong Gendut sudah siap nampaknya. Seraya pegang keris ia berseru garang: "Aye gedruk tanah maka ini tanah bakal jadi laut!" -- dan dari semak-semak muncullah puluhan orang bersenjata, siap. Maka cemaslah para yang berkuasa. Dan benar juga firasat. Tanggal 9 April 1916, ada info yang memberitahu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis, bahwa banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Dan sepucuk surat rupanya memang dikirim oleh Entong Gendut kepada demang, agar demang menghadap si "Raja Muda" atau Entong Gendut sendiri. Hari Ahad dan Senennya sibuklah wedana. Ia sendiri memimpin patroli. Dengan diiringi sepasukan polisi, ia menuju ke rumah Entong. Rumah itu pun dikepung. Wedana berteriak supaya Entong keluar. Entong menjawab ia akan keluar setelah selesai sembahyang. Dan ketika ia keluar -- dengan membawa tombak yang ditutupi kain putih serta keris dan bendera merah yang dihiasi bulan sabit putih -- ia mengatakan dirinya Raja. Ia tak tunduk pada hukum apapun dan juga pada Belanda. Para pengikutnya pun berteriak: "Sabillullah, tidak takut!" dan pertempuran terjadi. Wedana berhasil ditangkap rakyat, tapi kemudian bantuan datang dan Entong Gendut mati .... Insiden Condet -- seperti halnya banyak kejadian di tanah air kita bahkan setelah kemerdekaan -- tak cukup bisa diterangkan sebagai sekedar soal "ideologi". Sejarah punya banyak jawaban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus