Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sebuah Pasukan Di Perbatasan

Kapten Abdulrahman bersama anggotanya dari Yon 724 Hasanuddin Irian Jaya di desa Skou, 5 km di barat wilayah Papua Nugini, berhasil meredakan kecurigaan rakyat setempat. (dh)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPTEN Abdulrahman, kini bertambah sering senyum. Setahun yang lalu perwira asal Bugis berumur 34 tahun itu berada di Timor Timur kini ia ditugaskan di perbatasan Irian Jaya -- dan menemukan bahwa medan di sini tak seberat yang diduganya. Dan itu antara lain juga karena kapten bertubuh kecil liat ini berhasil melakukan satu hal yang biasa saja: bagaimana meredakan kecurigaan rakyat setempat. Kapten Abdulrahman sudah sejak 5 bulan berada di desa Skou, lima kilometer di barat wilayah Papua Nugini. Bersama 20 anak buahnya ia masuk ke masyarakat yang terdiri dari 750 jiwa dan merupakan gabungan 10 suku ini. Sebelum datang, dalam benak para anggota Yon 724 Hasanuddin ini terbayang gambaran wilayah yang sulit seperti di Timor Timur. "Ternyata tidak," kata Kapten Abdulrahman. Yang ditemui adalah wilayah pantai yang subur dengan penduduk yang tenang tapi tak peduli. Pada mulanya anggota kesatuan ini terheran-heran menyaksikan penduduk desa yang membelakang setiap kali diajak bicara. Juga mula-mula untuk mendekati pos kesatuan inipun mereka tak mau. "Mereka memilih jalan berputar-putar dari pada harus melewati depan pos ini," ungkap Rahman pula. Tapi keadaan pelan-pelan berubah. Sekarang warga desa sering duduk-duduk ngobrol dengan anggota Yon. Malahan para remaja bermain pingpong, volley dan dam, yang sarananya disediakan kesatuan di dekat pos. Kapten Rahman dan anak buahnya telah mengajak mereka bergotong-royong membuat lapangan volley. Sistim kerja ini rupanya baru bagi warga di sini. Sebab, kata Rahman, jika ada penduduk mendirikan rumah, tak ada yang mau membantu kalau ia tak memotong babi untuk hidangan. Bahkan untuk menarik perahu yang baru selesai dari hutan ke laut, tak akan ada yang menolong jika tanpa diberi makan. Kebiasaan itu rupanya mulai diterobos oleh anggota-anggota kesatuan Rahman. Bersama anak buahnya ia langsung membantu warga desa yang memerlukan tenaga tanpa diminta. Bahkan anggota kesatuan ini sering membagi-bagi hewan hasil perburuan di hutan kepada penduduk. Keadaan pelan-pelan berubah. Rasa simpati tumbuh. Misalnya ondoafi (kepala suku) sudah memperkenankan tentara mengambil sayur-sayuran dan buah kelapa untuk lauk makan sehari-hari. Sebelumnya kesatuan ini sempat didenda kepala suku karena begitu saja mengambil bahan makanan itu, meskipun terletak di tengah hutan. Mengenang liku-liku yang telah ditempuhnya bersama anak buah, Kapten Abdulrahman, mengungkapkan pengalaman ketika baru 10 hari tiba di desa ini. "Tiba-tiba ada anak buah saya yang dituduh memperkosa anak wanita di sini," tuturnya, "dituduh memeras tenaga penduduk untuk memikul barang, malahan difitnah menembak ayam mereka." Berita itu cepat tersiar. Sebagian penduduk lekas mempercayainya. Ini mengingat pengalaman beberapa waktu sebelumnya. sebuah kesatuan tentara yang bertugas di desa ini menembaki dan memusnahkan sebagian besar ternak babi penduduk. Karena itu beberapa anggota DPRD dari Jayapura segera datang mengecek kebenaran kabar tentang anak buah Abdulrahman itu. Ternyata memang tak berdasar. Kapten Rahman memang dari jauh hari sudah memperingatkan anak buahnya. "Jangan berbuat macam-macam terhadap rakyat," katanya, "jangan menyinggung perasaan mereka dan yang pokok jangan mengganggu anak gadis mereka. Lebih baik kamu pergi ke Jayapura daripada merusak nama kita." Sampai sekarang tak terjadi bentrokan berarti di antara anggota kesatuan tentara itu dengan warga desa setempat. Tapi suatu kali terjadi insiden. Seorang warga desa mabuk. Uang hasil kontrakan hutannya habis, di samping untuk membeli minuman juga karena dihamburkannya di tengah orang banyak ketika mabuknya mencapai puncak. Terjadi keonaran di antara warga desa untuk memperebutkan uang itu. Berfikir dari segi keamanan, Kapten Rahman segera mengikat dan memukul si mabuk. "Apa boleh buat, ini untuk pelajaran," kata perwira muda yang taat beragama Islam ini. Dan memang benar, sejak itu tak ada lagi yang mabuk secara terang-terangan. Sementara itu, inilah kata seorang penduduk Desa Skou: "Kalau pemerintah tldak mendatangkan minuman, kami juga tidak akan minum."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus