TANPA diduga, Presiden Soeharto berbicara mengenai suksesi. Mula-mula ia mengucapkan hal itu sebelum menutup sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin), 3 Mei lalu. Tetapi, secara terbuka masalah suksesi yang dibeberkan Pak Harto itu baru diungkapkan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono Senin pekan ini, sebelum Presiden bertolak ke PBB untuk menerima penghargaan kependudukan. Pagi itu Moerdiono membagi-bagikan teks pidato 17 halaman berjudul Demokrasi Pancasila dan Masalah Suksesi dalam Mekanisme Kepemimpinan Nasional kepada para wartawan. "Sengaja baru sekarang ini dikemukakan, lantaran suasananya sudah memungkinkan, kata Moerdiono, yang kemudian menguraikan penjelasan Presiden itu. Presiden menganggap perlu mengemukakan hal itu, karena ketika itu memang banyak pernyataan pejabat mengenai suksesi Presiden. Pernyataan para pejabat itu mungkin terdorong oleh niat Pak Harto dalam otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, untuk menjadikan jabatannya sekarang sebagai periode yang terakhir. "Jadi, rasanya tidak berlebih-lebihan kalau dikatakan, pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 itu merupakan pelantikan sebagai Presiden/Mandataris MPR yang terakhir bagi saya," tulis Pak Harto. Tak berapa lama setelah buku beredar, muncul gagasan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo untuk menciptakan konsensus nasional. Ini dimaksudkan Sudomo untuk menghindari voting, bila kelak muncul lebih dari satu calon presiden. Belum sempat merinci apa yang dimaksudkannya, ia buru-buru mengumumkan minta maaf kepada Presiden. Pak Harto sendiri berpendapat, masalah pencalonan presiden, secara konstitusional, adalah wewenang MPR. Dan tata cara konstitusional itu pula yang ditegaskannya dalam teks pidato yang dibagikan Moerdiono itu. Dengan runtut dan rinci, Presiden membeberkan mekanisme kepemimpinan nasional secara konstitusional, yang diharapkannya bisa benar-benar membudaya di kalangan rakyat. "Dengan demikian, pergantian unsur di dalam mekanisme kepemimpinan nasional, termasuk presiden, tidak perlu ribut-ribut. Ini akan bisa berjalan dengan baik, karena kalau ada orang yang ngotot, pasti akan tertelan oleh keadaan sendiri," katanya. Dalam musyawarah untuk memperoleh mufakat, menurut Presiden, keputusannya benar-benar harus dijiwai kesadaran dan tanggung jawab, hingga bisa diambil keputusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat, tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, dan tidak bertentangan dengan Pancasila, terutama sila keempat. Kalaupun ada perbedaan pendapat, kata Presiden, itu dibenarkan. Justru karena ada perbedaan itulah, kemudian dimusyawarahkan untuk memperkecil perbedaan, sehingga akhirnya diperoleh konsensus untuk mengambil keputusan secara bulat. Kalau tidak diperoleh mufakat, barulah diadakan pemungutan suara. Dan yang dibenarkan ialah keputusan yang memperoleh dukungan suara terbanyak. Presiden lantas merinci tata cara pemungutan suara: setidak-tidaknya dihadiri 2/3 anggota majelis, dan suara terbanyak sedikitnya 2/3 tambah satu. "Itu dianggap sah, merupakan keputusan Demokrasi Pancasila," kata Pak Harto. Mengenai pengajuan calon-calon presiden, dikatakan itu menjadi wewenang fraksi dalam MPR. Sesuai dengan jumlah fraksi, mungkin akan muncul lebih dari satu calon. "Tetapi dalam rangka Demokrasi Pancasila, musyawarah mufakat yang dipimpin oleh jiwa dan semangat sila keempat dari Pancasila mutlak diperlukan," tuturnya. Artinya, fraksi-fraksi harus bermusyawarah hingga akhirnya terpilih seorang calon yang memenuhi syarat. "Jadi, jelas, kalau mereka betul-betul mau melakukan musyawarah untuk mufakat, satu calon itu akan bisa dicapai," kata Presiden lagi. Bila terjadi perimbangan kekuatan, diharapkan adanya penggabungan fraksi hingga tercapai perimbangan kekuatan yang sama. Maksudnya, diharapkan tinggal dua calon yang muncul, untuk dimusyawarahkan lagi. Kalau musyawarah itu tidak berhasil mencapai mufakat, barulah voting berlaku. "Tetapi tahap pertama dengan sendirinya musyawarah mufakat itulah yang harus diusahakan, bukan lantas sejak semula harus voting, harus menentukan melewati pemungutan suara, tidak. Tetapi musyawarah mufakat inilah yang harus dikembangkan," kata Presiden. Khusus mengenai suksesi presiden, menurut Pak Harto, bukan wewenang MPR dan fraksi yang sekarang. "Yang akan mencalonkan dan memilih presiden berikutnya ialah MPR dan fraksi hasil pemilu yang akan datang. Itulah yang akan mengajukan dan memikirkan calon-calon yang akan dikemukakan: mungkin lima, mungkin empat," tutur Presiden lagi. Jika jumlah calon lebih dari satu, harus dimusyawarahkan hingga akhirnya tinggal seorang calon. Atau bila ada dua kekuatan seimbang, terpaksa diambil keputusan dengan voting. Siapa yang memikirkan suksesi presiden dan wakil presiden? Menurut Pak Harto, yang berhak memikirkan ialah kekuatan sosial politik -- yang mempunyai kepanjangan tangan pada fraksi-fraksi di MPR. "Sudah mulai sekarang memikirkan siapa yang sekiranya bisa dielus-elus untuk menjadi jagonya, yang nantinya diadu dalam MPR hasil pemilu," kata Pak Harto. Pak Harto juga mengungkapkan bahwa seseorang tidak bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Sebab, yang berhak mencalonkan dan memilih calon adalah fraksi-fraksi dalam MPR, bukan orang per orang. "Saya pun hingga sekarang tidak pernah berpikir akan mencalonkan diri sebagai calon presiden. Semuanya terserah kepada MPR sesuai dengan konstitusi," katanya. Kepada para menteri yang hadir dalam sidang kabinet itu, Presiden berkata, "Jadi, atas dasar pemikiran itu, sebetulnya tidak perlu khawatir bahwasanya Saudara-saudara akan saya peralat untuk memperjuangkan saya menjadi Presiden. Tidak ada !"Budiman S Hartoyo, Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini