MEREKA muda dan terpelajar. Mereka telah melihat bagian
tanahair mereka yang lebih "maju". Bahkan mereka telah beberapa
tahun tinggal di sini. Tapi meskipun jarak Jawa-Jayapura
terentang hampir 4000 km, kenangan kepada pulau kelahiran
tampaknya masih lekat.
Itulah sebabnya lebih dari 200 orang mahasiswa asal Irian Jaya
yang belajar di perguruan tinggi di Jawa sering merupakan
jurubicara yang fasih bagi kepentingan di daerahnya. Tak jarang
mereka tampil dengan resolusi atau delegasi ke Jakarta --
misalnya yang baru-baru ini datang dari Yogya, untuk bicara
kepada Dep. Dalam Negeri dan pers soal jabatan gubernur.
Apakah yang mereka lihat tentang Irian Jaya kini? Di Yogya,
tempat sebagian besar para mahasiswa Irian Jaya berkumpul,
wartawan TEMPO Putu Setia dan Syahrir Chili mewawancarai
beberapa orang dari para pemuda itu. Sebagian dari hasil
laporannya:
Samuel Fenetiruha BA. Ia 33 tahun, dari Kaimana, kini tingkat
doktoral ASRI dan pernah tamat Sekolah Pengrajin Industri
Kerajinan Yogya. Ia berstatus tugas belajar dari Dinas
Perindustrian Jayapura. Kawin dengan gadis Yogya (1967), kini
dengan 4 anak. Rajin melakukan pameran kerajinan Asmat.
Pengalamannya yang unik: sejak 1971 juga sebagai prajurit
Kraton Yogya dan kini berpangkat Prajurit Jogikaryo: "Pada zaman
penjajahan Belanda semua serba ada, serba murah. Ini memang
politik penjajah. Kalau sekarang situasi ekonomi jauh berubah,
harus disadari bahwa kita harus bekerja keras."
"Pendidikan di Ir-Ja, terutama pedalaman, masih tertinggal. Di
pedesaan kebanyakan hanya sampai kelas 6. Untuk melanjutkan ke
kota hanya mungkin jika orang tuanya mampu. Alangkah baiknya
bila dibuat SMP atau sekolah-sekolah pertanian di desa dengan
sistim pesantren.
"Di zaman Belanda dulu ada sekolah dengan murid semua
diasramakan, disediakan semua peralatan dari tingkat SD sampai
SMA. Kalau Belanda dulu melakukan hal itu hanya untuk
orang-orang tertentu saja, baiknya sekarang dikhususkan bagi
anak-anak yang orang tuanya tak mampu. Sekarang mutu pendidikan
di Ir-Ja jauh lebih rendah dibanding di Jawa.
Setelah tamat ASRI saya akan kembali ke Ir-Ja untuk
mengembangkan seni ukir Asmat yang tradisional itu.
France. Ia 22 tahun, asal Sorong, semula belajar di Yogya (1975)
dan kini mahasiswa tingkat III Fakultas Sospol Jurusan
Publisistik UNS Surakarta: "Prioritas pembangunan di Ir-Ja
adalah pendidikan dan perhubungan, baru yang lain-lain, termasuk
pertanian Mutu lulusan SMA kalah dengan di luar Ir-Ja. Karena
tenaga pengajar yang didrop pada waktu peralihan dilakukan
tergesa-gesa dan sampai sekarang tak pernah di-upgrade. Jumlah
sekolah sudah memadai, apalagi dengan adanya SD Inpres.
"Tapi perhubungan lebih penting didahulukan daripada pertanian.
Bagaimana bisa maju kalau transpor sulit ke mana-mana. Karena
kesulitan perhubungan ini pula, kemajuan pembangunan hanya
terlihat di kota. Di Jayapura misalnya pembangunan tak lebih
dari radius 80 km, karena hanya ada jalan sepanjang itu.
"Saya akan kembali ke Ir-Ja kalau sudah selesai kuliah. Tetapi
saya khawatir akan sulit mendapat pekerjaan di sana, mengingat.
tenaga-tenaga untuk jadi pegawai negeri (pusat maupun daerah)
sudah disiapkan orangnya, yaitu mereka yang tugas belajar. Namun
saya juga percaya, membangun Ir-Ja tak berarti harus menjadi
pegawai negeri. Saya ingin jadi wartawan.
Henky. Ia 24 tahun, mahasiswa IKIP ogya: "Sebenarnya sekarang
orang Irian sudah mampu membangun daerahnya sendiri. Tapi kalau
ngomong begini dikira kesuku-sukuan. Tapi kalau putera daerah
membangun daerahnya sendiri, ia sudah tahu apa yang harus
dilakukan. Sebaliknya kalau orang luar harus belajar dulu dan
ini artinya membuang waktu saja.
"Di antara 4 gubernur yang pernah bertugas di Ir-Ja, pak Acub
Zainal paling menonjol. Karena ia sebelumnya sudah bertugas di
sana, sebagai panglima. Sehingga ia cepat tahu apa yang harus
dilakukan.
"Memang ada kemajuan pembangunan di Ir-Ja sekarang. Tapi
kemajuan itu tak tampak karena prioritas pendidikan dan
perhubungan tidak mendapat porsi yang cukup besar:
David Kwemutaha. Ia 23 tahun, putera petani karet dari Desa
Engga di Kecamatan Ederah -- yang jaraknya 2 hari satu malam
berkapal laut dari Merauke: Kuliah di APPI Yogya, ia tiap bulan
menerima wesel Rp 10.000. Ia harus bekerja sambilan sebagai
penjual barang-barang antik asal daerahnya "Di zaman Belanda
daerah saya menjadi pelabuhan bebas untuk mengangkut hasil bumi
dari pedalaman. Setiap saat kapal tersedia. Sekarang dermaga
rusak, hanya kapal perintis kadang-kadang masuk. Bagaimana
daerah bisa maju kalau keadaan begitu
"Di daerah saya dulu ada kebun karet dan coklat. Sekarang
diganti cengkeh dan kopi dengan bantuan kredit bank. Memang
sejak 1973 sudah menghasilkan tapi belum dapat dinikmati petani
karena harus melunasi kredit. Sehingga yang perlu difikirkan
adalah sarana perhubungan untuk memasarkan hasil bumi itu
seperti dulu dilakukan dengan baik oleh Belanda.
Ricky Samay. Umurnya 23 tahun, asal Jayapura, mahasiswa Sospol
UGM Jurusan Publisistik: "Lulusan SMA di Ir-Ja sukar masuk
fakultas eksakta di Jawa, karena itu kami banyak ke fakultas
sosial. Kalaupun ingin masuk fakultas pertanian, cukup di Uncen,
daripada susah-susah di Jawa. Fakultas pertanian tak banyak
peminat karena usaha pertanian di Ir1a tak perlu secara
besar-besaran.
"Perekonomian di zaman Belanda mcmang lebih baik dari sekarang.
Tapi pendidikan lebih maju. Sudah 30 orang sarjana asal Ir-Ja
yang kembali untuk turut membangun daerah itu. Tapi saya dengar
dari adik saya, malaria akhir-akhir ini semakin bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini