GOLKAR belum punya calon presiden. Barangkali inilah salah satu pernyataan "baru" yang dikeluarkan organisasi politik terbesar itu, ketika memperingati ulang tahunnya yang ke-26, pekan lalu. Sampai saat ini, menurut Ketua Umum Golkar Wahono, belum ada seorang pun kader Golkar yang secara khusus dipersiapkan (dielus-elus) untuk ditunjuk sebagai calon presiden mendatang, karena waktunya masih terlalu lama, dan banyak hal yang masih mungkin terjadi. "Sekarang Golkar masih miling-miling," ucap Wahono, Jumat pekan lalu. Maksudnya, Golkar masih mencari-cari calon presiden untuk periode 1993-1998. Pernyataan itu memang berbeda dengan sebelumnya, yang mengatakan bahwa Golkar sudah punya calon presiden. Bahkan, Wahono pernah menyatakan, sang calon itu sedang dielus-elus. Tak jelas adakah "ralat" Wahono tentang calon presiden itu karena ada perbedaan pendapat di tubuh Golkar sendiri. Namun, yang pasti, berbeda pendapat di dalam organisasi politik itu bukan hal yang diharamkan. "Jangan dikira tidak ada perbedaan pendapat di Golkar," kata A.E. Manihuruk, salah seorang Ketua DPP Golkar, dalam jumpa pers dalam rangkaian acara HUT Golkar. Hanya saja, katanya, perbedaan pendapat tersebut tidak untuk dibeberkan kepada umum dan bisa diselesaikan lewat musyawarah. Soal perbedaan pendapat atau kemelut intern, nampaknya, bukan pula hal yang jarang terjadi dalam perjalanan sejarah organisasi politik ini. Berbeda dengan kedua organisasi politik lainnya -- PPP dan PDI -- Golkar selama ini memang relatif "sepi" dari berita perselisihan di dalam tubuhnya. Tapi itu bukan berarti tidak ada friksi di sana. Ketika kenaikan tarif listrik sudah ditetapkan Pemerintah, misalnya, tahun lalu, tim listrik FKP yang dipimpin Ben Mesakh masih mempertanyakan kebijaksanaan tersebut. Ketika itu, tim listrik merasa "kecolongan" dan "menggugat" mengapa kenaikan tarif listrik tidak dikonsultasikan terlebih dahulu oleh Pemerintah dengan tim listrik. Begitu pula ketika Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama sedang diperdebatkan di DPR, pertengahan tahun lalu, beredar sebuah makalah setebal 17 halaman yang diberi judul "Pokok-Pokok Pikiran FKP terhadap RUU PA". Isi makalah yang dibuat Koordinator Bidang Polkam FKP itu meminta agar RUU tersebut ditinjau kembali karena menimbulkan dualisme dalam peradilan di Indonesia. Yakni peradilan yang menerapkan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD '45, serta peradilan yang menegakan hukum Islam. Perbedaan pendapat yang lebih "baru", adalah ketika sedang ramai-ramainya soal "kebulatan tekad" pencalonan Pak Harto pertengahan Mei lalu. Dalam sebuah sarasehan dengan wartawan, Jacob Tobing, Ketua DPP Golkar, mengatakan, "Golkar tidak memikirkan adanya kebulatan tekad." Pernyataan ini didukung Wahono yang mengatakan Golkar tidak akan merekayasa gerakan kebulatan tekad. Di tengah suara tegas untuk tidak akan merekayasa kebulatan tekad, tiba-tiba muncul sekelompok artis yang dikomando Ratno Timoer, menyatakan kebulatan tekad mereka di hadapan Wahono dan Rachmat Witoelar. Bagi Rachmat Witoelar, apa yang terjadi selama ini di Golkar merupakan hal yang biasa terjadi dalam sebuah organisasi. "Lebih-lebih dalam sebuah organisasi yang besar," kata Rachmat. Asal, tentunya ada aturan mainnya. "Adu argumentasi itu perlu, tapi, setelah keputusan dibuat, kita harus menaatinya," kata Manihuruk. Barangkali itu sebabnya, bertolak dari perbedaan pendapat yang terjadi selama ini, tak sedikit pula langkah pembaruan yang sudah dibikin Golkar. Misalnya, seperti yang termuat dalam pernyataan politiknya, tentang keinginannya untuk meningkatkan wawasan politik pemilihnya. Seperti dikatakan Wahono, Golkar tidak ingin menang buta (raksasa), asal besar dan asal menang. Sejak program "kaderisasi" yang dicanangkan 1984 lalu, semangat menjadikan Golkar sebagai sebuah organisasi politik yang punya bobot menjadi arus yang kuat. Sebelumnya, Golkar juga menetapkan keanggotaan mereka bersifat individu dan aktif. Itu menunjukkan, pola pikir selama ini, yang menyandarkan pada kekuatan mobilisasi massa, mulai ditinggalkan. Golkar, juga sejak Munas IV-nya tahun 1988, memulai pelaksanaan Musyawarah Nasional dengan terlebih dahulu menyelenggarakan Musyawarah Daerah. Padahal, sebelumnya, yang didahulukan adalah Musyawarah Nasionalnya. "Itulah tanda-tanda kita ingin menangkap arus dari bawah," kata Rachmat. Penyegaran yang dilakukan Golkar tidak hanya dalam urusan memperbaiki kualitas anggota, melainkan juga perbaikan akan dilakukan pada penampilan Golkar di lembaga legislatif. Dalam komposisi anggota DPR mendatang, misalnya, Golkar sudah mengisyaratkan akan mengganti 50-% dari anggotanya. Ini karena kriteria yang akan diterapkan Golkar untuk menentukan siapa yang layak duduk di dewan yang terhormat itu diperbaiki. Kriteria utama yang digunakan, menurut Rachmat, antara lain adalah profesionalisme dan pemahaman masalah. "Kita ingin menghilangkan kesan bahwa lembaga DPR adalah lembaga pensiunan, atau apa yang membuat kita merasa berdosa terhadap pemilih," kata Rachmat lagi. Selain itu, di dalam tubuh Golkar sendiri, semangat keterbukaan semakin dikibarkan. Selama Rapim II yang berlangsung 17-19 Oktober lalu, terlihat suasana kebebasan itu. Peserta Rapim diberi kebebasan melontarkan pikirannya termasuk keinginan terciptanya pemerintah yang lebih bersih. "Dalam semangat keterbukaan, kita dituntut lugas. Untuk lugas, kita harus percaya diri dan mengerti persoalan," kata Rachmat. Kondisi sekarang ini, katanya, tidak lagi memerlukan orang yang bisanya hanya dijejali perintah saja. Golkar, seperti dikatakan Wahono, memang bukan electoral machine bagi pemerintah, yang tugasnya tak lebih dari sekedar political broker dalam hal menentukan bupati, gubernur, dan peluang bisnis. Golkar, pinta Wahono lagi, perlu juga dilihat sebagai organisasi kader yang akan menyalurkan aspirasi sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat pemilih. Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini