KALAU pada Pelita I dan II banyak kebocoran anggaran, tentunya
Pelita III dan seterusnya tidak akan terjadi lagi -- kalau
aparat pemerintah yang tidak jujur diganti dengan jahat yang
loyal.
Contoh yang dapat kami berikan misalnya yang terjadi di Prop.
Sulawesi Selatan, khususnya proyek-proyek yang ditangani Bangdes
(pembangunan desa red). Kasubditnya banyak yang menyalahgunakan
uang proyek sehingga terjadi bengkelai proyek-proyek di beberapa
kabupaten. Maka oleh kepala direktoratnya di tingkat propinsi
diambil kebijaksanaan mengadakan pergeseran dari kabupaten satu
ke kabupaten lain -- bahkan ada yang ditarik ke tingkat propinsi
sebagai hukuman administrasi, dengan tidak diberi jabatan alias
hanya staf biasa. Semula direncanakan pergeseran sebanyak
kabupaten/kotamadya, tetapi kemudian ditinjau kembali.
Dalam pergeseran tersebut, ternyata Kasubdit yang paling/amat
parah penyakitnya justru tidak kena geser. Alasan: agar ia dapat
menyelesaikan dulu dan mengembalikan uang yang terbengkelai
karena terlalu besar. Dan ternyata apa yang terjadi? Bengkalai
tidak terselesaikan. Droping uang proyek bertambah lagi sehingga
menambah silau, maka makin sibuklah mengurusi usaha dan
perdagangannya: pergi-pulang Bone-Ujungpandang, bahkan kalau ke
Ujungpandang tidak perlu lagi singgah ke kantor Direktorat
sebagai induknya.
Masyarakat Bone sudah banyak tahu dari mana kekayaan yang
diperolehnya. Karena dari semula diketahui ia bukan orang yang
mendapat warisan: kekayaannya mulai nampak setelah diangkat jadi
Kasubdit -- dan makin melonjak di masa Pelita.
Kebocoran-kebocoran tersebut belum sempat tercium oleh Opstib
Sul-Sel karena senantiasa mendapatkan perlindungan -- baik dari
bupati yang lama maupun yang baru, juga dari Kaditnya yang lama
maupun baru. Sebab rupanya ia orang kuatnya Bangdes.
Kalau sekiranya tercium langsung oleh Opstib sebagaimana yang
pernah terjadi atas diri Kasubdit Bangdes Gowa, yang langsung
ditindak oleh Pangdam XIV HN selaku Panglima Opstib Wisesa yang
kebetulan sedang inspeksi ke Gowa (atas hasil wawancara dengan
seorang kepala desa yang tidak menerima uang bantuan desa
sepenuhnya karena ada potongan dari Kasubdit Bangdes), maka saat
itu pula dikeluarkan perintah pemecatan dengan tidak hormat.
Tetapi mengingat uangnya masih belum digunakan (rencananya akan
dibelikan sebuah kendaraan dinas roda empat), maka diambil
kebijaksanaan oleh Gubernur (lama) dengan memindahkan saja ke
Propinsi tanpa jabatan apapun.
Itulah satu tindakan terpuji untuk menyelamatkan uang negara
demi kemakmuran rakyat utamanya di pedesaan, dan juga sebagai
contoh agar yang lain jangan berbuat demikian. Tetapi mengapa
justru kasus yang diperbuat Kasubdit Bangdes Bone yang berjumlah
puluhan juta rupiah tidak ditindak? Dibanding Rp 1.800.000 oleh
Kasubdit Gowa, yang katanya hanya sebagai imbalan balas jasa
dari para kepala desa karena desanya mendapat proyek.
Informasi ini ditujukan-kepada Bapak Mendagri selaku atasan yang
menangani Bangdes, dan Bapak Menpan yang mengatur aparat
Pemerintah. Tak lupa pula tentunya Bapak Pangkopkamtib (Pusat),
sebab Opstibda Sul-Sel tak berkutik karena lebih banyak
bijaksananya. Alias selesaikan saja ke dalam, tetapi nyatanya
makin mendalam juga penyakitnya. Kasus ini sudah lama diketahui
kalangan luar Bangdes sendiri terutama di Kabupaten Bone, sejak
permulaan Pelita II.
Bahkan kini bertambah lagi kasus baru yang menimpa Bangdes
kabupaten lain Misalnya proyek resetlemen di Sinjai dan
Enrekang: mengalami kemacetan, tentunya bukan hanya karena
kesalahan pemborongnya tetapi berkait antar Kasubdit dan juga,
tak dapat diabaikan, peranan bendaharawan proyek. Akibat
kemacetan proyek tersebut ternyata Kaditnya tidak mampu menindak
Kasubnya yang tidak serius.
Dengan informasi di atas, yang terjadi di beberapa kabupaten di
Sul-Sel, dimohon kepada Bapak Menpan dan Bapak Mendagri agar
dalam usaha menghindari kebocoran anggaran pada Pelita III dan
seterusnya, apa pula Bangdes adalah wadah subur yang berkompeten
untuk menyalurkan uang proyek di sektor pedesaan, kiranya
ditinjau kembali masa jabatan setiap kepala direktorat maupun
kepala subdirektorat Bangdes serta bendaharawannya. Bahkan ada
yang melebihi masa jabatan seorang bupati Kdh.
Contoh: Bendaharawan Dit Bangdes Sul-Sel diketahui
ketidakberesannya setelah diadakan serah terima. Akan dituntut
berarti heboh, terpaksa hanya diambil kebijaksanaan dengan
menutupi saja. Tutupnya diambil dari mana? Tentu saja dari pos
lain, dan cari tutup lain lagi dan seterusnya.
Bendaharawan tersebut adalah yang diangkat belakangan. Bagaimana
dengan bendaharawan yang diangkat duluan, dan sudah berkarat
hingga kini tak tergoyahkan, sehingga sulit mengontrol
penyelewengannya karena permainan yang cukup rapi karena
kerjasamanya, sulit mencari bukti, karena setiap inspeksi selalu
mendapatkan bukti pertanggungan jawabnya dengan segala macam
kwitansi, walaupun tidak pernah ada barangnya -- tentu saja
hanya kawan sekantor yang tahu -- persis seperti yang pernah
terjadi pada instansi Polri yang baru selesai sidangnya?
Selanjutnya Bapak Pangkopkamtib diundang ke Sul-Sel. Sebab tanpa
tindakan tegas, akan dianggap bahwa uang proyek tidak akan
sampai pada sasarannya. Kasubdit yang telah menyelewengkan uang
negara tersebut supaya segera diusut dan ditindak tidak pandang
bulu, sebagaimana contoh yang telah terjadi di Bone dan Dit
Bangdes Prop. Sul-Sel.
Himbauan terakhir: tidak kalah pentingnya adalah kewajiban
mendaftar kekayaan bagi setiap pegawai yang akan menjabat
jabatan apapun, lebih-lebih jabatan bendaharawan Sebab masa
Pelita adalah masa subur.
Dipersilakan dengan hormat mencek.
(Nama dan Alamat pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini