SEBUAH rombongan kecil International Red Cross Committee bertandang ke Aceh pekan lalu. Konon, kunjungan Komite Palang Merah Internasional (KPMI) itu akibat "ulah" Hasan Tiro. Tokoh yang mengklaim diri sebagai "Presiden Aceh Merdeka" itu berkoar seolah-olah tahanan GPK Aceh diperlakukan tak insani. Lepas dari benar tidaknya isu itu, rawannya situasi Aceh sejak tahun lalu memang cukup sering diberitakan pers asing. Beberapa pekan lalu, misalnya, kantor berita Reuters melaporkan terjadinya "eksekusi" tanpa proses peradilan di beberapa tempat umum di Aceh terhadap orang yang dicurigai anggota GPK. Pihak ABRI membantah keras berita itu. Mungkin berita-berita itulah yang membuat Palang Merah Internasional berkunjung ke Aceh pekan silam. Dan pemerintah In- donesia ternyata membuka pintu lebar-lebar buat mereka. Edith Beariswyl, anggota komite itu, menyatakan leluasa melongok tahanan GPK di pelbagai kota di Aceh. "Tak ada hambatan apa pun," katanya kepada Antara, Jumat pekan lalu. Namun, bagaimana hasil temuan mereka, Beariswyl memilih menutup mulutnya. Menurut Beariswyl, hasil fact finding itu hanya akan dilaporkan kepada Presiden KPMI di Jenewa, Swiss, dan pemerintah RI di Jakarta. Lagi pula seperti diakui Edith Beariswyl, mereka tak berniat mencampuri masalah politik di Indonesia. Sesuai dengan Konvensi Jenewa 1986, tugas mereka cuma melihat secara konkret keadaan tahanan perang dan politik di belahan dunia mana pun. Pemerintah Indonesia tampaknya tak khawatir pada kunjungan KPMI ini, karena yakin tak melakukan pelanggaran hak-hak asasi pada para tahanan GPK. "Yang terlibat dengan tipis, malah sudah 300 orang yang dimasyarakatkan," kata Pangdam Bukit Barisan, Mayjen. H.R. Pramono, pada TEMPO. Tapi para gembongnya sudah 24 orang divonis pengadilan -- yang didampingi pengacara dalam sidang terbuka untuk umum. "Tak seorang pun dihukum tembak dengan atau tanpa vonis hakim," kata Pramono. Sekarang, kata Pramono, dari sejumlah tahanan GPK, tengah diseleksi mana yang akan dimajukan ke meja hijau dan mana yang harus dimasyarakatkan. Karena rakyat Aceh semakin berani membantu ABRI mengejar sisa-sisa GPK, tercatat sudah 30 orang ang- gota GPK yang menyerah. Pramono pernah menggemparkan, tatkala lewat TEMPO, November 1990, ia menganjurkan pada rakyat agar, "Kalau bertemu GPK, bunuh saja." Alasannya, karena mereka secara kejam juga mem- bunuh anggota ABRI dan rakyat yang tak berdosa. Pernyataan tersebut kemudian dikutip banyak pers asing. Pernyataan itu, kata Pramono, sebenarnya lebih merupakan "perang informasi". "Waktu itu saya tidak tahu di mana GPK berada. Jadi, ngomong lewat TEMPO-lah," katanya. Sisa-sisa GPK Aceh kini semakin terpuruk. Dua pekan silam, 3 Juli, pasukan ABRI mengepung sebuah kemah beratap plastik di kaki Pegunungan Ceudeuk di Aceh Utara, yang diketahui dihuni sisa GPK. Tapi teriakan prajurit ABRI agar menyerah mereka balas dengan letusan senjata. ABRI pun memberondong hingga Teungku Hamzah, yang dikenal sebagai Panglima GPK Wilayah Batee Ilik, bersama tiga pengawalnya tewas. Wakil Gubernur GPK wilayah yang sama, Teungku Abdul Rachman, bersama dua pengawalnya juga tewas dalam kontak senjata dengan ABRI di Pegunungan Coh, Aceh Utara. Saleh Gedong, yang dijuluki Komandan Pasukan Tengkorak GPK, juga mendapat giliran. Ia tak mengacuhkan teriakan ABRI dan rakyat, yang mengubernya pada 13 Juli 1991 lalu di dekat Lhokseumawe. Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini