Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Tengah dari Cilangkap

Markas Besar setuju amandemen, tapi dengan syarat.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH belum akan berulang. Empat puluh tiga tahun silam, Jenderal Nasution sebagai Penguasa Pusat Perang memprakarsai gerakan kembali ke UUD 1945. Didukung oleh Presiden Sukarno, manuver ini berhasil melahirkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mengubur perdebatan di Konstituante yang sebetulnya hampir rampung. Gagallah pembuatan undang-undang dasar yang baru. Sekarang? Sebagian perwira TNI tergoda untuk menyokong gerakan menolak amandemen UUD 1945. Orang lantas membayangkan peristiwa 1959 bakal terjadi lagi. Tapi Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. tidak senekat Nasution. Rabu pekan lalu, datang ketegasan dari Markas Besar TNI di Cilangkap untuk menyokong amandemen UUD 1945. "TNI dan Polri tidak ingin proses amandemen UUD 1945 menemui jalan buntu," kata Irjen Pol. Ketut Astawa, anggota Fraksi TNI/Polri di MPR. Astawa khusus diundang ke Cilangkap, Markas Besar TNI. Anggota Panitia Ad Hoc I MPR bersama Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin lalu berbicara secara terbuka kepada pers soal gagasan perubahan konstitusi Republik. Sikap TNI sendiri, kata Sjafrie, persis seperti sikap fraksinya di MPR. Cuma, tak jelas apakah sikap penting ini sudah disampaikan kepada Presiden Megawati Sukarnoputri selaku Panglima Tertinggi TNI, yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan. Sikap militer dan polisi memang ditunggu. Di tengah pergulatan antara yang pro dan anti-amandemen UUD 1945, sikap TNI selama ini tak tegas mendukung siapa. Dari pembahasan rumusan perubahan UUD 1945 yang dilakukan di Badan Pekerja MPR baru-baru ini, petanya cukup jelas. Kubu yang setuju perubahan diwakili oleh partai besar seperti Golkar, PPP, PKB, dan PAN. PDIP, yang dipimpin Presiden Megawati, cenderung bersikap abu-abu. Kelompok yang berupaya menentang perubahan digalang oleh anggota Fraksi Utusan Golongan, yang dipelopori Siti Hartati Murdaya, utusan agama Buddha. Gerakan Hartati memang tidak baru, muncul sejak Sidang Tahunan MPR 2001 lalu. Selain Utusan Golongan, sejumlah politisi PDIP seperti Amin Aryoso dan Haryanto Taslam ikut meneken petisi penolakan amandemen. Tahun lalu, jumlah anggota MPR yang meneken sekitar 75 orang. Tapi sekarang, kata Hartati Murdaya, jumlah penanda tangan petisi ini sudah menggelembung menjadi 199 orang. Intinya, kelompok yang menamakan diri Gerakan Nurani Parlemen ini kurang setuju terhadap perubahan UUD 1945 yang mendorong ke federalisme. Ini mereka anggap bisa mengancam negara kesatuan dan menghapus Utusan Golongan di MPR. Kebetulan ada beberapa purnawirawan yang menjadi anggota Fraksi Utusan Golongan. Diam-diam, mereka, bersama sejumlah perwira di Fraksi TNI/Polri, menyokong gerakan tersebut. Bahkan tahun lalu, Mardiono, anggota Fraksi TNI/Polri, terang-terangan menyatakan dukungannya. "Walau tidak ikut meneken, kami setuju sikap mereka," katanya kepada TEMPO saat itu. Sejumlah petinggi TNI sebetulnya kurang setuju amandemen, terutama terhadap pasal-pasal yang mendorong longgarnya ikatan negara kesatuan. Mereka juga tidak srek dengan penghapusan Fraksi Utusan Golongan. Ini bisa memperkecil peluang mereka masuk MPR setelah pensiun, kecuali jika mereka mau masuk partai politik dulu. Perbedaan ini diakui Letjen Agus Widjojo, Wakil Ketua MPR sekaligus penasihat Fraksi TNI/Polri di DPR dan MPR. "Tapi, kalau Panglima TNI sudah mengambil sikap, mereka akan tunduk pada komando," ujarnya (lihat Letnan Jenderal Agus Widjojo: "Kami Hindari Politik Partisan"). Ketegasan sikap Cilangkap cukup memukul Gerakan Nurani. Manuver penolakan amandemen kehilangan dukungan. Hanya, Hartati Murdaya sendiri tidak yakin kalangan TNI menyokong proses amandemen UUD tanpa syarat apa pun. "Mereka bisa saja berubah lagi menolak bila melampaui koridor," katanya. Misalnya jaminan utuhnya negara kesatuan dan tetap masuknya Utusan Golongan. Syarat yang dimaksud Hartati akhir pekan lalu sudah dibeberkan oleh Letjen Budi Harsono kepada TEMPO. Menurut Ketua Fraksi TNI/Polri di MPR/DPR ini, pihaknya tidak berkeberatan soal pembentukan Dewan Perwakilan Daerah. Fraksinya juga setuju saja gagasan perubahan pasal 37 yang memberikan peluang perubahan bentuk negara lewat referendum. "Tapi rencana penghapusan Utusan Golongan tolong dipertimbangkan lagi," katanya. Lalu Budi menawarkan solusi. Utusan Golongan, yang sekarang kursinya berjumlah 65, dipertahankan di MPR. Tapi, tidak seperti fraksi hasil pemilihan umum, fraksi ini hanya ikut pengambilan keputusan soal ketetapan MPR atau GBHN. "Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, mereka bisa tidak diberi hak suara," ujar Budi. "Ini cuma basa-basi supaya TNI dianggap tak menolak angin reformasi," kata seorang tokoh PAN. Boleh jadi itulah jalan tengah yang ditawarkan Cilangkap. Gendur Sudarsono, Edy Budiyarso, I G.G. Maha S. Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus