Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Keadilan

Zia ingin syariah Islam berlaku di Pakistan. Ali Bhutto tidak dapat ampunan dari Zia, ia dihukum mati karena kesewenangannya. Bagi Islam Puritan, tuhan hanyalah sebagai kebenaran, agama hanya kerangka yuridis.

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA saya pergi, gunung Himalaya pun akan menangis. Ali Bhutto digantung Rabu dinihari jam 02.00 pekan lalu. Banyak orang sedih dan menangis, tapi tidak Altaf Gauhar. Gauhar kini ko-editor The Guardian Third World Review. Dulu ia seorang pejabat tinggi Pakistan di masa Ayub Khan jadi Presiden. Ia pun mulai jadi teman Bhutto sejak tokoh yang banyak gaya ini jadi menteri perdagangan pada umur 30. Sayangnya, ia jadi musuh ketika Bhutto jadi presiden. Pada suatu hari Bhutto berkata, sebagaimana dikutip Gauhar, bahwa bila ia pergi bahkan gunung-gunung Himalaya pun akan menangis. Gauhar, yang waktu itu jadi editor harian Dawn, memperingatkan dengan halus kesombongan itu. "Gunung-gunung, tak akan menangis," tulisnya. Bhutto marah. Seperti biasa ia menyimpan dendamnya dengan teliti. Tak lama kemudian rumah Gauhar diketuk petugas. Ia ditahan. Gauhar dilepaskan setelah 13 bulan. Nampaknya Bhutto ingin memberi kesan bahwa ia membebaskan Gauhar bukan karena rasa sesal atau karena tak ada bukti bersalah. Ia membebaskan Gauhar karena ia berkuasa -- tanpa perlu mahkamah pengadilan. "Mahkamah pengadilah tak ada dalam kamusku." Beberapa tahun kemudian kekuasaannya rontok. Dan sebuah mahkamah pengadilan (benda yang tak ada dalam kamusnya itu) mengirimnya ke tiang gantungan. Bhutto mati pada usia 51. Himalaya tak menangis. Gunung itu terlampau tua untuk tak mengenal riwayat penguasa-penguasa yang jatuh, tentang sang penindas yang berakhir sebagai tertindas -- atau sebaliknya. KITA tak tahu kenapa Altaf Gauhar mengungkapkan wajah buruk Ali Bhutto beberapa hari sebelum hukuman gantung dilaksanakan. Mungkin wartawan ini pun menulis dengan dendam, dan dendam selalu cenderung sewenang-wenang: ia memukul seorang yang sudah tak berdaya. Atau mungkin ia ingin menghindarkan satu hal yang sering terjadi: si A jadi martir hanya karena si A dihabisi oleh pihak yang lebih kuat. Tapi salah siapakah bila Bhutto jadi semacam martir? Kecuali salah Jenderal Zia? Di aman ini begitu banyak saksi tentang penguasa yang menghukum orang yang belum tentu bersalah. Di zaman ini begitu banyak mahkamah-kongkalikong dan "hakim-hakim yang makan bebek" sebagaimana disebut dalam salah satu sandiwara Brecht, hingga keadilan memilih pihak yang lain. Si pesakitan menjadi penggugat. Penjara menjadi tempat penyucian. Tuhan tidak hadir dalam suara wakil kekuasaan yang berseru pro justicia... TAPI mungkin Zia yakin Tuhan berada di pihaknya. Ia orang yang taat beragama. Atau mungkin ia tak mengampuni Bhutto justru karena ingin menyerahkan Bhutto ke akhirat: di sana ada pengadilan yang lebih baik. Karena mahkamah di bumi hina-dina, pada pedang algojo di Fribourg tertulis kata: "Tuhan Yesus, Kau-lah sang Hakim." Masalahnya ialah, dapatkah kita percaya kepada kerendahan-hati seperti itu. Albert Carnus, yang menentang hukuman mati dalam esei panjang Reflexions sur la peine capitale, mengatakan hanya nilai-nilai agama-lah yang dapat berlaku sebagai dasar hukuman terberat. Dalam nilai itu ada keyakinan bahwa hidup di dunia hanyalah sebagian dari hidup. Hukuman mati, dengan demikian, walaupun nampaknya tak bisa dikoreksi kembali begitu tulang leher si terhukum patah, bersifat nisbi. Tapi benarkah tulisan pada pedang algojo di Fribourg itu tanda keterbatasan manusia sebagai hakim? Benarkah Jenderal Zia pernah tergetar oleh suara simpang-siur tafsir manusia tentang keadilan? Ataukah bagi orang seperti dia soalnya sederhana: si pelanggar harus dihukum, si pembunuh harus dibunuh? Zia ingin Syariah Islam berlaku sebagai hukum di Pakistan. Tapi seperti kritik Seyyed Hossein Nasr dari Iran terhadap gerakan "reformis" Islam yang puritan, baginya mungkin Tuhan hanya diingat sebagai Kebenaran, dan agama terutama hanya kerangka yuridis. Maka keindahan pun hanya sesuatu yang insidentil -- dan agaknya begitu pula gairah untuk hidup tanpa tiang gantungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus